Suksesi KKKS Kurangi Emisi untuk Penuhi Target SKK Migas 2030

Penggunaan teknologi CCUS bikin energi jadi ramah lingkungan

Kamu merasakan belakangan ini suasana di sekitar tempat tinggal panas? Atau malah tambah gerah? Ada banyak faktor yang menjadi penyebab kondisi tersebut. Salah satunya adalah dampak negatif (efek) dari rumah kaca.

Efek rumah kaca merupakan kondisi Bumi yang mengalami pemanasan hingga mengakibatkan temperatur terus meningkat. Alhasil, suhu saat Malam dan Siang hari nyaris sama.

Situasi tersebut terjadi karena adanya gas yang terperangkap di dalam atmosfer. Gas yang menimbulkan efek rumah kaca antara lain uap air (H2O), Karbon dioksida (CO2), Methana (CH4), Ozon (O3), Nitrous oksida (N2O), Klorofluorokarbon (CFC), dan Hidrofluorokarbon (HFC). Adapun gas rumah kaca (GRK) yang dominan di atmosfer adalah CO2, CH4, dan N2O.

Gas-gas tersebut meningkatkan suhu rata-rata Bumi sehingga memicu perubahan iklim yang berimbas terhadap perubahan temperatur, curah hujan, dan penguapan.

Emisi (pemancaran) GRK secara umum disumbang dari berbagai sektor. Sektor energi dominan menjadi kontributor terbesar emisi CO2.

Demi mengurangi dampak berkepanjangan, pemerintah mengeluarkan kebijakan dekarbonisasi untuk menurunkan emisi GRK pada sektor energi sebesar 314--398 juta ton CO2 pada 2030. Komitmen tersebut mengacu Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 seperti diatur dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dan penguatan dari ratifikasi Paris Agreement 2016.

"Kita (Indonesia) menandatangani Paris Agreement untuk menjaga kenaikan temperatur Bumi 1,5 derajat Celcius. Tindak lanjutnya harus ada perubahan perilaku agar panas di Bumi terkontrol. Bagaimana sektor minyak dan gas (migas) yang jadi jantung energi di Indonesia bisa mengurangi emisi karbon. Ada teknologi bagaimana karbon itu ditangkap (capture) lalu disimpan dimanfaatkan lagi," ujar Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha Dekarbonisasi Sektor Energi Indonesia saat talkshow Dekarbonisasi Sektor Energi Indonesia di Radio Perspektif Baru, Jumat (9/7/2021).

Suksesi KKKS Kurangi Emisi untuk Penuhi Target SKK Migas 2030Aktivitas di sumur ekplorasi Jatibarang Field di Jawa Barat. SKK Migas meminta KKKS bersama-sama mengatasi kenaikan emisi CO2 dengan teknologi CCUS, sehingga pengelolaannya lebih ramah lingkungan, dapat bersaing pada tingkat global sekaligus kebutuhan energi migas nasional memenuhi target produksi minyak menjadi 1 juta barel per hari (BPOD) dan gas 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030 (IDN Times/Dhana Kencana)

Teknologi yang dimaksudkan Satya adalah penangkapan karbon, pemanfaatan, dan penyimpanan atau Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS). CCUS yang telah diterapkan di Inggris, Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Norwegia, dan Belanda terbukti efektif dalam usaha dekarbonisasi untuk mengatasi tantangan perubahan iklim di dunia.

"CCUS menjadi bahasan penting di tingkat global (dunia) untuk mengurangi emisi CO2 dan menggunakannya kembali meningkatkan oil recovery di ladang minyak yang sudah habis (terminasi)," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif ketika menjadi pembicara kunci 3rd East Asia Energy Forum secara daring pada Selasa (17/11/2020).

Dalam laporan Sustainable Development Scenario (SDS) yang dilansir Agensi Energi Internasional (IEA) menjelaskan bahwa CCUS menjadi satu-satunya teknologi yang mampu menangkap CO2 yang sudah dilepaskan ke atmosfer.

Cara kerja CCUS adalah mengawal aktivitas mulai dari kegiatan identifikasi sumber emisi karbon, penangkapan karbon pada gas buang dari sumber, kompresi, sampai transportasi karbon melalui pipa atau kapal. Termasuk juga penyimpanan karbon pada formasi geologi lewat Perolehan Minyak Tahap Lanjut (EOR) atau Perolehan Gas Tahap Lanjut (EGR) hingga pemanfaatannya menjadi bahan kimia, material bangunan, plastik, dan mineralisasi.

Suksesi KKKS Kurangi Emisi untuk Penuhi Target SKK Migas 2030Aktivitas di sumur ekplorasi Jatibarang Field di Jawa Barat (IDN Times/Dhana Kencana)

Penerapan CCUS berkaitan dengan target pemerintah, dalam hal ini Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dalam meningkatkan produksi minyak menjadi 1 juta barel per hari (BPOD) dan gas 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030. Yaitu dengan mengoptimalkan produksi lapangan migas yang ada, mencari cadangan baru melalui eksplorasi, dan peningkatan produksi migas nasional melalui EOR/EGR.

“Kami mendukung penuh penerapan CCUS di sektor migas melalui EOR/EGR. Teknologi tersebut diperlukan untuk mengembangkan ladang migas yang mengandung CO2 tinggi, meningkatkan produksi, dan mengurangi emisi GRK. CCUS bisa menjadi solusi untuk menyediakan energi yang lebih ramah lingkungan,” jelas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Tutuka Ariadji dalam webinar CCS/CCUS sebagaimana dilansir pada laman resmi Kementerian ESDM, Senin (26/4/2021).

Baca Juga: Ojek Makanan Balita, Cara Manjur Pengentasan Gizi Buruk Balita

Teknologi CCUS di Indonesia saat ini masih dalam tahap Penelitian dan Pengembangan (R&D). Pemanfaatannya difokuskan untuk peningkatan produksi sumur-sumur tua minyak dan gas di berbagai lokasi di Indonesia. Bagaimana peluangnya?

Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga Juni 2021 ada tiga proyek R&D CCUS Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Indonesia.

Proyek di Gundih telah memasuki tahap pembuatan proposal CCUS karena masa pilot project telah selesai. Sementara untuk lapangan Sukowati diproyeksikan mengubah CO2 melalui EOR. Adapun selama masa percobaan injeksi CO2, lapangan Sukowati akan menghasilkan 250 ton CO2 per hari selama satu tahun sehingga dapat meningkatkan produksi minyak sebesar 400 barel minyak per hari.

Jika berjalan, proyek tersebut dapat mengalirkan CO2 sebesar 4.000 ton per hari selama 25 tahun dengan potensi penambahan produksi EOR mencapai 10.000 barel per hari.

"Kontribusi emisi CO2 dari hasil kegiatan produksi migas cukup besar. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi CCUS untuk mengurangi emisi CO2," kata Direktur Pengembangan dan Produksi Pertamina Hulu Energi (PHE), Taufik Adityawarman dalam webinar Upaya KKKS Mengurangi Emisi Karbon yang diadakan Ruang Energi, Kamis (17/6/2021).

Adapun, untuk proyek CCUS di lapangan Tangguh mempunyai emisi CO2 sebesar 5 juta ton dan diprediksi meningkat 8 juta ton CO2 saat kilang Tangguh Train 3 beroperasi.

Dari studi internal BP menunjukkan potensi dari lapangan Tangguh bisa mencapai 30 juta ton CO2 hingga 2035. Proyek di Tangguh memasuki tahap pengusulan CCUS melalui EGR yaitu tahap perencanaan dan diskusi untuk melakukan kegiatan tersebut.

"Gas alam berpotensi memainkan dua peran penting dalam percepatan transisi ke sistem energi rendah karbon. Gas yang dikombinasikan dengan CCUS menyumbang antara 8--10 persen energi primer pada tahun 2050 dalam skenario Rapid Transition Scenario dan Net Zero Emissions," demikian dijelaskan BP Indonesia pada laporan Energy Outlook 2020 sebagaimana dilansir laman resminya, Senin (2/8/2021).

Suksesi KKKS Kurangi Emisi untuk Penuhi Target SKK Migas 2030Aktivitas di sumur ekplorasi Jatibarang Field di Jawa Barat (IDN Times/Dhana Kencana)

Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin pada sebuah diskusi panel Toward Indonesia De-carbonisation Society through CCUS secara virtual, Kamis (10/12/2020) menjelaskan bahwa dalam studi kelayakan Substitute Natural Gas (SNG) Plant di Pendopo diketahui jika pemanfaatan CO2 untuk EOR di ladang minyak dalam radius 100 kilometer dari lokasi pabrik, mampu meningkatkan cadangan minyak mentah ± 350 juta barel dan menyimpan ± 0,073 giga ton CO2.

Dengan potensi yang ada tersebut, kegiatan produksi yang ramah lingkungan menjadi tantangan bagi industri hulu migas di Tanah Air. Pasalnya, sebanyak 60 persen lapangan migas di Indonesia menghasilkan tingkat emisi CO2 yang tinggi. Satu sisi produksi mereka harus ekonomis, pada sisi lain dituntut untuk lebih ramah lingkungan. 

Strategi implementasi CCUS masuk dalam Indonesia Oil and Gas (IOG) 4.0, yang menjadi panduan fundamental SKK Migas dalam mencapai target migas pada 2030. Selain menjamin kelestarian lingkungan yang berkelanjutan, CCUS mampu meningkatkan multiplier effect (efek berganda).

Oleh karena itu, SKK Migas meminta KKKS bersama-sama mengatasi kenaikan emisi CO2 dengan CCUS, sehingga kebutuhan energi nasional terpenuhi, pengelolaannya lebih ramah lingkungan, serta dapat bersaing pada tingkat global.

“Rencana (IOG 4.0) ini disesuaikan dengan tren global seperti isu perubahan iklim dan lingkungan, pandemik COVID-19, serta beberapa isu tren global lainnya. Untuk lebih meningkatkan daya saing diera transisi energi, kami (SKK Migas) juga mengembangkan program inisiatif rendah karbon seperti CCUS yang harus diterapkan,” kata Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, melansir laman resmi SKK Migas, Selasa (3/8/2021).

Suksesi KKKS Kurangi Emisi untuk Penuhi Target SKK Migas 2030Satwa liar Owa Jawa di hutan hujan tropis di Pekalongan, Jawa Tengah (IDN Times/Dhana Kencana)

Federasi Margasatwa Nasional (NPF) melalui laman resminya menyebut apabila teknologi CCUS memberikan peluang satwa liar yang terkena dampak emisi karbon bisa bertahan hidup dan berkembang biak.

Sementara bagi masyarakat menjadi bagian transisi menuju ekonomi yang adil dan bersih. Sebab, CCUS masuk dalam rangkaian strategi yang bermanfaat dalam transisi energi--jika dilakukan dengan benar--karena mempertimbangkan dampak terhadap masyarakat dan satwa liar.

Baca Juga: Difabel Ampel Kredibel dan Berdaya Bersama Pertamina

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya