Dari Wadas, Kisah Warga Perjuangkan Tanah Hadapi Intimidasi dan Tinju Aparat

Konflik pertanahan akibat kepentingan rakyat yang diabaikan

Semarang, IDN Times - Kasus konflik agraria di Indonesia masih terus bergulir di berbagai daerah. Teranyar konflik antara pemerintah dengan masyarakat Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo yang menolak menyerahkan lahan mereka yang akan digunakan sebagai lokasi penambangan quarry batuan andesit.

Warga beramai-ramai menentang tanah yang merupakan warisan leluhur mereka dieksploitasi sedemikian rupa, diambil batuannya sebagai bahan baku pembangunan Waduk Bener. Tanah yang sejak dahulu sebagai tempat menggantungkan hidup dan mata pencaharian bercocok tanam, kini diambang kerusakan.

Merasa terusik dan ruang hidup mereka terancam warga Wadas pun tak menerima rencana tersebut, berbagai usaha perlawanan mereka lakukan mulai dari melakukan upaya hukum mengajukan gugatan, melakuan aksi unjuk rasa, dan puncaknya yakni pada Selasa (8/2/2022) warga menolak pengukuran lahan oleh BPN.

Kasus Wadas merupakan salah satu kisah pahit perlawanan warga berhadapan dengan penguasa. Di berbagai wilayah di Indonesia masih banyak konflik-konflik agraria yang hingga kini belum menemui titik temu, bahkan beberapa diantaranya telah berlangsung puluhan tahun.

Setiap konflik agraria dimana rakyat beradu dengan pemerintah, rakyat terutama petani seringkali menjadi pihak yang paling sering dirugikan. Minimnya partisipasi dari warga baik dalam perencanaan pembangunan maupun pengambilan keputusan mempertegas anggapan bahwa pemerintah menggunakan kebijakan top-down. Negara hanya akan melihat tanah sebagai komoditas, bukan sebagai sumber kehidupan.

Mulai dari alasan untuk kepentingan proyek nasional, mempermulus investasi berikut adalah konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia yang masih menjadi PR pemerintah untuk segera menyelesaikannya.

Baca Juga: Pemilik 94 Bidang di Desa Wadas Tolak Pengukuran Lahan, Ganjar Ngotot Tetap Jalan

Perlawanan kasus Wadas berhadapan dengan intimidasi dan kekerasan dari aparat kepolisian

Dari Wadas, Kisah Warga Perjuangkan Tanah Hadapi Intimidasi dan Tinju AparatKepolisian saat berada di Desa Wadas, Bener, Purworejo. (Twitter/YLBHI)

Selasa (8/2/2022) pagi warga Desa Wadas dikejutkan kedatangan ratusan aparat kepolisian yang memasuki desa mereka.

Hari itu ratusan aparat dikerahkan memasuki Desa Wadas. Awalnya, yang masuk ke Wadas yakni aparat Brimob membawa senjata dan mengendarai sepeda motor. Mereka melepaskan poster-poster penolakan penggusuran di ditempel di sekitar Desa Wadas.

Setelah Brimob masuk, ratusan polisi bersenjata lengkap membawa tameng menyusul, tak lama berselang orang-orang dari BPN dan disusul orang-orang yang pro pengukuran lahan masuk.

Warga yang menolak pengukuran dari BPN berkumpul di masjid menggelar doa bersama. Ibu-ibu yang biasanya berkumpul di pos-pos untuk mebuat kerajinan besek ikut berkumpul di masjid. Alat-alat untuk membuat besek sperti golok, pisau, gergaji tak sempat mereka singkirkan berakhir sebagai barang sitaan polisi.

Warga Desa Wadas yang sedang duduk-duduk, mujahadah, tapi tiba-tiba ditarik dimasukkan ke mobil-mobil polisi. Tak kurang sebanyak 64 warga Desa Wadas digelandang ke Polres Purworejo. Tak hanya ditangkapi, hape milik warga juga menjadi sasaran sweeping yang dilakukan oleh aparat keamanan.

Mukti salah seorang warga Desa Wadas mempertanyakan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian tersebut. Warga yang tengah menggelar doa bersama menjadi sasaran penangkapan yang dilakukan aparat keamanan.

Tindakan penangkapan yang dilakukan polisi kepada warga dituding dilakukan secara awur-awuran. "Masak yang datang ke sana Mujahadah, istigosah berdoa juga diamankan," katanya.

Ia membantah pernyataan pihak kepolisian yang menyebutkan mereka melakukan pengamanan saat pengukuran di Masjid, faktanya menurutnya tak ada lahan kuari untuk penambangan andesit di masjid tersebut.

Julian Duwi Prasetia, Koordinator Advokasi LBH Yogyakarta yang mendampingi warga Wads juga tak luput dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Julian berangkat ke Desa Wadas berlima, dengan tiga rekannya di LBH Yogyakarta Yayak Yatmaka (dikenal dengan sebutan Yayak Kencrit, aktivis dan seniman senior yang pada era Orde Baru membuat poster “Tanah Untuk Rakyat”, kemudian diburu penguasa saat itu).

"Kami berlima berangkat dari Yogya pukul 10.00 WIB, sampai di lokasi sekitar pukul 13.00 WIB. Saya berada di dekat masjid sekitar 30 menitan habis itu dibawa ke Polsek Bener," ujar dia.

Setibanya di Wadas, Julian bersama rekan-rekannya langsung mencari anak-anak. "Karena dia sudah punya strategi mitigasi untuk anak-anak, supaya kalau terjadi konflik, gimana caranya supaya anak-anak bisa dievakuasi. Tapi waktu itu saya dapat WA juga, Mas Yayak sudah ditangkap, dan gak menemukan anak-anak di lokasi shelter yang sudah dijanjikan," kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah ini.

"Saya sempat dikerubungi, saya mendapatkan pukulan, kemudian Mas Dhanil (Al Ghifary, Divisi Kampanye dan Jaringan LBH Yogyakarta) juga dipikul, jadi empat orang, kami dari LBH dapat pukulan. Saya gak tahu Mas Yayak dipukul atau gak, pemukulnya memang orang-orang yang tidak berseragam, dan orang yang sama yang ada di video yang viral itu yang bapak-bapak yang kemudian dibantingi," lanjut Julian.

Penangkapan warga tersebut mendapat kecaman dari berbagai pihak, akhirnya warga yang ditangkap dibebaskan setelah Gubernur Jateng dan Kapolda Jateng sepakat untuk melepaskan puluhan warga tersebut.

Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Luthfi mengaku personelnya tidak menahan 64 warga Desa Wadas. Ia beralasan personelnya melakukan pengamanan pengukuran yang dilakukan oleh BPN dan mencegah potensi bentrok antara masyarakat yang pro dan yang kontra dengan penambangan. Luthfi mengatakan dalam "operasi" tersebut pihaknya telah menjalankan aturan sesuai standar operasional prosedur (SOP). 

"64 orang kami amankan, sekarang ada di Polres Purworejo dan hari ini akan kami kembalikan ke masyarakat. Tidak ada penangkapan dan penahanan, yang kami lakukan hanya mengamankan," ujarnya dalam keterangan yang diterima IDN Times, Rabu (9/2/2022).

Tak hanya warga intimidasi diduga juga dirasakan para aktivis yang mencoba melakukan diskusi terkait Wadas. Kegiatan Diskusi Wadas Bareng Jejaring Warga Jawa Tengah di Kota Semarang sempat mengalami intimidasi.

Cornel Gea dari LBH Semarang, pada Kamis (17/2/2022) malam pemilik tempat sempat mendapat pesan WhatsApp dari Kamtibmas. Ia mendapat informasi diskusi yang menanyakan perihal izin diskusi.

Kemudian, Jumat (18/2/2022) pagi, pemilik tempat didatangi oleh kepolisian dari Polrestabes Semarang. Pemilik tempat diminta untuk membatalkan diskusi Wadas bersama warga dengan alasan yang tidak jelas dan tidak berdasar. Pemilik juga diancam apabila tidak membatalkan diskusi, kafe tersebut akan disegel.

"Kami dari panitia dan pemilik tempat juga telah memastikan protokol kesehatan akan berjalan dan melakukan pembatasan peserta. Sehingga, upaya pembubaran diskusi yang dilakukan oleh Polrestabes Semarang adalah efek lanjutan dari perintah Presiden Jokowi terhadap Kapolri untuk melindungi Investasi," katanya dalam keterangan resmi yang diterima IDN Times, Jumat (18/2/2022).

Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar mengatakan memang ada unsur kepolisian yang datang ke Matera Caffe yang jadi lokasi diskusi Wadas, namun hanya sekadar menanyakan kesiapan protokol kesehatan kepada panitia.

Ia mengaku juga tidak pernah menyuruh personelnya dan intel untuk menakut-nakuti pemilik kafe. "Tidak ada upaya seperti itu. Boleh-boleh aja kok kalau make diskusi. Saya pastikan tidak ada intelkam yang ke sana," kata Irwan kepada IDN Times via telepon. 

"Saya sudah telepon panitianya. Dan mereka boleh mengadakan acara apapun, sejelek apapun boleh. Kalau perlu saya back up sendiri, tapi kalau tidak butuh pengamanan ya gak apa-apa. Yang jelas kita musti memastikan aturan prokesnya," pungkasnya. 

Atas nama Program Strategis Nasional pemerintah mestinya tak mengabaikan hak-hak rakyat

Dari Wadas, Kisah Warga Perjuangkan Tanah Hadapi Intimidasi dan Tinju AparatJalan Tol Balikpapan-Samarinda sepanjang 97,99 km siap beroperasi (dok. Jasa Marga)

Kritikan tajam juga mengarah kepada Gubernur Jateng Ganjar Pranowo sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk mensukseskan rencana pembangunan bendungan Bener. Ganjar pun akhirnya meminta maaf dan berupaya untuk membangun komunikasi yang lebih elegan dan manusiawi kepada warga yang menolak.

Pembangunan Bendungan Bener sebenarnya merupakan satu diantara 58 Program Strategis Nasional (PSN) Sektor Bendungan dan Irigasi yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo. Total investasi proyek ini bernilai Rp2,06 triliun dari pos anggaran APBN dan APBD.

Penanggung jawab proyek Bendungan Bener yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak. Pembangunannya melibatkan tiga BUMN yakni PT Brantas Abipraya (Persero), PT PP (Persero), dan PT Waskita Karya (Persero). Diharapkan setelah selasai Bendungan Bener akan menyuplai air untuk lahan irigasi sawah seluas 13.589 hektar di area lama dan 1.110 hektar di area baru.

Program Strategis Nasional untuk pembangunan Bendungan Bener sebenarnya tidak ada masalah bagi warga di Desa Wadas bahkan disambut baik. Hanya saja pendekatan yang dilakukan pemerintah melalui cara represif intimidasi dan kekerasan membuat warga bangkit dan melawan. Selain itu warga juga menolak rencana penambangan yang dikhawatirkan dapat merusak lingkungan dan hilangnya mata pencaharian warga.

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo tetap tidak bergeming meski warga mendesak pencabutan Izin Penguasaan Lahan (IPL) yang mengeluarkan Wadas sebagai lokasi penambangan. Rencana proyek penambangan andesit di Wadas pun akan terus dikawal agar tidak menimbulkan masalah seperti yang dikhawatirkan banyak orang, mulai dari permasalahan kerusakan lingkungan hidup, warga desa kehilangan mata pencaharian, dan terjadinya konflik sosial antar warga.

Ganjar mengaku tidak bisa membatalkan pengambilan batu andesit bagi Bendungan Bener karena mempertimbangkan sejumlah faktor. Ganjar berdalih segala penghitungan sudah dilakukan dengan cermat termasuk melihat dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat.

"Maka saya sampaikan informasinya, pada saat bendungan itu diusulkan untuk dibangun, tujuannya memang supaya bisa menangkap aliran Sungai Bogowonto sehingga sawah sekitarnya dapat aliran irigasi. Dan menurut hitung-hitungannya, tempat itu yang bisa dipakai. Saya udah ngomong sama BBWS (Serayu Opak) dan Kementerian PUPR," ujar Ganjar, Kamis (17/2/2022).

Pengambilan batu andesit di Desa Wadas dari kajian teknis tergolong efisien sehingga Kementerian PUPR memilih lokasi proyeknya di desa tersebut. Jika lokasi pengukurannya dipindahkan ke tempat lainnya, dirinya justru pesimistis bisa terlaksana dengan lancar. Sebab ia mengklaim harga tanah di Wadas jauh lebih murah ketimbang kawasan lainnya.

"Kalau pindah dan beli di tempat lain akan jauh lebih mahal harganya. Jadi kenapa dipilihnya di situ, ya memang dipilih yang paling efisien dan sudah ada pembahasannya dari PUPR. Merekalah yang lebih pintar menjelaskan ketimbang saya," cetusnya.

Proyek lain atas nama PSN yang kenyataannya malah menimbulkan masalah yakni konflik agraria Jalan tol Balikpapan-Samarinda di Kalimantan Timur (Kaltim)

Pada proyek itu masih banyak warga pemilik lahan belum mendapat kompensasi atas beton yang berdiri di tanah mereka. Yang akhirnya menjadi konflik berkepanjangan.

Meski berkali-kali disuarakan, nyatanya hingga kini belum ada titik terang untuk persoalan tersebut. Drinus Arruan, warga Kilometer 38 Samboja mengaku Dia harus berjuang mendapatkan haknya dari 2 hektare tanahnya yang kini menjadi akses jalur cepat di Kaltim.

Jika diingat-ingatnya, saat itu sekitar tahun 2018 soal pembangunan jalan tol ini memang sudah pernah dibicarakan oleh pemerintah kepadanya dan puluhan warga lainnya. Tapi siapa sangka, belum ada pembicaraan lebih jauh proyek itu tetap dijalankan dan telah diubah menjadi hak pengelolaan lahan (HPL) negara.

"Sampai sekarang itu jadinya belum diganti. Sekarang sih lagi diurus di Jakarta," kata dia.

Usai pembalikan lahan warga menjadi HPL itu, Drinus mengungkapkan jika pemerintah hanya baru mengganti tanaman yang ada di lahan itu saja. Padahal seharusnya tanahnya juga turut diganti rugi.

Inilah yang menjadi kebingungan warga. Apalagi sampai menginjak tahun 2022 ini persoalan ganti rugi itu tak kunjung selesai.

"Kami sampai melakukan banyak cara agar dapat didengar, melakukan aksi di saat pak Jokowi datang tapi tetap saja belum ada kelanjutannya," terang pria berusia 60 tahun ini.

Sebenarnya sempat sekali dirinya sudah bertemu dengan Jokowi saat kunjungan kerja orang nomor 1 di Indonesia itu pada tahun 2019 lalu. Bahkan sudah menyerahkan data terkait ganti rugi dan lahan yang terdampak.

Tapi lagi-lagi Drinus tak tahu sudah sampai mana dan apa yang terjadi pada data itu di Jakarta. Dan lagi dirinya sebenarnya tak habis pikir dengan segala tindakan pemerintah dan aparat yang selalu saja meredam mereka, saat akan menyampaikan aspirasi.

Padahal itu mereka lakukan demi bisa mendapatkan kembali hak mereka yang dipakai oleh pemerintah.

Sebagai contoh diberikan Drinus, ketika ia bersama puluhan warga lainnya hendak turun ke jalan tol untuk melakukan aksi selalu berhadapan dengan TNI-Polri.

"Kami dibilangin, jangan mengganggu jalan karena itu proyek strategis. Bahkan kadang dua minggu sebelum kami turun TNI-Polri sudah tahu duluan," tutur dia.

Lanjutnya, hal ini pastinya memberikan rasa kecewa bagi warga di sana. Belum lagi ketika jika jumlah aparat yang datang tak sebanding dengan mereka yang dapat dihitung dalam beberapa ke depan saja. Yang membuat suara mereka berujung kembali tak terdengar.

Proyek strategi nasional (PSN) juga dinilai menjadi konflik agraria di Sumatera Utara, akibat proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastuktur. Salah satunya pembangunan di kawasan Danau Toba masyarakat Adat Sigapiton.

“Konflik-konflik agraria yang asalnya akibat program pembangunan strategi nasional gitu, ada program pembangunan strategi nasional yang dibangun di Sumtera Utara seperti di kawasan Danau Toba, pembangunan jalan tol, pembangunan pelabuhan dan sebagainya juga selalu menimbulkan konflik konflik ditengah tengah masyarakat,” ujar Koordinator KontraS Sumut Amin Multazam Lubis.

Namun kebanyakan menurut Amin konflik agraria di Sumatera Utara pemanfaatan Hak Guna Usaha (HGU).

Satu diantaranya yakni konflik eks HGU PTPN II, seluas 5873,06 hektar tanah Eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II. Lahan yang dulunya jadi HGU setelah habis masa berlakunya maka tanah itu jadi eks HGU, kemudian ada mekanisme yang dikembalikan ke negara dan ada mekanisme penyelesainya.

“Yang pertama di atas tanah tanah eks HGU, yang paling menonjol adalah eks HGU di PTPN II ada 5873,06 hektar tanah eks HGU yang sampai hari ini jadi persoalan dan selalu aja menimbulkan angka konflik di lapangan,” kata Amin.

Selain itu Amin juga menyebutkan, izin HGU yang tumpang tindih akhirnya juga memicu konflik agraria. Secara geografis konflik seperti itu berpotensi dijumpai pada wilayah pantai timur Sumatera yang merupakan wilayah perkebunan dan tambang.

“Persoalan di Sumatera Utara disebabkan di tanah-tanah yang ada HGU-nya, artinya ada tumpang tindih HGU di atas tanah itu. Dalam artian disatu sisi perusahaan menganggap bahwa mereka punya hak secara kuat bahwa mereka memiliki HGU tadi, tapi di sisi lain HGU masyarakat yang ada di wilayah itu keberatan dengan terbitnya HGU. Dari geografis konflik kayak gini bisa kita lihat di wilayah pantai timur Sumatera yang menjadi wilayah perkebunan dan tambang potensial,” katanya.

Baca Juga: Jalan Tol, Proyek Megah yang Membuat Warga Sekitarnya Meringis

97 tahun warga Pakel berjuang untuk bisa menggarap lahan dihadang tinju aparat keamanan

Dari Wadas, Kisah Warga Perjuangkan Tanah Hadapi Intimidasi dan Tinju AparatPosko Perjuangan warga Pakel. IDN Times/Istimewa

Di tempat lain intimidasi dan kekerasan juga dirasakan warga Pakel, Kecamatan Licin, Banyuwangi, Jawa Timur. Konflik agraria antara warga yang menuntut lahan di wilayah Pakel memakan korban empat orang warga yang mengaku dipukul oleh aparat kepolisian dan keamanan perkebunan Pakel.

Pada 14 Januari 2022, polisi beserta keamanan perkebunan melakukan patroli di kawasan perkebunan Pakel yang masih berstatus sengketa.

Saat polisi memasuki kawasan perkebunan terjadi pemukulan. "Terjadi pemukulan oleh aparat kepolisian, dalih mereka melakukan keamanan melakukan patroli, tanpa sepengetahuan warga. Menurut warga tidak elegan," ujar Usman Halimi pendamping warga Pakel yang juga anggota Walhi.

"Kedua patroli dengan pihak keamanan kebun, mereka melakukan kekerasan, baik pihak keamanan maupun polisi, sama sama melakukan pemukulan. Setelahnya polisi melindungi keamanan tersebut, jadi bagi kita itu tidak elegan," tambahnya.

Dari peristiwa tersebut, warga melalui persatuan Tekad Garuda melaporkan tindakan aparat kepolisian ke 6 lembaga. Beberapa di antaranya ke Kompolnas, Mabes Polri, ATR BPN, LPSK dan Komnas HAM.

Kapolresta Banyuwangi Kombes Pol Nasrun Pasaribu mengatakan, saat peristiwa terjadi polisi langsung dihadang sejumlah orang dan menggunakan motor.

"Fakta yang sebenarnya, kami melakukan patroli, tiba tiba di perkebunan PT Bumi Sari tersebut dihadang oleh beberapa sepeda motor dan orang," ujar Nasrun, 15 Januari 2022.

"Kemudian melakukan tatap muka, komunikasi yang baik dengan pelaksanaan secara humanis," tambahnya.

Kendati demikian, Nasrun menegaskan bahwa bila kabar terjadi aksi pemukulan, pihaknya tidak tebang pilih, meski dilakukan oleh anggota kepolisian.

"Kejadian yang ada dalam berita tersebut, menurut saya, kalau benar petugas kepolisian atau non kepolisian yang melakukan akan kita tegakkan," katanya.

"Kalau benar masyarakat yang melakukan tindak pidana juga kita tegakkan," jelasnya.

Hingga tahun 2022, masyarakat Desa Pakel, Banyuwangi belum bisa tenang menggarap lahan di kebun.

Perjuangan warga untuk mendapatkan lahan untuk pemukiman dan pertanian dimulai sejak tahun 1925. Setidaknya, konflik agraria di Pakel telah melampaui 6 periodesasi politik di Indonesia.

Mulai dari masa Kolonial Belanda, era revolusi kemerdekaan Indonesia, Orde Lama masa Presiden Soekarno, Peristiwa G 30 S tahun 1965, Orde Baru era Presiden Soeharto dan Reformasi 1998.

Bila dihitung mundur, perjuangan warga Pakel untuk mendapatkan lahan perkebunan di desanya telah berjalan 97 tahun.

Baca Juga: 97 Tahun Warga Pakel Banyuwangi Perjuangkan Lahan Kebun

Register 45 Mesuji catatan kelam konflik agraria yang memakan korban jiwa

Dari Wadas, Kisah Warga Perjuangkan Tanah Hadapi Intimidasi dan Tinju AparatANTARA Lampung/Istimewa

Konflik agraria menjadi PR besar yang meski diselesaikan oleh pemerintah, belajar dari pengalaman penyelesaian yang berlarut-larut dan tidak tuntas ibarat menyimpan bom waktu yang kapan saja bisa meledak dan menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks.

Konflik register 45 Mesuji merupakan salah satu warisan perselisihan sejak tahun 80'an atau 90'an. Akibat konflik tersebut harta, benda bahkan nyawa manusia menjadi korban pendekatan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan.

Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung konflik ini yakni perselisihan antara PT Silva Inhutani Lampung (PT SIL) selaku pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) dengan warga, peristiwa itu sempat melibatkan aparat penegak hukum berujung aksi intimidasi hingga penembakan terhadap warga sipil.

Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan, konflik Register 45 Mesuji bermula saat saat Menteri Kehutanan (Menhut) RI mengeluarkan SK Nomor. 688/Kpts-II/1991. Departemen Kehutanan memberikan area HPHTI Sementara kepada PT SIL di Register 45 Sungai Buaya Lampung seluas 32.600 hektare (ha). Diketahui, PT SIL merupakan perusahaan patungan antara PT Silva Lampung Abadi dan PT Inhutani V pada 7 Oktober 1991.

SK tersebut kemudian dikuatkan Gubernur Lampung Poedjono Pranyoto dengan mengirimkan surat kepada Menhut No.503/2738/04/93. Isi surat Gubernur Lampung; memberikan rekomendasi kepada Menhut untuk Perluasan area 10.500 Ha lagi sebagai HPHTI PT SIL di Register 45 Sungai Buaya. Padahal, di atas lahan tersebut setidaknya ada 3 kampung yang sudah berdiri seperti, Talang Batu, Talang Gunung, dan Tebing Tinggi.

"Ketiga kampung itu sudah ratusan tahun, saat ini berpenduduk sekitar 3.000 jiwa. Kampung-kampung lain banyak terbentuk sejak sekitar akhir tahun 80-an, seperti kampung Morodewe, Morodadi, Morobaru, Moroseneng, terbentuk sekitar 1988-1989 di sekitar Kecamatan Way Serdang," terangnya.

Sontak pengelolaan lahan mendapatkan penolakan keras dari masyarakat ketiga kampung tersebut. Memasuki Mei 1999 mereka akhirnya menuntut reclaimming lahan kepada Gubernur Lampung.

Hal ini dikarenakan desa mereka menjadi masuk dalam kawasan Register 45 Sungai Buaya. Itu seiring penerbitan SK No. 93/Kpts-II/1997 tentang pemberian HPHTI atas Areal Hutan seluas 43.100 Ha kepada PT SIL. Apalagi, di daerah setempat kala itu sudah banyak fasilitas umum seperti 3 sekolah dasar (SD), 1 SMP, 3 masjid, 6 Musala, 2 gereja, dan 3 pura.

Pergolakan antara warga, pemerintah daerah, hingga pihak swasta di atas lahan setempat akhir berlangsung hingga menahun, hingga PT SIL melayangkan laporan ke Polres Tulang Bawang (kini Mesuji) 14 Desember 2005. Menurut Irfan, salah satu puncak konflik itu terjadi 20 Februari 2006 saat 74 rumah dirobohkan secara paksa oleh aparat.

Bahkan, 1 orang warga ditangkap karena kedapatan mengambil gambar foto saat penggusuran terjadi. Selain itu, sehari sebelum penggusuran aparat kepolisian dan pihak security PT SIL turut mengintimidasi warga setempat. Berdasarkan laporan dari masyarakat, satu truk polisi mondar-mandir dari Alba IV keluar masuk Simpang D, Mesuji

"Tindakan itu adalah bentuk ultimatum kedua kapolres setempat, yang meminta masyarakat penggarap kawasan Register 45 untuk segera meninggalkan kawasan. Jika tidak, dirinya akan melibatkan Brimob dari Polda Lampung, Satpol PP Pemkab Tuba, serta Polhut Dishut Prov Lampung," sebut Irfan, Jumat (19/2/2022).

Catatan hitam konflik agraria di Register 45 Mesuji kembali terulang saat 10 November 2011. Kala itu datang di tengah kasus antara PT Barat Selatan Makmur Investindo (PT BSMI) dan aparat penegak hukum dengan warga setempat. Diketahui, PT BSMI terletak berdekatan dengan PT SIL.

Tak tanggung-tanggung, Irfan menyebut insiden itu mengakibatkan 7 warga mengalami luka tembak dan satu di antaranya meninggal dunia di lokasi kejadian. Korban lainnya mendapat perawatan medis ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis.

Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Pemprov Lampung, Kusnardi mengatakan, pemerintah daerah selama ini sudah berperan cukup baik mengatasi konflik-konflik agraria terjadi di tengah-tengah masyarakat.

"Kami di sini hadir sebagai penengah, memproses dengan baik dengan melihat kelengkapan dokumen. Jika masih tidak bisa kami juga mengarahkan agar pihak-pihak berselisih menyelesaikan secara baik-baik melalui ranah hukum lewat persidangan," kata dia.

Selain itu, Pemprov Lampung juga mengaku sangat selektif memproses penerbitan izin penggunaan lahan kepada masing-masing pihak bersangkutan, itu khususnya menyangkut Hak Guna Usaha (HGU). "Kami selalu menekankan mereka (perusahaan), untuk mendapat HGU harus membebaskan lahan masyarakat dahulu, tapi terkadang diujung jalan ada saja orang-orang yang merasa haknya telah dirampas," lanjut Kusnardi.

"Buntut insiden ini kembali membuat Register 45 memanas. Sehingga membuat pemerintah kabupaten setempat bersama aparat penegak hukum lainnya duduk bersama untuk mengeluarkan rekomendasi," kata dia.

Meski telah melewati catatan panjang, namun konflik kurang lebih telah berlangsung 30 tahun tersebut seakan dilupakan begitu saja tanpa titik terang. Pasalnya, surat rekomendasi dikeluarkan pada 2012 atas evaluasi izin pengelolaan PT SIL tidak dilaksanakan hingga detik ini.

"Total luas konsesi dengan kapasitas pembiayaan dan SDM perusahaan tidak mampu mengelola lahan seluas itu. Maka salah satu rekomendasi di wilayah konflik hak pengelolaan diberikan pada masyarakat," tambah Irfan.

Baca Juga: Peristiwa Register 45 Mesuji, Kisah Kelam Konflik Agraria di Lampung 

Pengusuran Tamansari perlawanan warga Bandung yang terusir dari rumahnya

Dari Wadas, Kisah Warga Perjuangkan Tanah Hadapi Intimidasi dan Tinju AparatIlustrasi penggusuran (IDN Times/Prayugo Utomo)

Di Jawa Barat kerusuhan Desember 2019 di kawasan Tamansari menjadi konflik pertanahan yang berujung warga menjadi korban kekerasan pemerintah yang menggunakan aparat keamanan. Masih membekas di benak Budi, salah satu warga yang rumahnya digusur oleh Pemerintah Kota Bandung. Sepetak rumah yang dihuni Budi dan beberapa kepala keluarga luluh lantah dihantam alat berat hingga rata dengan tanah.

Budi dan ratusan orang di RW 11, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan dipaksa untuk meninggalkan rumahnya. Warga dipaksa agar segera mengosongkan tempat hunian tanpa diberi waktu membereskan barang-barangnya.

Pada saat kerusuhan terjadi warga mencoba mengadang aparat yang ingin mengosongkan rumah. Padahal menurut warga persoalan gugatan di pengadilan masih belum selesai sehingga Pemkot Bandung belum sah ketika ingin menggusur rumah warga.

Bentrok antarwarga dan aparat pun tak bisa dihindari. Tidak sedikit warga dan masyarakat yang mengalami luka-luka. "Ada tetangga juga yang dihalangi ketika mau masuk rumah ambil barang. Ada juga yang dicekik, dan ada yang karena kekerasan aparat jadi susah jalan," kata Budi.

Trauma kerusuhan dan penggusuran di Tamansari bahkan dialamai anak Budi. Sang anak sering takut jika mendengar suara keras seperti yang sedang menghancurkan bangunan.

"Anak saya juga sering sebut kata-kata Beko (alat berat)," ungkap Budi.

Persoalan Tamansari untuk mayoritas warga mungkin sudah selesai. Mereka pasrah dengan penggusuran yang dilakukan pemerintah untuk membangun rumah susun (rusun). Bangunan ini pula yang nantinya bakal dipakai warga terdampak penggusuran secara gratis selama lima tahun, untuk kemudian dikenakan uang sewa.

Namun, nyatanya masih ada satu orang yang bertahan dan tetap melawan penindasan atas lahan yang selama ini sudah dia tempati.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Rizki Ramadani mengatakan, warga yang masih melakukan perlawanan yakni Eva. Dia sedari awal hingga sekarang tidak terima dengan penggusuran tersebut.

"Yang lain harus menyelamatkan hidupanya. Namun yang masih berjuang menyakini bahwa ini adalah tanah leluhur yang harus didapatkan hanyalah Eva. Karena aksinya ini dia sampai kena penyerangan dari kelompok preman," ujar Rizki yang sekarang ikut mengadvokasi Eva, ketika berbicang dengan IDN Times, Sabtu (19/2/2022).

Terkait dengan adanya teror yang masih terjadi dan dampaknya pada warga maupun tim advokasi, PBHI sampai sekarang masih melakukan komunikasi dengan Ombdusman Jawa Barat. Laporan yang disampaikan telah direspon untuk kemudian dijawab kembali oleh PBHI.

Selain itu, Rizki juga memastikan PBHI sudah melaporkan adanya aksi premanisme ke Polrestabes Bandung. "Tapi sampai sekarang tidak ada kelanjutan proses atas laporan tersebut," kata dia.

Menurutnya, komunikasi dengan Pemkot Bandung pun terus diupayakan. Tapi hasilnya sampai sekarang masih nihil. Padahal hal yang harusnya dilakukan Pemkot Bandung adalah membuka komunikasi selebar mungkin dengan warga terkait dengan penggusuran, terutama untuk warga yang masih menolak.

Penggusuran sekitar 8.334 meter lahan di Tamansari, tepatnya di bawah jembatan Pasupati sebenarnya sudah berlangsung lama. Pemkot Bandung dan sejumlah warga di RW11 bersitegang mengenai lahan tersebut.

Berdasarkan surat yang disebarlauaskan ke media massa oleh Pemkot Bandung dan telah ditandatangani Wali Kota Bandung kala itu, Oded M Danial, menjelaskan bahwa sejak tahun 1930 tanah yang berlokasi di RW11 Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan adalah Pemkot Bandung. Berasal dari pembelian yang dilakukan Gemente Bandung terhadap tanah milik Nji Oenti melalui surat segel jual beli tertanggal 16 April 1930 dengan luasan tanah mencapai 592 tumbak atau 8.334 meter persegi (M2).

Tanah ini kemudian tercatat dalam kartu inventaris barang A di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan, dan Pertamanan Kota Bandung dengan nomor register 0630 seluas sekitar 8.334 M2.

Pada 14 Juni 2017 Pemkot Bandung telah melakukan pengamanan hukum atas tanah tersebut dengan mengajukan permohonan sertifikat ke Kantor Pertanahan Kota Bandung dengan nomor berkas permohonan 5862/2017 dan telah menyetorkan biaya untuk pelayanan pengukuran dan pemetaan bidang tanah.

 

Baca Juga: Warga Tamansari Masih Trauma Akibat Penggusuran Rumah

Demi pengembangan wisata, ratusan warga Pantai Merpati mesti tergusur

Dari Wadas, Kisah Warga Perjuangkan Tanah Hadapi Intimidasi dan Tinju AparatWarga Pantai Merpati Bulukumba masih bertahan meski tempat tinggalnya telah dirobohkan. / Istimewa

Penggusuran di kawasan Pantai Merpati, Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, menyisakan perih bagi 30 kepala keluarga dan seratusan jiwa yang pernah bermukim di lokasi tersebut. Eksekusi pembongkaran rumah-rumah semi permanen itu terjadi pada Senin, 31 Januari 2022.

"Warga korban penggusuran kini sudah kehilangan tempat tinggal. Dengan cara paksa, rumah-rumah mereka dibongkar hingga rata dan tak tersisa," kata Advokat publik LBH Makassar, Ady Anugrah Pratama saat berbincang dengan IDN Times, Jumat (18/2/2022).

Ady menyatakan, eksekusi penggusuran rumah dilaksanakan oleh pemerintah daerah setempat melalui Satpol PP. Pemerintah Bulukumba juga sempat meminta bantuan pengawalan dari parat gabungan kepolisian dan TNI.

Proses eksekusi dilaksanakan karena keinginan Pemda Bulukumba membangun dan menata ulang kawasan pantai. Menurut Ady, langkah itu tidak tepat karena berbenturan dengan kelangsungan hidup masyarakat setempat. Sebagian besar warga di situ bertahan hidup dari hasil laut. Mereka setiap hari menjadi pencari kerang dan rumput laut di bibir Pantai Merpati.

"Makanya sampai sekarang masih ada sekitar 22 KK yang masih bertahan di sana karena berhubungan dengan mata pencaharian mereka sebagai pemulung rumput laut," jelas Ady.

Ady mengakui, bahwa warga tinggal di kawasan pantai memang tak punya dokumen resmi kepemilikan lahan di sana. Namun, mereka tinggal di sana secara turun temurun. "Mereka itu tinggal di sana memang karena alasan pekerjaan. Makanya mereka perlahan membangun tempat tinggalnya," ucapnya.

Sebagian besar warga di Pantai Merpati, kata Ady, sudah tinggal belasan hingga puluhan tahun lamanya.

Ady menuturkan, sebelum proses eksekusi dilaksanakan, ratusan warga ini sudah berupaya mencari solusi dengan meminta tolong kepada DPRD hingga Pemda Bulukumba. "Jadi bukannya tidak taat aturan, tapi mesti ada jaminan tempat tinggal yang layak dan jaminan pekerjaan bagi warga," tuturnya

Hasnah, salah satu perwakilan warga korban penggusuran mengungkapkan, warga tidak begitu mempersoalkan jika mereka harus digusur. Namun yang warga inginkan hanya relokasi ke tempat tinggal yang layak. "Harus ada relokasi karena kami tidak punya rumah selain di sini," ucap Hasnah.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulsel yang tergabung dalam jaringan pendampingan warga Pantai Merpati Bulukumba menilai, pembangunan kawasan wisata di pesisir pantai yang direncanakan oleh pemerintah kerap mengabaikan hak-hak masyarakat.

"Relokasi itu dilakukan ketika hak-hak masyarakat sudah terpenuhi, yakni hak atas perumahan dan penghidupan layak. Ini justru terbalik, digusur dulu baru tidak diberikan solusi," tegas Kepala Departemen Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel Slamet Riadi dalam keterangan tertulisnya.

"Mewajibkan pada setiap pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bulukumba untuk melakukan musyawarah yang melibatkan seluruh warga terdampak dan memberikan pemberitahuan yang layak. Namun, prinsip ini diabaikan oleh pemerintah Bulukumba," imbuh Ady Anugrah Pratama.

Terpisah, Bupati Bulukumba Muchtar Ali Yusuf dalam keterangan tertulisnya mengatakan, penataan dimaksudkan agar kawasan Pantai Merpati bisa rapi, bersih dan cantik. Kawasan pantai yang sebelumnya dihuni warga, akan dijadikan sebagai pusat kuliner.

Pantai Merpati diharapkan menjadi pusat ekonomi baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan UKM dan menyerap tenaga kerja. Dia pun meminta pengertian warga. "Kalau semrawut dan kumuh seperti ini, tidak ada orang yang mau datang berkunjung di tempat ini," ujar Muchtar.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Warga Pantai Merpati Bulukumba Bertahan usai Digusur

Menjamurnya investasi bisa memicu munculnya konflik pertanahan

Dari Wadas, Kisah Warga Perjuangkan Tanah Hadapi Intimidasi dan Tinju AparatPak Sibawaih, pemilik lahan dekat Sirkuit Mandalika. (IDN Times/Aldila Muharma)

Investasi yang semakin banyak dapat menjadi ancaman bagi masa depan pertanahan. Dengan alasan menarik investor, karpet merah yang digelar pemerintah untuk masuknya investasi diingatkan bakal menimbulkan potensi konlik.

Salah satu provinsi yang tengah kencang membuka pintu untuk para investor yakni Nusa Tenggara Barat. Pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) di Kawasan Mandalika, Kuta Lombok Tengah dan potensi pertambangan yang cukup besar di Pulau Sumbawa menjadi daya tarik investor menanamkan investasinya di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun masuknya investasi selalu dibarengi dengan konflik pertanahan antara masyarakat, pemerintah daerah dan investor.

Salah satu permasalahan yang masih belum menemui titik temu yakni persoalan lahan pada pembangunan daerah Destinasi Super Prioritas Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika. Penasihat Satgas Penyelesaian Sengketa Lahan Kawasan Mandalika Profesor Zainal Asikin memberikan catatan soal lambatnya penyelesaian lahan sengkata di tengah pembanguan Sirkuit Mandalika yang mendapat sorotan PBB.

Dalam catatan Asikin, ada beberapa kasus lahan belum juga mendapat titik terang penyelesaian antara warga dan PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).

“Sedikitnya ada 12 bidang lahan di area Sirkuit Mandalika belum selesai pada saat event MotoGP,” katanya.

Asikin menilai penyebab banyaknya sengketa lahan di area Sirkuit Mandalika adalah masih banyaknya kasus lahan di lingkungan internal warga yang bermukim di Mandalika. Penyelesaian sengketa lahan ini ujar Asikin diperkirakan tidak bisa selesai sebelum MotoGP.

“Ini menyelesaikan masalah yang rumit. Kita pelan-pelan agar mencapai hasil yang maksimal. Itu saja harapan kita bekerja secara normal saja yang penting kasusnya kita selesaikan secara objektif," tegas Asikin.

Dari data sementara, jumlah delapan bidang lahan sengketa di area Sirkuit Mandalika dengan rincinan sesuai data lampiran surat ahli waris yang diajukan ke ITDC Nomor: 0103/GUB/ITDC/2021 diperkirakan mencapai 7,8 hektar sesuai hasil pendataan sementara.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTB Adhar Hakim menyebutkan konflik pertanahan muncul di NTB sebagai akibat administrasi pertanahan yang sejak awal tidak beres. Konflik-konflik pertanahan yang terjadi hanya sebuah dampak dari sebuah administrasi pertanahan yang tidak clear sejak awal dari potensi maladministrasi.

"Karena dari awal ndak dikelola dengan bagus administrasi pertanahannya. Begitu masalah baru shortcut atau jalan pendek untuk menenangkan. Jangan begitu karena masyarakat sudah mengalami kerugian moral, materil. Ini sudah kadung kusut permasalahnnya," tambahnya.

Adhar mengatakan di mana ada potensi investasi, proyek "lapar" tanah atau proyek yang butuh lahan yang luas dan tertib administrasi pertanahan. Jika tidak dikelola dengan baik administrasi pertanahannya sejak awal maka sama dengan menyimpan bom waktu masalah pertanahan. "Kalau ini tak mampu terinventarisir dengan baik, konflik tinggal menunggu waktu," katanya.

Persoalan terkait dengan pertanahan akan menjadi isu yang semakin banyak ke depan jika tidak didesain kanal penyelesaian yang benar. Sehingga, ia memahami upaya pemerintah yang mendorong percepatan administrasi pertanahan. Karena itu akan meminimalisir potensi-potensi konflik pertanahan.

"Persinggungan peta tanah antara wilayah yang berpotensi investasi dengan milik masyarakat secara pribadi banyak sekali. Sehingga memang bentuk upaya pencegahan konflik itu, terus membangun tertib administrasi pertanahan," ujarnya.

 

Baca Juga: Investasi Menjamur, Konflik Pertanahan Bisa Jadi Bom Waktu di NTB

Harus mengedepankan kepentingan masyarakat, minimnya partisipasi dan keterlibatan warga setempat memicu penolakan

Dari Wadas, Kisah Warga Perjuangkan Tanah Hadapi Intimidasi dan Tinju AparatAnggota TNI berada di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi NTB meminta dalam menyelesaikan konflik pertanahan, Pemerintah jangan hanya mengedepankan investasi. Tetapi juga harus mengedepankan kepentingan masyarakat yang menjadi korban tergusur dari tempat tinggalnya. Jangan sampai konflik pertanahan menjadi bom waktu.

"Pemerintah harus menegaskan ruang-ruang wilayah kelola rakyat. Hasil investigasi Walhi, konflik agraria banyak mengorbankan rakyat, hanya mementingkan investasi saja," kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Provinsi NTB Amri Nuryadin saat berbincang dengan IDN Times di Mataram, Kamis (18/2/2022).

Saat ini, kata Amri, kehadiran UU Omnibuslaw yang membuka ruang investasi seluas-luasnya pasti akan menimbulkan konflik besar di sektor pertanahan. Memang betul, investasi adalah penunjang dalam pembangunan. Yaitu cara meningkatkan kesejahteraan dan membuka lapangan kerja.

"Tapi banyak menyisakan konflik. Karena selalu mengedapankan investasi. Semasih regulasi berpihak kepada investor. Tak ada jaminan pemerintah berpihak kepada rakyat. Omnibuslaw yang ditunda dua tahun putusan MK tetapi tetap jalan seperti di NTB," katanya.

Dalam menyelesaikan konflik pertanahan, Pemerintah jangan mengedepankan represivitas. Aparat tetap menjalankan tugas sesuai fungsinya tetapi juga harus memberikan jaminan keamanan bagi rakyat yang terdampak.

"Kalau rakyat konflik dengan investasi, posisi negara tidak hanya mengedepankan investasi. Tapi juga mengedepankan kepentingan rakyat," ujar Amri.

Amri menegaskan Walhi tidak anti terhadap investasi. Tetapi investasi yang masuk diharapkan juga benar-benar menyejahterakan rakyat. "Ketika berkonflik maka harusnya porsi pemerintah tidak lebih besar pada investasi," tandasnya.

Konflik agraria juga dipengaruhi minimnya partisipasi atau keterlibatan dari warga setempat terhadap rencana pembangunan maupun pengambil alihan lahan. Kasus Wadas salah satunya banyak kelompok aktivis yang menyatakan minimnya partisipasi dari warga setempat baik dalam perencanaan pembangunan maupun dari pengambilan keputusan yang membuat warga akhirnya menolak.

Maksum Syam dari Sajogyo Institute menyayangkan pendekatan yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat. Beralasan untuk mengebut pengerjaan proyek yang termasuk ke dalam PSN, tak semestinya pemerintah menggunakan cara-cara represif, semestinya menggunakan cara yang lebih manusiawi dengan melibatkan warga masyarakat dan mendengarkan aspirasi mereka.

"Program PSN nyatanya banyak bermasalah. Pemerintah menggunakan kebijakan top-down dan tidak pernah mengajak masyarakat secara luas untuk mendengar aspirasinya. Negara hanya akan melihat tanah sebagai komoditas, bukan sebagai sumber kehidupan maupun manfaat tanah untuk fungsi kelingkungan dan sosialnya." katanya.

Ia meminta pemerintah, baik dalam level lokal maupun provinsi, mendengar suara mereka. Yang perlu dilakukan pemerintah yakni agar kebijakan-kebijakan yang mengutamakan kebutuhan masyarakat, terutama mereka yang bergantung kepada tanah dan sumber daya alam untuk keberlangsungan hidup.

Pemerintah juga untuk tidak melakukan kekerasan atau mengintimidasi warga yang berusaha memperjuangkan hak mereka atas tanah, dan justru mengedepankan dialog yang inklusif.

Direktur Eksekutif Walhi Jateng, Fahmi Bastian mengatakan terkait konflik agraria yang terjadi di Jawa Tengah, Walhi Jateng sebenarnya sudah mengawal perubahan RTRW di Jawa Tengah sejak tahun 2018. Ada beberapa masalah yang ada di wilayah-wilayah industri. Namun, ketika sampai panja tetap saja ada berbagai kepentingan yang bermain.

"Seharusnya pemerintah sebagai pihak yang mempunyai legitimasi dan dipilih rakyat perlu mengakomodasi kepentingan masyarakat. Tidak hanya mengakomodasi kepentingan oligarki atau industri. Yang menjadi bahaya dalam setiap konflik agraria ini adalah pemodal atau pasar, sebab pemerintah jabatannya setara dan rakyat berada dibawahnya. Maka, pemerintah yang memilih rakyat harus kembali ke rakyat bukan menjadi mediator penengah yang mengamankan diri sendiri," katanya.

Konflik agraria ini, lanjut Fahmi, berkaitan dengan ruang hidup rakyat. Ekonomi mereka turun karena ruang hidup mereka direnggut. Ruang-ruang yang menjadi kuasa dari masyarakat hilang karena ada ekspansi industri atau pembangunan infrastruktur. Yang katanya untuk peningkatan ekonomi justru membunuh perekonomian rakyat.

Sementara itu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengaku sangat menunggu-nunggu adanya dialog antarpihak, sehingga ruang penyampaian pendapat bisa dibuka lebar pada semua pihak. Ia katanya telah berusaha melakukan dialog dengan warga.

"Kami sangat menunggu-nunggu sehingga kami bisa memberi ruang, bisa mendengarkan apa yang kemudian kami sampaikan dan kami jawab. Kami selalu mengajak masyarakat untuk berpartisipasi agar pekerjaan ini mulus," ujar Ganjar.

Ganjar menyebutkan rencana penambangan di Desa Wadas telah melalui kajian-kajian oleh para ahli. Pemprov telah menyiapkan beberapa skenario untuk mengatasi masalah tersebut.

Proses rencana pembangunan bendungan hingga penambangan sendiri menurut Ganjar telah berlangsung sejak 2013. Dan telah melalui tahapan-tahapan, serta gugatan-gugatan dari masyarakat yang tidak setuju.

Di tahun 2021 ini menurut Ganjar Pemprov Jateng melakukan percepatan terhadap proses tersebut. Selain pembangunan tapak bendungan yang kini telah berproses, rencana penambangan andesit di Wadas juga dipercepat.

Ganjar mengaku upaya komunikasi dengan warga juga terbuka dilakukan oleh pemerintah, mulai dari komunikasi dengan para pendamping masyarakat Wadas maupun bertemu langsung dengan masyarakat yang pro dan yang kontra penambangan. Upaya melakukan dialog dengan masyarakat pasca insiden menurut Ganjar telah dilakukan. Namun pada saat itu cerita yang muncul lebih kepada uneg-uneg warga yang merasa terteror, terintimidasi dengan kejadian pada Selasa 8 Februari lalu.

"Saya mengikuti saja karena ini pertemuan pertama harapan saya nanti dengan pemetaan yang saya dengarkan secara langsung, kita bisa melakukan pendekatan yang lebih manusiawi, lebih elegan dan sesuai dengan apa yang diharapkan," sebut Ganjar.

Baca Juga: Kisah Panjang Perjuangan Warga Wadas Tolak Tambang Batu

Tim Penulis: Mohamad Ulil Albab, Riani Rahayu, Fariz Fardianto, Anggun Puspitoningrum, Debbie Sutrisno, Tama Yudha Wiguna, Muhammad Nasir, Ahmad Viqi Wahyu Rizki, Linggauni, Uni Lubis, Bandot Arywono, Yurika Febrianti

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya