5 Fakta Penting Eating Disorder, Dialami oleh Ilene Peserta INTM

Melibatkan hubungan yang tidak sehat dengan makanan

Beberapa waktu lalu sempat viral tentang peserta Indonesia's Next Top Model (INTM), Danella Ilene, yang mengaku memiliki eating disorder atau gangguan makan. Fokus pembicaraan bukan pada gangguan makan itu sendiri, tetapi lebih pada bagaimana komentar Deddy Corbuzier dan Luna Maya sebagai juri dianggap tak pantas dan akhirnya menuai kecaman.

Dalam sebuah episode INTM, ia bercerita bahwa dirinya punya gangguan makan di hadapan para juri; kadang terlalu banyak makan dan kadang tidak makan sama sekali. Sayangnya, ceritanya dipotong oleh para juri. Dari situ, netizen dan khususnya para ahli kejiwaan kecewa dan sangat menyayangkan respons para juri yang dianggap tidak peka terhadap isu kesehatan mental, seolah-olah gangguan makan bukan hal serius.

Faktanya, gangguan makan adalah salah satu isu gangguan mental yang tidak boleh diremehkan. Terlepas respons para juri INTM yang dianggap tidak peka, mari ketahui lima fakta gangguan makan berdasarkan beberapa studi kasus dari jurnal ilmiah.

1. Menyakiti diri sendiri dan pola makan yang tidak teratur umumnya terjadi bersamaan pada anak muda di populasi umum 

5 Fakta Penting Eating Disorder, Dialami oleh Ilene Peserta INTMpexels.com/Markus Spiske

Warne dkk., telah melakukan penelitian mengenai komorbiditas melukai diri sendiri dan gangguan makan pada anak muda dari kelompok berbasis populasi Inggris. Hasilnya diterbitkan dalam Journal of Affective Disorders tahun 2021. Mereka mendapatkan komorbiditas tinggi dari menyakiti diri sendiri dan pola makan yang tidak teratur, umumnya terjadi bersamaan pada anak muda di populasi umum.

Dari hasil temuannya, hampir dua pertiga dari perempuan berusia 16 tahun dan dua dari lima laki-laki usia 24 tahun yang menyakiti diri sendiri juga melaporkan beberapa bentuk gangguan makan. Anak muda dengan pola makan yang tidak teratur melaporkan tingkat menyakiti diri sendiri yang lebih tinggi pada kedua usia dibanding mereka yang tidak mengalami gangguan makan.

Selain itu, peneliti juga menemukan tingkat gangguan makan yang lebih tinggi di antara partisipan yang melaporkan tindakan menyakiti diri daripada daripada sebaliknya, serta lebih tinggi pada perempuan dengan tindakan menyakiti yang berulang dibanding perempuan dengan satu kali tindakan menyakiti diri sendiri.

Tim peneliti menduga komorbiditas antara melukai diri sendiri dan pola makan tak teratur mungkin disebabkan oleh beberapa faktor risiko, seperti impulsif, disregulasi emosi, dan disosiasi.

2. Harga diri rendah dan intoleransi suasana hati secara langsung dikaitkan dengan gejala eating disorder

5 Fakta Penting Eating Disorder, Dialami oleh Ilene Peserta INTMfreepik.com/rawpixel.com

Jones dkk., melakukan analisis mengenai pemeriksaan model perilaku kognitif transdiagnostik gangguan makan pada remaja. Diterbitkan dalam jurnal Eating Behaviors tahun 2020, jalur analisisnya menunjukkan bahwa harga diri rendah dan intoleransi suasana hati secara langsung berhubungan dengan gejala gangguan makan.

Penemuan ini menunjukkan bahwa model transdiagnostik gangguan makan memiliki beberapa validitas pada remaja, di mana mekanisme pemeliharaan harga diri inti dan intoleransi suasana hati tampaknya sangat penting di rentang usia remaja. 

Temuan tersebut konsisten dengan penelitian sebelumnya pada orang dewasa yang dilakukan oleh Lampard dkk. (2013) dan pada anak-anak dan remaja oleh Curzio dkk. (2018). Begitu juga temuan hubungan intoleransi suasana hati dan gejala gangguan makan serupa dengan hasil penelitian oleh Curzio dkk. (2018). 

Selain itu, beberapa penelitian menemukan bahwa harga diri merupakan faktor penting pada gejala gangguan makan pada remaja dan dewasa. Namun, intoleransi suasana hati tampaknya hanya memelihara gangguan makan hanya pada remaja. Hal ini memungkinkan model transdiagnostik, seperti harga diri rendah inti dan intoleransi suasana hati, mungkin memiliki peran yang lebih menonjol pada remaja.

Di samping itu, temuan perbedaan pada remaja dan dewasa ini konsisten dengan penelitian pengembangan yang pernah ada, yang menemukan bahwa remaja meningkatkan risiko cedera diri non-bunuh diri terkait dengan intoleransi suasana hati oleh Anderson dkk. (2018) dan Gandhi dkk. (2018), serta peningkatan fokus pada harga diri secara normatif perkembangan pada remaja oleh Birkeland dkk. (2012). 

Baca Juga: 6 Gangguan Makan Paling Umum, Korbannya Bukan Hanya Perempuan

3. Individu dengan eating disorder tampaknya berisiko lebih tinggi mengalami gangguan suara daripada populasi umum

5 Fakta Penting Eating Disorder, Dialami oleh Ilene Peserta INTMfreepik.com/diana.grytsku

Studi yang dilakukan oleh Lawrence dan Mersbergen dalam Journal of Voice tahun 2020 menemukan bahwa para individu dengan gangguan makan tampaknya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan suara daripada populasi umum. Hasilnya diterbitkan 

Umumnya literatur beranggapan bahwa orang dengan bulimia nervosa berisiko lebih tinggi mengalami gangguan suara karena perilaku memuntahkan makanan, tetapi bukti dari studi ini menunjukkan bahwa hubungan ini lebih rumit. Ini dijelaskan dalam hasil analisis dari tiga tujuan studi yang dilakukan, di antaranya sebagai berikut.

Dari hasil studi secara keseluruhan, mereka yang mengalami gangguan makan menunjukkan tingkat prevalensi 22 persen untuk gangguan suara, di mana lebih dari dua kali lipat tingkat prevalensi 3-9 persen untuk gangguan suara pada populasi umum.

Individu dengan anoreksia (23 persen) menunjukkan hasil yang lebih tinggi prevalensi gangguan suara dibanding individu dengan bulimia (18 persen). Meskipun perbandingan ini belum diverifikasi secara statistik, tetapi orang dengan anoreksia disarankan untuk dimasukkan ke dalam penelitian yang melaporkan gangguan makan.

Selain itu, diagnosis gangguan makan lainnya memiliki prevalensi yang sedikit lebih tinggi daripada populasi umum dengan binge-eating disorder sebesar 13,04 persen dan gangguan makan spesifik lainnya sebesar 11,43 persen. 

Faktor yang tidak terduga dalam penelitian ini adalah hanya 28,57 persen dari mereka dengan ED melaporkan hanya satu diagnosis gangguan makan. Sebagian besar responden disajikan dengan diagnosis gangguan makan multipel, sehingga membuat kesimpulan pasti tentang hubungan antara gangguan makan dan gangguan suara karena kelainan tertentu tidak mungkin dilakukan.

Selain itu, sulit untuk menentukan apakah mereka yang memiliki banyak gangguan makan memiliki risiko lebih tinggi untuk gangguan suara daripada mereka yang hanya memiliki satu diagnosis gangguan makan.

Hasil temuan mereka juga menunjukkan bahwa hubungan antara muntah dan gangguan suara masih belum jelas dan mungkin mengindikasikan bahwa olahraga sebagai metode purging (mengeluarkan makanan yang telah dikonsumsi) atau metode purging ganda meningkatkan risiko gangguan suara lebih dari muntah.

Di samping itu, mereka juga menjelaskan bahwa tingkat gangguan suara yang lebih tinggi pada populasi dengan gangguan suara tidak selalu karena muntah (baik yang diamati pada anoreksia atau bulimia), bisa jadi malnutrisi. Dalam jangka waktu yang lama, malnutrisi menyebabkan pengecilan otot dan atrofi jaringan. Mungkin saja malnutrisi pada penderita gangguan makan menyebabkan kerusakan pada matriks ekstraseluler pita suara dan menghambat proses perbaikan luka. 

Hasil studi juga menunjukkan bahwa olahraga memiliki faktor risiko terbesar untuk gangguan suara. Hal ini dikarenakan individu yang berolahraga sering bernapas dengan mulut dan membatasi cairan melalui kebiasaan makan yang membatasi atau perilaku purging, sehingga terjadi dehidrasi yang bisa mengakibatkan gangguan pita suara akibat degradasi jaringan. Oleh karena itu, ini bisa menjadi efek gabungan dari malnutrisi dan dehidrasi yang berkontribusi pada gangguan suara di antara populasi ini.

4. Pria paruh baya dan lanjut usia rentan terhadap perkembangan gejala eating disorder

5 Fakta Penting Eating Disorder, Dialami oleh Ilene Peserta INTMpexels.com/Matthias Zomer

Penelitian oleh Matsumoto dan Fodgers dalam jurnal Clinical Psychology Review tahun 2020 menemukan bahwa pria paruh baya dan lanjut usia rentan terhadap perkembangan gejala gangguan makan.

Mereka mengungkapkan bahwa sejumlah penelitian telah menyelidiki prevalensi, presentasi, dan korelasi patologi gangguan makan di antara laki-laki paruh baya dan lebih tua.

Brown dkk. (2020) meneliti perubahan dalam diagnosis DSM-5 gangguan makan dari usia 20 hingga 50 di antara sampel 276 laki-laki, tingkat gangguan makan ditemukan stabil selama rentang 30 tahun.

Didapatkan hasil bahwa 50 persen di antaranya mewakili timbulnya kasus baru daripada gangguan yang ada, yang menunjukkan bahwa kejadian selama paruh baya menyumbang sebagian besar kasus dalam kelompok usia ini, demikian pula dorongan untuk menjadi kurus ditemukan meningkat di antara laki-laki selama periode waktu tersebut.

Dalam sampel kecil komunitas pria berusia 30 hingga 60 tahun dari Australia dan Selandia Baru, 6 persen laki-laki ditemukan oleh McGuinness & Taylor (2016) memiliki skor di atas batas klinis pada ukuran patologi makan.

Di antara sampel lain dari 470 pria berusia 40-75 dari Austria yang dianalisis oleh Mangweth-Matzek dkk. (2016), 6,8 persen melaporkan gejala gangguan makan termasuk berat badan rendah, makan berlebihan dengan dan tanpa purging, dan purging tanpa makan berlebihan. Khususnya, hanya tiga dari laki-laki ini yang melaporkan mengalami gangguan makan dan tidak ada yang menerima perawatan.

Dalam data yang dikumpulkan pada tahun 2002 di antara laki-laki berusia 40 tahun, ditemukan gejala gangguan makan tingkat rendah, meskipun 16 persen dari sampel melaporkan kadang-kadang atau selalu diet. Mereka menyatakan bahwa gejala gangguan makan dalam sampel ini ditemukan berkaitan dengan masalah citra tubuh. 

Penelitian oleh Rosenberger & Dorflinger (2013) juga menemukan bahwa sebagian besar laki-laki dewasa melaporkan pola makan yang tidak teratur. Dalam sampel 111 laki-laki veteran dengan berat badan rata-rata 61 tahun, 25 persen dari sampel melaporkan pesta makan. Makan berlebihan ditemukan terkait dengan depresi yang lebih tinggi, efikasi diri yang lebih rendah terkait makan sehat dan lebih banyak hambatan untuk aktivitas fisik, tetapi tidak ada hubungan dengan ketidakpuasan tubuh.

Selain itu, temuan oleh Hilbert dkk. (2012) dari sampel besar pria Jerman dengan usia rata-rata 50 tahun (kisaran 14-95 tahun) mengungkapkan tingkat keseluruhan 13 persen dari perilaku gangguan makan selama 28 hari terakhir, dengan tingkat yang lebih tinggi dari pesta makan yang objektif dan pola makan yang ekstrem, pembatasan dibandingkan dengan perilaku purging.

Mengingat fokus pada otot sebagai elemen penampilan ideal bagi laki-laki, perilaku olahraga juga telah diteliti. Dalam artikel yang ditulis oleh Mangweth-Matzek dkk. (2016) disebut bahwa di antara laki-laki paruh baya dan lebih tua di Austria yang diklasifikasikan sebagai "pemakan normal", gejala kecanduan olahraga ditemukan terjadi di lebih dari setengah sampel (55 persen), sementara di antara subkelompok dengan gejala gangguan makan, 87 persen melaporkan gejala kecanduan olahraga.

Di samping itu, berdasarkan hasil penelitian oleh Hilbert dkk. (2020), dalam sampel besar laki-laki berusia 24-75 tahun, prevalensi olahraga yang dipaksakan ditemukan sebanyak 3,5 persen,  tetapi tidak dipecah berdasarkan kategori usia.

Jadi, secara keseluruhan, berdasarkan tinjauan Matsumoto dan Fodgers, studi yang meneliti latihan patologis di antara kelompok ini telah menemukan tingginya tingkat perilaku latihan disfungsional, terutama yang berkaitan dengan masalah berat badan dan bentuk tubuh. 

5. Perempuan dengan diagnosis gangguan penggunaan alkohol dan ketergantungan nikotin seumur hidup berisiko tinggi mengalami gejala dan diagnosis eating disorder

5 Fakta Penting Eating Disorder, Dialami oleh Ilene Peserta INTMfreepik.com/freepik

Munn-Chernoff dkk., telah melakukan studi mengenai eating disorder pada komunitas berbasis sampel perempuan gangguan penggunaan alkohol dan ketergantungan nikotin (nicotine dependence). Hasilnya telah diterbitkan di jurnal Drug and Alcohol Dependence tahun 2020. Dari sampel 3.756 perempuan dengan usia rata-rata 22 tahun, didapatkan hasil bahwa perempuan dengan diagnosis gangguan penggunaan alkohol dan ketergantungan nikotin seumur hidup berisiko tinggi mengalami gejala dan diagnosis gangguan makan.

Perempuan yang melaporkan gangguan penggunaan alkohol dan ketergantungan nikotin seumur hidup memiliki nilai tertinggi prevalensi gejala dan diagnosis gangguan makan.

Perempuan baik dengan gangguan penggunaan alkohol maupun ketergantungan nikotin memiliki peningkatan risiko pelaporan anoreksia nervosa dan purging disorder yang didefinisikan secara longgar, serta gejala anoreksia dan bulimia lainnya daripada kelompok kontrol. 

Perempuan dengan ketergantungan nikotin saja lebih cenderung melaporkan gejala anoreksia, sedangkan perempuan yang hanya memiliki gangguan penggunaan alkohol lebih cenderung melaporkan terlibat dalam perilaku kompensasi apa pun daripada perempuan tanpa dua kondisi tersebut.

Temuan ini menunjukkan gangguan makan dan gejalanya lazim di antara individu dengan gangguan penggunaan zat dan ada asosiasi khusus zat dengan gejala gangguan makan individu. Oleh karenanya, informasi ini penting untuk pengobatan dengan memperkuat kebutuhan untuk menilai makan kelainan patologi di antara individu dengan gangguan penggunaan alkohol atau ketergantungan nikotin.

Demikianlah lima fakta mengenai eating disorder berdasarkan beberapa studi kasus. Selalu waspada terhadap gangguan mental apa pun, karena berpengaruh terhadap kualitas hidup. Terus lakukan hal-hal yang membuat kesehatan mental maupun fisik tetap terjaga. 

Baca Juga: 7 Fakta Hoarding Disorder, Gangguan Suka Menimbun Barang Berlebihan

Sarah Ferwinda Photo Verified Writer Sarah Ferwinda

Life is all about learning

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya