Gibran Siap Maju Pilwalkot Solo, Ini 6 Hal Tentang Dinasti Politik

Bangun dinasti politik boleh gak sih?

Jakarta, IDN Times - Munculnya nama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam bursa pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Solo, mengingatkan kita kembali pada kejayaan sederet politisi Tanah Air dalam membangun dinasti politiknya.

Membangun dinasti politik sejatinya tidak dilarang. Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melegalkan ketentuan pencalonan kepala daerah berasal dari keluarga petahana, maju sebagai kepala daerah. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Lantas, apa yang dimaksud dengan dinasti politik dan dampaknya bagi kehidupan demokrasi di Tanah Air?

Baca Juga: 5 Tokoh yang Sukses Membangun Dinasti Politik di Indonesia

1. Dinasti politik adalah sebuah kekuasaan politik yang masih memiliki hubungan keluarga

Gibran Siap Maju Pilwalkot Solo, Ini 6 Hal Tentang Dinasti Politikinstagram.com/@aniyudhoyono

Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, mkri.id, Selasa (29/10), politik dinasti atau dinasti politik dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.

Dinasti politik menunjukkan kerabat dekat atau keluarga merupakan alat yang tepat untuk membentuk kekuasaan yang kuat.

Dinasti politik lebih identik dengan kerajaan, sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak. Tujuannya tentu agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.

2. Dinasti politik telah lama diterapkan di Indonesia

Gibran Siap Maju Pilwalkot Solo, Ini 6 Hal Tentang Dinasti PolitikIDN Times/Helmi Shemi

Menurut Dosen Ilmu Politik Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan (dinasti politik) itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional.

"Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit sistem dalam menimbang prestasi,” kata Ari, di laman mkri.id.

3. Dinasti politik bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan

Gibran Siap Maju Pilwalkot Solo, Ini 6 Hal Tentang Dinasti PolitikIDN Times/Margith Juita Damanik

Menurut Ari, disebut neopatrimonial karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.”

"Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural,” kata dia.

4. Dinasti politik menghambat demokrasi di tanah air?

Gibran Siap Maju Pilwalkot Solo, Ini 6 Hal Tentang Dinasti PolitikANTARA FOTO/Ampelsa

Namun, Ari menambahkan, ada sisi negatif dari dinasti politik. Karena semakin marak praktik ini di berbagai Pilkada dan Pemilu Legislatif, maka proses rekrutmen serta kaderisasi di partai politik tidak berjalan baik.

"Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN,” kata dia.

5. Ada dua faktor penyebab menjamurnya dinasti politik di Indonesia

Gibran Siap Maju Pilwalkot Solo, Ini 6 Hal Tentang Dinasti PolitikIDN Times/Irfan Fathurohman

Djati dan Wasisto Raharjo dalam bukunya Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik seperti dikutip dalam Arus Lokal The Journal of Political, terdapat dua faktor yang mendasari terbentuknya dinasti politik.

Pertama, macetnya kaderisasi politik dalam menjaring calon pemimpin yang berkualitas, sehingga menciptakan pragmatisme politik, dengan mendorong kalangan sanak keluarga untuk menjabat jabatan publik.

Kedua, adanya kondisi statusquo di suatu wilayah yang menginginkan seorang pemimpin untuk berkuasa, dengan cara mendorong kalangan keluarga atau orang dekat pemimpin tersebut untuk menggantikannya.

6. Dinasti politik melanggengkan korupsi?

Gibran Siap Maju Pilwalkot Solo, Ini 6 Hal Tentang Dinasti PolitikANTARA FOTO

Data Inventarisir Indonesia Corruption Watch (ICW) seperti dikutip dari laman antikorupsi.org mencatat penanganan korupsi sepanjang 2010-2015 menunjukkan tingginya angka keterlibatan kepala daerah dalam kasus korupsi. Selama satu dekade tersebut, sedikitnya tercatat 183 kepala daerah, baik di level provinsi atau kabupaten/kota menjadi tersangka kasus korupsi.

Keterlibatan kepala daerah dalam kasus korupsi terus berlanjut pada 2016. Sepanjang 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani 11 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah. Kasus-kasus tersebut memiliki sebaran aktor dan pola yang berbeda.

Data tersebut menunjukkan fenomena korupsi kepala daerah yang masih marak dan memprihatinkan. Kepala daerah nyatanya rentan melakukan korupsi. Bupati menjadi kepala daerah yang paling banyak terlibat korupsi.

Sementara, pengadaan dan pembahasan anggaran mendominasi sektor yang paling banyak dikorupsi kepala daerah sepanjang 2016. Enam dari 11 kepala daerah yang melakukan korupsi diketahui menerapkan atau berkaitan dengan dinasti politik di daerahnya. Fenomena ini semakin mengonfirmasi dinasti politik turut melanggengkan korupsi, dan begitu pula berlaku sebaliknya.

Enam kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dan berkaitan dengan dinasti politik antara lain Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten 2007-2017), Atty Suharti (Wali Kota Cimahi 2012-2017), Sri Hartini (Bupati Klaten 2016-2021), Yan Anton Ferdian (Bupati Banyuasin 2013-2018), Syaukani Hasan Rais (Bupati Kutai Kartanegara 1999-2010), dan Fuad Hasan (Bupati Bangkalan 2003-2012).

Baca Juga: Disebut Bentuk Dinasti Politik, Agus: Jangan Asal Bicara

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya