Mantan Pejuang Dwikora Jadi Murid Kesayangan Maestro Pelukis Dullah

Trisno Yuwono merupakan legiun veteran etnis Tionghoa

Trisno Yuwono masih berusia 20 tahun saat tahun 1965. Hampir bersamaan dengan munculnya tragedi Gerakan 30 September tahun itu, Trisno tiba-tiba mendapat tugas maha penting.

Trisno terpilih menjadi salah satu sukarelawan yang diberangkatkan dalam konfrontasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Konfrontasi Dwikora tercetus dari gagasan Presiden Pertama sekaligus Proklamator Indonesia, Ir Sukarno yang berniat menyatukan kawasan Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara ke dalam wilayah Republik Indonesia.

Ia bersama ratusan pemuda lainnya lalu dimasukan dalam satuan bantuan tempur, Kodim 0733 Semarang yang berada dibawah kendali Kodam IV Diponegoro.

Dalam satu bataliyon terdapat 5 kompi. Jumlah seluruh personelnya 600 orang. Untuk mempersiapkan kebutuhan konfrontasi di perbatasan Indonesia-Malaya, Trisno mendapat pendidikan militer di sebuah desa Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Badannya yang tinggi tegap dianggap cocok mengikuti serangkaian latihan militer yang digelar personel TNI. Selama di Gombong, fisiknya digembleng. Mentalnya diasah agar tidak gentar saat menghadapi medan pertempuran di perbatasan Indonesia.

"Latihan militer yang saya jalani memang berat. Fisik saya ditempa. Saya dilatih merayap melewati pagar berduri. Kemudian saya dihadapkan pada rentetan tembakan peluru tajam dan di sekeliling terpasang ranjau, kalau tidak hati-hati nyawa bisa melayang," kata Trisno ketika berbincang dengan IDN Times di rumahnya, Minggu (8/8/2021).

Untuk mengasah mentalnya, para personel TNI membekalinya dengan latihan militer di tengah hutan. Lokasi latihannya berpindah-pindah. Mulai dari lapangan, kuburan, hutan pinus sampai ke perbukitan.

Saat malam hari Trisno dikirim ke sebuah pemakaman tua di hutan Gombong. Trisno mengingat saat melewati sebuah kuburan, dirinya diajari memakai kode sandi untuk melakukan penyamaran. 

Tak jarang ia melihat banyak rekannya bertumbangan selama pendidikan militer di Gombong. "Dari latihan militer yang kita dapatkan di Gombong, kita bisa meneguhkan tekad untuk membela tanah air. Karena kita hanya bisa pasrah. Mau mati atau hidup ya tergantung takdir kita," ujarnya.

Ia menambahkan, "Banyak sekali yang gagal melanjutkan latihan karena tidak lolos skrining kesehatan. Akhirnya bataliyon kita digabungkan dengan rombongan dari Kudus dan Yogyakarta. Waktu itu saya bisa menyelesaikan latihan militer, rasanya sangat senang ikut andil membela negara. Habis latihan di Gombong, saya langsung dikirim ke Riau."

Trisno yang resmi menjadi salah satu sukarelawan Konfrontasi Dwikora mengemban tugas bersama prajurit TNI untuk mengamankan Kepulauan Riau yang berbatasan dengan perairan Malaya. Tugasnya dimulai akhir tahun 1965 sampai bulan September 1967. 

Pertama kali menjejakan kaki di Tanah Riau, ia melihat warga setempat cenderung antipati terhadap kedatangan personel TNI dari Jawa

"Pas pertama kali di Riau, saya lihat warga sangat anti sama pendatang dari Jawa. Akhirnya saya berusaha membaur dengan warga. Satu kompi disebar ke desa-desa. Satu desa ada tujuh personel. Lama lama, mereka sadar jika saya jadi bagian dari penduduk yang menjaga kedaulatan negara," kata Trisno.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Trisno mengonsumsi makanan olahan ikan yang banyak dijumpai di rumah-rumah penduduk. Sebagai bekal persenjataannya, ia menenteng senapan mesin ringan yang dilengkapi dengan rentengan peluru tajam pada pinggangnya. Selain itu ia membawa sebuah pistol. 

"Setiap hari makannya ikan. Soalnya warga Riau mayoritas jadi nelayan. Pas konfrontasi Dwikora, saya diberi tugas memata-matai pergerakan orang-orang yang dicurigai sebagai musuh," terangnya.

Bertugas jadi mata-mata di perbatasan Kepulauan Riau

Mantan Pejuang Dwikora Jadi Murid Kesayangan Maestro Pelukis DullahIlustrasi Peta Indonesia (IDN Times/Arief Rahmat)

Ketika ia melihat kapal tentara Sekutu yang melintas di perairan Riau misalnya, dirinya dengan cepat melaporkannya kepada atasannya. Sebagai telik sandi, Trisno kerap berpindah tugas ke sejumlah pulau. Termasuk ditugaskan di Pulau Bintan, Pulau Lingga, Pulau Karimun bahkan ia rela bermalam di pulau-pulau tak berpenghuni.

"Pengalaman ikut pertempuran Dwikora di Riau itu benar-benar jadi pengalaman yang sulit dilupakan," ujar bapak tiga anak dan enam cucu itu.

Trisno yang punya nama asli Lie Sah Ju mengaku bangga karena turut andil mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia. Lahir di Bojonegoro Jawa Timur pada Agustus 1944, Trisno satu-satunya warga peranakan Tionghoa Semarang yang ikut berperang dalam Konfrontasi Dwikora.

"Saya satu-satunya orang Tionghoa dari Kodim Semarang yang jadi sukarelawan Dwikora di Riau," katanya bangga.

Selepas tugas di Riau, ia kemudian dipulangkan ke Semarang dengan menumpang sebuah kapal asing yang disewa oleh pemerintah Indonesia. 

Setelah itu, Trisno memutuskan beralih menjadi seorang pelukis. Keputusannya sudah bulat karena ia berpikir dengan menjadi seorang pelukis bisa menyalurkan hobinya sekaligus memperoleh mata pencarian baru dikemudian hari.

Baca Juga: Merawat Kenangan Manis Pensiunan KAI Semarang, Hidup di Bekas Stasiun

Belajar melukis di lembaga Himpunan Budaya Surakarta

Mantan Pejuang Dwikora Jadi Murid Kesayangan Maestro Pelukis DullahTrisno Yuwono legiun veteran etnis Tionghoa saat ditemui di rumahnya Jalan Mulawarman Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Ia lantas memilih menimba ilmu dengan bergabung dalam sebuah lembaga bernama Himpunan Budaya Surakarta. Pilihannya tak keliru. Lantaran di lembaga itulah ia pertama kali bertemu dengan maestro pelukis realis Dullah.

"Habis Dwikora, saya tidak lanjutkan pendidikan militer, tetapi saya pilih gabung dengan Himpunan Budaya Surakarta, itu lembaga kebudayaan yang khusus untuk belajar melukis. Dan disitulah saya ketemu sama Pak Dullah," akunya.

Ia mengisahkan, Dullah yang notabene seorang pelukis istana pada masa pemerintahan Presiden Sukarno menghabiskan waktu luangnya dengan menjadi pengajar di Himpunan Budaya Surakarta. Sosok Dullah ia mengenal sebagai orang yang amat teliti saat melihat kemampuan seseorang.

Sedikit demi sedikit Trisno diajari Dullah bagaimana caranya memahami sebuah bahasa seni. Tak hanya itu, Dullah juga mengajarinya keterampilan seni lukis realis.

Dalam kurun waktu 23 tahun, ia diajari beragam ilmu melukis oleh sang maestro. Mulai mempelajari teknik dasar melukis, ilmu warna bangunan, memahami sebuah realita kehidupan, ilmu penjiwaan, ilmu karakter realis dan masih banyak lagi.

"Saya kan dari umur 6 tahun emang sudah suka menggambar. Dulu favorit saya menggambar pemandangan sejarah. Nah, pada waktu ketemu Pak Dullah di Solo, saya baru diajari cara memahami bahasa seni. Selama 10 tahun pertama, saya baru bisa menguasai ilmu dasar seni. Kemudian saya pelajari ilmu warna bangunan. Saya ikut Pak Dullah sejak 1972 atau selama 23 tahun," bebernya. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Trisno Yuwono jadi murid kesayangan maestro pelukis realis Dullah

Mantan Pejuang Dwikora Jadi Murid Kesayangan Maestro Pelukis DullahTrisno Yuwono seorang legiun veteran etnis Tionghoa sekaligus murid pelukis Dullah. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Seperti Dullah, Trisno pun mahir melukis bercorak realis. Ia ikut rombongan Dullah tatkala menggelar pameran ke seluruh penjuru negeri. Tercatat ia pernah pameran di Jakarta, Gedung Agung Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Bali dan Kota Semarang.

Ia masih bisa mengingat ketika sebuah pameran lukisan yang diikutinya di Jakarta tahun 1979 sempat diresmikan oleh Wakil Presiden Indonesia, dam Malik.

Lukisan kebanggaannya yang menggambarkan suasana Pertempuran Lima Hari lengkap dengan kondisi kampung batik yang dibakar tentara Jepang bahkan turut dipajang di Museum Dullah yang terletak di Solo.

Bisa dibilang Trisno adalah murid kesayangan Dullah. Hal itu terbukti saat kemanapun Dullah berpergian, Trisno pasti mengikutinya.

"Lukisan saya yang menggambarkan Pertempuran Lima Hari Semarang masih dipajang di Museum Dullah. Jelas sangat senang bisa jadi muridnya Pak Dullah. Pas dia tinggal di Bali, saya ikut beberapa tahun," tuturnya.

Sepeninggal Dullah pada 1996 silam, ia mengatakan tekadnya untuk menghasilkan karya lukisan tak pernah putus. Total sudah ada 100 lebih lukisan realis yang ia hasilkan sampai sekarang.

Corak lukisannya punya ciri khas karena menyimpan rekam jejak sejarah bangsa Indonesia. Lukisannya kini telah merambah ke sejumlah negara seperti Rusia, Jerman Australia dan Jepang. Ia kerap membuat lukisan menggunakan arklirik, cat minyak dan sebuah arang.

Disamping itu, masih ada ribuan goresan sketsa yang ia hasilkan. Sebuah sketsa ia anggap sebagai buku diary untuk merekam memorinya pada berbagai jenis peristiwa yang ditemuinya setiap hari.

"Alumni Himpunan Budaya Surakarta sekarang hanya tersisa empat orang. Satu orang ada masih hidup di kawasan Borobudur Magelang, sedangkan sisanya tinggal saya dan dua orang lagi di belakang Don Bosco Semarang. Mereka masih aktif melukis," terang kakek berusia 77 tahun tersebut.

Menyambung hidup dengan jualan lukisan

Mantan Pejuang Dwikora Jadi Murid Kesayangan Maestro Pelukis DullahTrisno Yuwono seorang legiun veteran asal Semarang menunjukan lukisan buatannya saat disambangi di rumahnya Jalan Mulawarman. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Untuk mengisi hari tuanya, Trisno tinggal di rumahnya Jalan Mulawarman V Banyumanik ditemani istri tercinta. Beberapa kali ia mengajar di PAUD sekitar rumahnya. Sebagai seorang legiun veteran pembela kemerdekaan, Trisno juga mengandalkan uang bulanan dari tunjangan veteran (tuvet) sebesar Rp2,6 juta.

"Untungnya saya dapat uang tuvet setiap bulan Rp2,6 juta. Selain itu, saya beberapa kali diminta ngajar anak-anak PAUD. Karena saya masih rajin melukis, jadinya kadang ada yang beli lukisan potret ukuran 60x50 sentimeter, harganya Rp1 juta sampai Rp1,5 juta. Kalau lukisan realis pernah ada yang beli Rp3,5 juta," bebernya.

Sedangkan, Sekretaris Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Cabang Kota Semarang, Tukimin membenarkan jika Trisno merupakan segelintir mantan pejuang yang terdaftar di dalam organisasinya.

Tukimin berkata masih banyak mantan pejuang kemerdekaan yang hidupnya terlunta-lunta karena jarang mendapat perhatian dari pemerintah. 

"Pak Trisno Yuwono tercatat sebagai legiun veteran yang masih eksis di Semarang. Beliau hobinya melukis," imbuh Wiwik, salah satu staf kantor LVRI Kota Semarang yang terletak di Gedung Juang 45, Jalan Pemuda Semarang.

Trisno Yuwono merupakan legiun veteran etnis Tionghoa yang masih eksis di Semarang

Mantan Pejuang Dwikora Jadi Murid Kesayangan Maestro Pelukis DullahMakam Lie Eng Hok salah satu pejuang Tionghoa yang berada di TMP Giri Tunggal Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Herman Joseph Soejani selaku Ketua LVRI Semarang mengapresiasi jasa-jasa dan jiwa kepahlawanan yang ditunjukan oleh Trisno Yuwono. Selama ini hanya ada sedikit warga peranakan Tionghoa yang diketahui memiliki peran penting dalam membela kemerdekaan Indonesia.

"Pak Trisno memang seorang legiun veteran dari peranakan Tionghoa di Semarang," paparnya ketika dihubungi IDN Times.

Secara keseluruhan jumlah legiun veteran yang terdata di Semarang sampai bulan Juni 2021 sekitar 230 orang. Jumlah itu merupakan legiun veteran pejuang kemerdekaan Indonesia, legiun pembela Trikora, Dwikora dan Operasi Seroja Timor Timur. 

Diluar itu masih ada legiun veteran pasukan Perdamaian PBB dari personel Banteng Raider sejumlah 401 orang. berjumlah 307 orang. Dilain pihak, jejak warga Tionghoa yang berjuang membela kemerdekaan Indonesia kini masih bisa dilihat dengan jelas di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal.

Menjelang perayaan hari kemerdekaan Indonesia ke-76, IDN Times melihat sejumlah tukang kuburan rutin merawat makam-makam pejuang Tionghoa yang ada di Giri Tunggal.

Salah satu pejuang Tionghoa yang dimakamkan di TMP Giri Tunggal adalah Lie Eng Hok. Makam Lie Eng Hok berada di pinggir anak tangga dengan kondisi yang masih terawat dengan baik. 

"Setiap menjelang perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus, ada belasan tukang kubur yang rutin merawat seluruh makam di Giri Tunggal. Terutama makamnnya pejuang Tionghoa juga kita beri perawatan yang layak. Dari membersihkan pusaranya, mempercantik kijingnya sampai mengecat ulang helm hijau yang terpasang di depan kuburannya," kata Muhammad Arif, salah satu petugas harian lepas di TMP Giri Tunggal.

Arif mengatakan ada 2.000 lebih pahlawan, tokoh politik maupun tentara dan polisi yang dimakamkan di TMP Giri Tunggal. Makam Lie Eng Hok, katanya juga kerap disambangi oleh sanak keluarganya. 

Mayoritas keluarga Lie saat ini tinggal di Jakarta. Pada hari-hari tertentu, sejumlah kerabat Lie tampak datang untuk berdoa di pusara pahlawan yang dikenal sebagai agen rahasia Indonesia tersebut.

"Kalau pas hari tertentu, keluarganya Lie Eng Hok pasti datang kemari. Biasanya mereka berziarah sekaligus berdoa. Ada yang pengin kenal dengan sosok leluhurnya," terang Arif.

Baca Juga: Tragisnya Monumen Peluru Tentara Pelajar Semarang, Kini Jadi Arena Judi Togel

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya