Kartini Pesisir Demak, Masnuah Perjuangkan Identitas Perempuan Nelayan

Masnuah kecil pernah jadi buruh di pabrik pengolahan ikan

Semarang, IDN Times - Perjuangan Raden Ajeng (RA) Kartini tidak pernah berakhir. Meski zaman telah berganti, tetapi semangat pahlawan perempuan nasional itu terus menjelma dalam sanubari para kaum Hawa di muka bumi ini untuk memperjuangkan emansipasi. 

1. Masnuah, perempuan nelayan penerus perjuangan Kartini dari Demak

Kartini Pesisir Demak, Masnuah Perjuangkan Identitas Perempuan NelayanMasnuah perempuan nelayan dari Kabupaten Demak. (dok. pribadi)

Masnuah adalah satu sosok penerus perjuangan Kartini yang tangguh dari Kabupaten Demak Jawa Tengah. Dia berjuang untuk kaum perempuan nelayan. Ketika budaya patriarki membelenggu di lingkungan nelayan membuat posisi dan aktivitas perempuan di sana menjadi terbatas. Kondisi itu yang mendorong empu berusia 47 tahun ini bergerak mendobrak budaya tersebut melalui pemberdayaan perempuan nelayan.

‘’Beban perempuan nelayan di kawasan pesisir setiap hari semakin bertambah. Mereka harus berjibaku mulai dari urusan domestik hingga dunia luar. Penduduk perempuan di kawasan pesisir berupaya menjamin rumah bersih, tapi air rob terus naik menerjang rumah mereka dan membuat aktivitasnya lumpuh. Saat cuaca ekstrem, mereka menghadapi masalah tidak bisa melaut. Kemudian, masih ada beban ganda perempuan dan semakin berlapis, karena harus memikirkan perekonomian keluarga mulai dari beras hingga rokok suami,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Rabu (21/4/2021).

Kondisi itu, lanjut dia, juga memicu masalah lain yaitu kekerasan dalam rumah tangga menjadi makin meningkat. Melihat kondisi ini ia tergerak melakukan pemberdayaan ekonomi sebagai alternatif usaha bagi perempuan nelayan.

2. Mendirikan komunitas perempuan nelayan Puspita Bahari sejak tahun 2005

Kartini Pesisir Demak, Masnuah Perjuangkan Identitas Perempuan NelayanANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Ibu rumah tangga yang hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat SD itu kemudian mendirikan komunitas perempuan nelayan, Puspita Bahari pada tahun 2005. Dia mengajak dan mengumpulkan nelayan perempuan, ibu-ibu rumah tangga, istri dan anak nelayan, hingga petambak garam untuk bergabung di Puspita Bahari. Mereka diajak memberdayakan ekonomi, sekaligus melawan kekerasan dan bias gender.

‘’Namun, usaha itupun tidak mudah. Pada tahun 2007, Puspita Bahari yang semula beranggotakan 30 orang mreteli (berkurang, red) satu per satu hingga habis. Mereka pergi karena tidak mendapat izin dari suami, sebab berorganisasi dianggap tidak penting, tidak ada manfaatnya, dan melawan kodrat bagi kaum perempuan,’’ tuturnya.

Hal itu tidak membuat Masnuah pantang menyerah. Pada tahun 2009, ia mencari kesempatan belajar dan memperbanyak ruang untuk tumbuh dengan organisasi lain di antaranya LBH Semarang, LBH Apik, dan Kiara.

Baca Juga: Open Slot, Cara Fotografer Cewek di Semarang Survive saat Pandemik

3. Berdayakan perempuan nelayan dengan membuat produk olahan hasil laut

Kartini Pesisir Demak, Masnuah Perjuangkan Identitas Perempuan NelayanANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

‘’Saya jalankan ide dan kembali bergerak memberdayakan ekonomi para perempuan nelayan. Sebab, saya tahu penghasilan mereka tidak menentu. Kalau hanya melaut atau jadi ibu rumah tangga, bisa dapat apa sih? Saya tanya mereka, ternyata mereka butuh uang. Dari masalah itu kami bergerak bersama memberdayakan ekonomi dengan membuat produk makanan olahan dari hasil laut,’’ jelasnya.

Tidak berhenti di lingkungan tempat tinggalnya saja, pemberdayaan ini semakin meluas hingga desa lain seperti di Margolinduk dan Purworejo Demak. Alhasil, produk yang dibuat pun semakin beragam dan dibentuk dalam sentra-sentra. Tidak hanya sentra kerupuk, tapi ada sentra abon, sentra ikan kering, sentra terasi, dan sentra perikanan tangkap dari perempuan yang melaut. Kini jumlah anggota Puspita Bahari pun mencapai 148 orang dari tiga desa di Kabupaten Demak.

‘’Dari situ mereka baru merasakan manfaatnya. Ternyata, ada untungnya lho dan mereka sampai sekarang masih konsisten mengolah produk-produk olahan dari hasil laut,’’ imbuh ibu dari satu anak ini.

4. Perjuangkan pengakuan identitas perempuan nelayan

Kartini Pesisir Demak, Masnuah Perjuangkan Identitas Perempuan NelayanGERAK Perempuan lakukan aksi di Monas untuk memeringati hari International Women’s Day, di halaman Monas, Minggu (8/3) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Ikhtiar demi keberlangsungan hidup perempuan nelayan tidak berhenti sampai disitu. Masnuah yang sejak kecil hidup di lingkungan nelayan dan pernah menjadi buruh di pabrik pengolahan ikan itu mengupayakan pengakuan identitas perempuan nelayan.

Menurut dia, pengakuan identitas perempuan nelayan di kartu tanda penduduk (KTP) sangat penting. Sebab, selama ini orang yang diakui berprofesi nelayan adalah laki-laki. Padahal, perempuan nelayan juga beraktivitas dan bekerja di laut.

‘’Itu sangat berisiko bagi mereka. Perempuan nelayan juga butuh perlindungan jika terjadi apa-apa saat bekerja. Nah, untuk mendapatkan pengakuan identitas ini pun kami menemui banyak hambatan dan proses yang alot, mulai dari aparat desa hingga ke birokrasi yang lebih tinggi. Mereka sulit mengakui perempuan nelayan dalam identitas profesi di KTP,’’ ujarnya.

5. Diskriminasi kerap diterima sebagai perempuan nelayan

Kartini Pesisir Demak, Masnuah Perjuangkan Identitas Perempuan NelayanGERAK Perempuan lakukan aksi di Monas untuk memeringati hari International Women’s Day, di halaman Monas, Minggu (8/3) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Alasannya, lanjut dia, tidak pantas perempuan disebut nelayan, karena tempat perempuan itu harus di rumah untuk dimuliakan. Padahal, secara ekonomi mereka kurang, ketahanan pangan mereka tidak seimbang.

‘’Apa salahnya mereka memutuskan melaut jika itu akses satu-satunya. Dalam proses panjang memperoleh identitas itu kami juga sempat ditertawakan di DPRD Provinsi Jawa Tengah. Ada wakil rakyat yang bilang, nggak pantas perempuan menjadi nelayan itu sama saja negara menistakan,’’ tuturnya.

Padahal, kata Masnuah, dengan adanya KTP dengan pekerjaan sebagai nelayan, perempuan nelayan bisa mendapat perlindungan berupa kartu asuransi yang difasilitasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mereka juga akan mendapat jaminan perlindungan dari Jasindo jika terjadi kecelakaan kerja dan musibah saat bekerja di laut. Kalau mereka tidak diakui sebagai nelayan, sedangkan nelayan laki laki mendapat banyak fasilitas perlindungan dari pemerintah itu tidak adil, karena sama-sama berisiko mendapat musibah saat bekerja.

6. Sebanyak 32 perempuan berhasil dapat pengakuan identitas nelayan

Kartini Pesisir Demak, Masnuah Perjuangkan Identitas Perempuan NelayanIlustrasi. Nelayan di Kabupaten Tangerang terdampak wabah COVID-19 (ANTARA FOTO/Fauzan)

Hingga akhirnya pada tahun 2019, sebanyak 32 perempuan mendapat pengakuan identitas sebagai nelayan dan diserahkan langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti pada waktu itu. Pasca pengakuan identitas perempuan nelayan di Demak, sampai sekarang belum diikuti oleh daerah lain. Artinya, pengakuan identitas bagi perempuan nelayan belum merata. 

‘’Hal ini masih perlu diperjuangkan mengingat masih banyak nelayan-nelayan di luar Demak juga membutuhkan pengesahan ini. Bahkan, pemerintah sendiri tidak punya data berapa jumlah perempuan nelayan di Indonesia,’’ katanya. 

7. Ingin berkontribusi memulihkan desa-desa pesisir yang tenggelam

Kartini Pesisir Demak, Masnuah Perjuangkan Identitas Perempuan NelayanDesa pesisir Demak yang terancam tenggelam. (dok. pribadi Masnuah).

Merefleksi Hari Kartini sekaligus Hari Nelayan yang diperingati 6 April lalu, tidak muluk-muluk harapan dan mimpi Masnuah. ‘’Saya tetap ingin menjadi Masnuah yang sekarang. Banyak yang bertanya saya dapat gaji berapa kok bisa membantu orang. Saya hanya berharap dari Tuhan, yang penting saya sehat dan bisa bermanfaat hingga akhir kehidupan saya. Sebab, menjadi dermawan itu tidak hanya dari harta, tapi bisa dengan tenaga dan pikiran,’’ tuturnya.

Sekarang Masnuah sudah menyelesaikan pendidikan Paket C dan ingin melanjutkan kuliah di jurusan Ilmu Hukum. ‘’Karena saya bergiat di bagian advokasi LBH Apik Semarang dan aktif mendampingi kasus kekerasan perempuan dan anak, saya ingin kuliah di jurusan Hukum. Jika saya kuliah saya akan lebih bisa menerapkan ilmu saya untuk masyarakat. Selain itu, juga terus berjuang mendesak pemerintah agar segera membuat program pengakuan identitas nelayan di seluruh Indonesia dan berkontribusi memulihkan desa-desa pesisir yang tenggelam dan terancam bencana iklim seperti di Demak,’’ tandasnya.

Baca Juga: Transpuan di Semarang, Saat Pandemik Alih Profesi dan Tak Dapat Bansos

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya