Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di Semarang

Jamu dengan rasa kekinian makin disukai generasi millennial

Semarang, IDN Times - Meskipun Semarang tidak menghasilkan rempah, sejak abad ke-9, daerah di pesisir Pulau Jawa dikenal sebagai salah satu titik rempah penting di Nusantara. Daerah tersebut menjadi tempat persinggahan dan pusat perdagangan bagi para pendatang dari Eropa hingga Tiongkok, sehingga jalur rempah tetap lestari dengan akulturasi budaya jamu di Kota Semarang.

Semarang menjadi pelabuhan penting dalam jalur rempah Nusantara

Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di SemarangKholidi, salah satu penjual jamu gendong di Kampung Jamu Sumber Husodo di Desa Sumbersari Wonolopo Mijen, Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Sejarawan maritim dan pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr Singgih Tri Sulistiyono mengatakan, bukti jalur rempah di Semarang sudah ada sejak pelabuhan Bergota menjadi pelabuhan penting bagi Kerajaan Mataram Hindu.

Kala itu, tempat tersebut berfungsi sebagai titik temu antara masyarakat lokal di Jawa dengan pengaruh dari luar yang dibawa bangsa asing.

‘’Pada abad ke-16, Pelabuhan Semarang begitu ramai oleh para saudagar lokal maupun asing, serta turut disinggahi kapal-kapal dari dalam dan luar Nusantara. Pada waktu itu Semarang memainkan peran penting dalam pusaran niaga di Nusantara dan jadi persinggahan jaringan perdagangan internasional hingga ke Tiongkok maupun Eropa,’’ jelas dalam keterangan resmi yang dilansir pada laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), jalurrempah.kemdikbud.go.id.

Andil Semarang saat era pelayaran adalah menyuplai kebutuhan pokok sebagai perbekalan kapal-kapal untuk pelayaran jarak jauh dengan beras, buah-buahan, air tawar, dan kebutuhan lainnya.

Pelabuhan Semarang juga diketahui sebagai lokasi pengangkutan komoditas, pertukaran barang hingga budaya sekaligus tempat armada pembawa rempah dari Nusantara bagian timur untuk menukar rempah dengan beras atau komoditas lokal lainnya yang melibatkan penduduk lokal dan para pedagang Tiongkok serta India.

Perdagangan rempah memengaruhi akulturasi budaya meramu jamu

https://www.youtube.com/embed/xih7yIAgoyQ

Pada abad ke-17, aktivitas perdagangan di pelabuhan tersebut meningkat seiring terbentuknya Semarang sebagai wilayah pemerintahan. Perdagangan rempah di Semarang memunculkan beragam akulturasi budaya, antara pribumi dengan pendatang.

Selain memengaruhi aspek arsitektural kota, kesenian, serta pola pikir masyarakat yang lebih modern dan mengikuti kebutuhan perkembangan zamannya, jalur rempah juga melestarikan budaya meramu jamu di Semarang.

Semarang pun dapat disebut sebagai kota jamu, mengutip buku 'Cerita Jamu' karya Nova Dewi terbitan Yayasan Pikir Buat Nusantara: Jamu Indonesia. Pada awal tahun 1900an, industri jamu mulai tumbuh di Semarang.

Budidaya keanekaragaman rempah-rempah Nusantara itu dilakukan oleh sejumlah industri jamu seperti Jamu Cap Djago tahun 1918, Jamu Nyonya Meneer tahun 1919, Jamu Leo tahun 1945, serta Jamu Air Mancur tahun 1963.

Hingga kini, tempat-tempat yang memproduksi jamu tradisional masih lestari. Salah satunya Kampung Jamu Gendong Sumber Husodo di Desa Sumbersari Kelurahan Wonolopo Kecamatan Mijen, Kota Semarang.

Baca Juga: Jamu dan Madu, Menu Andalan Gibran dan Selvi Biar Strong Puasa Ramadan

Kehidupan Kampung Jamu Gendong di Semarang

Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di SemarangWarga Kampung Jamu Sumber Husodo di Desa Sumbersari Kelurahan Wonolopo Mijen, Semarang sedang meracik bahan jamu. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Waktu masih menunjukkan di sepertiga malam, tepatnya pukul 02.30 WIB di sebuah kampung yang berada di Barat Kota Semarang sudah sibuk memulai hari. Salah satunya dari dapur rumah pasangan Kholidi dan Sepiyati, warga RT 2 RW 10 Desa Sumbersari Kelurahan Wonolopo Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah.

Suasana di sana sebelum fajar menyingsing sudah jauh dari sepi. Dia bersama istri, anak, dan sejumlah pekerja meramu jamu minuman tradisional khas Nusantara. Dua mesin penggiling menderu bekerja menghaluskan rempah-rempah rimpang seperti kunyit, jahe, temulawak, brotowali dan kencur. Suara alu yang menumbuk daun pepaya juga tak kalah ribut.

Lima panci besar di atas kompor gas menyala, merebus rempah-rempah yang sudah dihaluskan sebelumnya. Ramuan itu dicampur dengan tambahan bahan-bahan seperti gula aren atau asem jawa hingga mendidih. Aktivitas terus bergulir hingga ramuan-ramuan tersebut dikemas dan siap dijual ke konsumen mulai pukul 06.00 WIB.

Begitulah kehidupan di Kampung Jamu Gendong Sumber Husodo di Desa Sumbersari Kelurahan Wonolopo Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Nadi kampung pembuat jamu itu sudah berdenyut sejak tahun 1985. Hingga sekarang setiap pagi mayoritas warga di sana meramu dan berdagang jamu minuman tradisional yang hingga kini masih dikonsumsi masyarakat untuk menjaga kesehatan maupun menyembuhkan penyakit.

Inovasi rasa jamu gendong menyasar generasi millennial

Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di SemarangJamu Gendong Kholidi dari Kampung Jamu Sumber Husodo Desa Sumbersari Kelurahan Wonolopo Mijen dijual di Pasar BK Simongan Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Yu Ginah dari Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah menjadi tokoh sentral yang menghidupkan aktivitas perjamuan di kampung itu. Ia pindah dari tempat kelahirannya dan rela menetap di Desa Sumbersari pada 1985.

Saban hari, ia berjualan jamu gendong keliling dari kampung ke kampung di daerah Mijen. Melihat pekerjaan Yu Ginah yang tampak menghasilkan, para tetangganya pun tak ingin melewatkan kesempatan.

Sebagian dari mereka mengikuti jejak Yu Ginah berjualan jamu. Termasuk Sepiyati, istri Kholidi yang kala itu masih bekerja sebagai pembantu rumah tangga, ikut beralih berjualan jamu mulai 1991.

Yu Ginah lah yang membagikan resep jamu tradisional tersebut ke warga lainnya. Warga Desa Sumbersari pun semakin berdaya sejak saat itu melalui jalan melestarikan rempah-rempah dan penghasilan dari berjualan jamu mampu meningkatkan perekonomian keluarga. Namun, seiring waktu para pedagang jamu di kampung tersebut tidak berhenti berkreasi untuk melanggengkan tradisi tersebut, mereka mengembangkan sendiri racikan minuman yang terbuat dari rempah-rempah asli Indonesia itu sesuai dengan selera pasar.

Seperti pasangan Kholidi dan Sepiyati, berjalannya zaman orang tua dari empat anak itu mengeksplorasi resep dan memodifikasi rasa jamu agar bisa semakin diterima semua kalangan, termasuk generasi millennial.

‘’Sebab, selama ini kan jamu sering dianggap minuman kuno, ketinggalan zaman, dan yang suka minum jamu adalah orang tua. Maka, sekarang bagaimana caranya agar anak muda suka minum jamu. Nah setelah melakukan eksperimen, ternyata perlu mengolah rasa jamu menjadi kekinian. Kalau dulu identik rasa jamu itu pahit, kami kejar inovasi rasanya dengan menambahkan gula aren berkualitas. Selain itu, juga menambah bahan rempah lain ke jamu yang dibuat,’’ jelasnya saat ditemui IDN Times di rumahnya, Jumat (27/8/2021).

Penambahan bahan rempah menambah khasiat jamu

Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di SemarangJamu Gendong Kholidi dari Kampung Jamu Sumber Husodo Desa Sumbersari Kelurahan Wonolopo Mijen dijual di Pasar BK Simongan Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Dia menjelaskan, misalnya kalau dulu bikin jamu cabe puyang yang berkhasiat untuk kesehatan badan dan pegal linu cuma pakai bahan rempah cabe dan lempuyang. Kini ada tambahan adas agar lebih terasa semriwing.

Beras kencur dulu yang hanya beras dan kencur, kini ditambah dengan jahe, kayu manis, dan serai, sehingga khasiatnya bisa untuk masuk angin dan pegal-pegal. Begitu pun kunir asem, dulu cuma kunyit dan asam jawa sekarang ada kayu manis juga.

Tambahan bahan untuk pemanis juga tidak serta merta menggunakan gula sembarangan. Jamu-jamu tersebut khusus diolah memakai bahan gula aren supaya bau jamunya lebih wangi dan terasa enak.

Ikhtiar Khlidi berbuah hasil. Pelanggan jamu buatannya tidak hanya digandrungi orang tua dan dewasa, tapi juga anak-anak muda.

Setiap hari puluhan liter minuman herbal hasil racikan lelaki berusia 60 tahun itu dipasarkan di sejumlah lokasi. Kholidi sendiri membawa jamu beras kencur, kunir asem, temulawak, sirih, cabe puyang, daun pepaya, sambiloto, dan wejahan ke Pasar BK Simongan untuk dijajakan. Sedangkan, Sepiyati berjualan di Pasar Mijen, dan anak sulungnya memasarkan jamu dengan berkeliling naik sepeda motor di Perumahan Permata Puri Ngaliyan.

"Setiap hari bisa sampai 80--100 liter jamu kami produksi untuk dijual ke konsumen. Ada lebih dari 20 rempah-rempah yang kami gunakan untuk membuat sembilan jenis jamu mulai kunir asem, beras kencur sampai brotowali. Jamu yang kami jual semua menggunakan rempah-rempah yang segar dan tanpa bahan pengawet," ungkapnya.

Baca Juga: Empuk dan Nikmat! Sate Kambing 29 Kota Lama Legendaris di Semarang

Paguyuban Jamu Gendong ramu jamu tanpa bahan pengawet

Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di SemarangJamu Gendong Kholidi dari Kampung Jamu Sumber Husodo Desa Sumbersari Kelurahan Wonolopo Mijen dijual di Pasar BK Simongan Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Imbauan selalu menggunakan bahan rempah-rempah yang segar dan tidak menggunakan bahan pengawet selalu disosialisasikan Kholidi sebagai Ketua Paguyuban Jamu Gendong Sumber Husodo kepada 34 anggota penjual jamu di kampungnya. Langkah tersebut sebagai bagian menjaga khasiat rempah-rempah dalam jamu dan melestarikan pengobatan tradisional.

‘’Rempah-rempah jahe, kunyit, kencur, lempuyang untuk buat jamu harus yang segar. Kalau busuk bisa memengaruhi di rasa. Misalkan, jahe yang dipakai tidak bagus rasanya jadi nggak enak. Kalau begitu kan sama saja hilang khasiat rempah jamunya,’’ tuturnya.

Meski tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang kesehatan, mantan tukang ojek ini memiliki tanggung jawab besar sebagai pedagang jamu untuk melestarikan rempah-rempah dan jamu.

‘’Melihat sejarah panjang dari kekayaan rempah-rempah yang dimiliki bangsa ini, sangat penting sekali budaya jamu ini dilestarikan. Perlu ada tenaga ahli yang khusus menangani masalah rempah-rempah kemudian dimasyarakatkan secara luas agar orang betul-betul tahu tentang sejarah sampai manfaatnya. Jadi kalau sakit paling tidak solusinya bisa ke rempah-rempah, tanaman obat, atau minum jamu dahulu sesuai tradisi bangsa ini sejak dulu,’’ kata kakek enam cucu itu.

Makuta Jamu Cafe ubah konsep minum jamu jadi lebih modern

Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di SemarangMakuta Jamu Cafe di Jalan Gang Pinggir No 38 Semarang menyajikan jamu kekinian sesuai gaya hidup masa kini. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Setali tiga uang dengan Kholidi, ikhtiar melanggengkan jalur rempah melalui pemanfaatan rempah-rempah untuk jamu di Semarang juga dilakukan Seno Budiono, pemilik Makuta Jamu Cafe. Membuka kafe yang akrab dengan gaya hidup anak muda kekinian dengan menyajikan jamu kontemporer, ditempuh lelaki berusia 70 tahun itu bersama anaknya Alessandro Budiono pada Juli 2017.

Saat ditemui IDN Times di Makuta Jamu Cafe di Jalan Gang Pinggir Nomor 38 Semarang, Sabtu (28/8/2021), Seno yang merupakan cucu mantu Lauw Ping Nio atau generasi ketiga dari pendiri pabrik jamu Nyonya Meneer menuturkan, bahwa ia ingin menghadirkan jamu dengan menyesuaikan perkembangan zaman sekarang.

‘’Jamu Nyonya Meneer ini kan sudah berdiri 102 tahun, dan manfaat atau khasiat jamunya masih relevan untuk menjaga kesehatan sampai sekarang. Akan tetapi, kalau penyajiannya masih seperti dulu tentu tidak relevan kan? Kalau dulu orang minum jamu bisa di warung atau emper-emper (serambi) toko, zaman sekarang anak muda apa mau menikmati jamu model begitu. Orang usia 40an aja nggak mau apalagi anak usia 20an, pasti maunya ngafe,’’ tuturnya.

Maka, untuk menjaga kekayaan bangsa melalui rempah-rempah sebagai bahan jamu, suami Lingky Pangemanan anak dari putra bungsu Nyonya Meneer, Hans Pangemanan berinovasi terhadap produk-produk jamu yang bisa dinikmati semua kalangan, terutama generasi millennial.

Ramuan jamu rasa kekinian hadir di Semarang

Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di SemarangEs krim kunir asem merupakan salah satu menu yang disajikan Makuta Jamu Cafe di Jalan Gang Pinggir No 38 Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Berbagai rempah diramu menjadi minuman dan sajian menggoda selera. Sebut saja ada jamu latte seperti Moringa Latte, Kurma Latte, STMJ Latte, dan Golden Milk Latte. Kemudian, Moringa Frappe, Kunir Asem Frappe, Beras Kencur Frappe, dan Cappucino Beras Kencur Frappe.

Selanjutnya, ada berbagai makanan penutup seperti parfait, silky pudding, dan ice cream yang juga dari ramuan jamu seperti Kunir Asem Parfait, Silky Pudding STMJ, Ice Cream Temulawak Soda, Ice Cream Alang-Alang Selasih, dan Ice Cream Moringa Green Tea.

Di sana pun juga menyajikan minuman ready to drink yang juga terbuat dari herbal seperti Lemongrass Drink, Honey Cardamom Drink, Moringa Drink, Golden Curcuma Drink, dan Beras Kencur Drink.

Semua menu tersebut bisa dinikmati di kafe yang didesain dengan interior tradisional modern dan sangat nyaman dikunjungi oleh semua kalangan. Dengan ciri khas yang dimiliki, yakni mengenalkan dan melestarikan minuman herbal ke masyarakat, menjadikan Makuta Jamu Cafe mempunyai banyak pelanggan.

Jamu yang dikemas baik dan mempertahankan manfaatnya akan tetap disukai

Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di SemarangMinuman jamu ready to drink menjadi salah satu menu yang disajikan Makuta Jamu Cafe di Jalan Gang Pinggir No 38 Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Mayoritas pelanggan justru dari kalangan anak muda sebesar 80 persen, sedangkan 20 persen lainnya adalah orang dewasa dan orang tua. Selain dari Kota Semarang, pelanggan yang datang juga dari luar kota bahkan luar negeri.

‘’Pada awal buka ada rombongan wisatawan kapal pesiar dari Belanda yang mampir. Lalu, ada juga orang asing dari Italia juga singgah ke sini. Mereka semua suka dengan jamu di sini dan meminta saya buka di luar negeri. Dari testimoni mereka saya optimistis rempah-rempah yang diolah menjadi jamu, dikemas dengan baik, taste-nya diperbaiki, dan mempertahankan manfaatnya pasti tetap digemari oleh khalayak,’’ ujarnya yang juga rutin mengonsumsi jamu untuk menjaga kesehatan.

Untuk merawat pelanggan, ada beberapa hal penting yang tidak boleh dilupakan saat mengolah rempah menjadi minuman atau sajian herbal yang nikmat di Makuta Jamu Cafe. Antara lain dimulai dari pemilihan rempah rimpang yang semua harus segar, daun-daunan yang dipakai juga harus masih berwarna hijau, dan pengolahan dilakukan secara higienis.

‘’Umbi-umbian rempah yang kami pakai semua harus fresh. Dicuci, dirajang, dikeringkan pakai oven. Daun juga gitu, daun nggak boleh berwarna kuning, pakai yang masih hijau dicuci, dirajang, dikeringkan. Serai kami pilih yang besar-besar. Semua ini penting dan dalam membuat jamu yang utama adalah pengolahan rempah itu sendiri. Pengolahan rempah juga tidak bisa seperti zaman dulu hanya mengandalkan matahari dengan sistem buka tutup seng agar bahan yang dijemur menjadi kering. Cara seperti itu akan merusak komponen dalam herbal dan hanya 50 persen yang bisa digunakan,'' jelas ayah dari tiga anak itu.

Zaman terus berevolusi, namun jamu masih langgeng dengan cita rasa tradisional khas Nusantara. Kini jamu tak lagi dipandang sebelah mata sebagai minuman jadul, melainkan bertransformasi menjaga jalur rempah agar tetap lestari sebagai bagian sejarah Tanah Air.

Baca Juga: Mengenal Ikan Swagi, Hasil Tangkapan Nelayan Jateng yang Tembus Pasar Ekspor 

Bahan baku rempah-rempah jamu berasal dari Jawa Tengah

Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di SemarangInfografis daerah penghasil rempah jamu di Jawa Tengah. (IDN Times/Aditya Pratama)

Semua bahan baku rempah-rempah yang dipakai di Makuta Jamu Cafe semua berasal dari daerah di Jawa Tengah seperti kunyit dari Purworejo dan Kendal, jahe dari Tegal, cengkeh dari Purworejo dan Boyolali, kencur dan temulawak dari Boyolali

"Sebanyak 50 hingga 70 rempah kami gunakan dan diproses untuk membuat jamu. Satu jamu aja bisa pakai 20 rempah. Ini sebagai tanda bahwa Indonesia sangat kaya. Puluhan ribu rempah tumbuh subur di tanah Nusantara. Sehingga, sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan. Dengan resep racikan dan pengolahan yang benar rempah yang dibuat jamu bisa menjadi minuman yang cespleng untuk menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakit,’’ kata Seno.

Hingga sekarang Seno yang berlatar belakang pendidikan Sarjana Peternakan, justru ingin terus menggeluti bidang jamu untuk melestarikan warisan nenek moyang. Banyak harapan agar kekayaan rempah-rempah Indonesia ini tetap terjaga dan lestari sampai generasi yang akan datang. Selain itu, dalam menggeluti bisnis jamu Seno merasakan ada kepuasan dalam hidupnya.

Industri jamu perlu dukungan pihak dari hulu sampai hilir

Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di SemarangSeno Budiono, pemilik Makuta Jamu Cafe Semarang yang juga generasi ketiga cucu mantu Nyonya Meneer. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

‘’Saya merasa terpanggil menekuni bidang ini. Saya senang dan puas karena melalui produk jamu saya bisa menolong orang. Teman-teman yang sakit dan membutuhkan tak kasih jamu cuma-cuma, mereka sembuh saya senang. Sehingga, ini laboratorium hidup yang membawa kepuasan. Sebab, orang jual jamu itu kalau saya bilang seperti hukum tabur tuai, memberikan kebaikan dulu baru menerima. Number one kita menolong orang baru dapat rezeki,’’ katanya.

Sementara harapan lain Seno, yaitu agar industri jamu ini didukung secara penuh oleh semua pihak dari hulu hingga hilir. Sebab, industri ini tidak bisa lepas dari kekayaan rempah-rempah milik bangsa ini yang ditanam oleh petani.

‘’Sehingga perlu ada sinergi yang cukup kuat mulai distribusi rempah dari petani hingga industri jamu. Kemudian, dukungan sosialisasi dan pemasaran jamu ke masyarakat. Jadi, ada jaminan petani yang sudah menanam rempah-rempah ini hasilnya pasti ada yang beli, sebab selama ini yang sering terjadi petani sudah menanam rempah tapi tidak ada yang beli. Jangan sampai rempah-rempah kita nanti malah diakui dan dipatenkan oleh bangsa lain,’’ tandasnya.

Pemprov Jateng usulkan jamu menjadi warisan budaya tak benda dunia

Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di SemarangPramusaji Makuta Jamu Cafe Semarang meracik golden milk latte jamu dari rempah kunyit dan susu. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Sementara itu, melansir laman jatengprov.go.id, pada tahun 2019 Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo berharap jamu tradisional menjadi warisan budaya tak benda dunia. Meski pada kesempatan pendaftaran pertama gagal, Ganjar menginginkan jamu kembali didaftarkan sebagai warisan budaya dunia.

“Meski beberapa waktu lalu gagal, namun tidak boleh berhenti. Kami akan mendorong terus agar jamu menjadi warisan budaya dunia seperti halnya keris, batik dan lainnya. Nanti akan kami bantu sekuat tenaga untuk mewujudkan cita-cita itu,” ucapnya saat menemui perwakilan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional (GP Jamu) Jawa Tengah.

Untuk mewujudkan hal itu, Ganjar mendorong agar para pengusaha jamu harus bisa menunjukkan jika jamu memiliki manfaat untuk kesehatan. Selain soal sejarah jamu, manfaat jamu mesti ditunjukkan, khususnya dalam dunia herbal.

“Syukur-syukur bisa masuk herbal medicine, atau kemudian berinovasi menjadi bahan-bahan konsumsi minuman dan makanan yang enak berbahan jamu,” imbuhnya.

Jateng merupakan industri jamu terbesar di Indonesia

Lestarikan Jalur Rempah dari Kampung hingga Kafe Jamu di SemarangSuasana Makuta Jamu Cafe di Jalan Gang Pinggir No 38 Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Menanggapi hal itu Direktur Eksekutif GP Jamu Jateng, Stefanus Handoyo Saputro mengatakan, pihaknya akan terus mengusulkan terkait status jamu sebagai warisan budaya dunia. 

‘’Ini sangat penting. Sebab, jamu memang warisan leluhur yang telah ratusan tahun ada di Indonesia. Sejak zaman keraton hingga sekarang, jamu masih eksis di tengah masyarakat,’’ katanya.

Berdasarkan data GP Jamu, Jateng merupakan provinsi dengan industri jamu terbesar di Indonesia. Provinsi tersebut memiliki tujuh industri ekstrak jamu, 17 industri obat tradisional, 76 usaha kecil obat tradisional dan lebih dari 200 usaha mikro obat tradisional.

“Itu yang terdaftar di kami, sebenarnya masih banyak. Maka tepat jika Jawa Tengah adalah pelopor kebangkitan dan kejayaan jamu tradisional di Indonesia,” tandas Stefanus.

Baca Juga: Strategi Radio Idola Semarang Agar Lebih Asyik, Dilirik Millennial 

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya