Penghayat Kepercayaan Jauh dari Setara, Lekat dengan Stigma Negatif

Masyarakat perlu diberikan kesadaran tentang keberagaman

Semarang, IDN Times - Warga kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa hingga detik ini masih berjuang untuk mendapat pengakuan dan penghormatan yang setara dengan pemeluk agama lainnya.

Sebab, meskipun secara konstitusional negara sejak tahun 2017 melalui putusan Mahkamah Konstitusi sudah mengakui kelompok tersebut, tetapi mereka masih mendapat diskriminasi dan dipandang sebelah mata. 

1. Kondisi penghayat kepercayaan hingga saat ini sangat ironis

Penghayat Kepercayaan Jauh dari Setara, Lekat dengan Stigma NegatifIlustrasi penghayat kepercayaan.( IDN Times/Nofika Dian Nugroho

Pengamat budaya Universitas Negeri Semarang (Unnes), Dhoni Zustiyantoro mengatakan, kondisi penghayat kepercayaan hingga saat ini sangat ironis. Posisi mereka ini sekarang sebagai warga minoritas yang tidak bisa mengakses haknya secara bebas dan negara tidak memberikan perlindungan.

‘’Seperti itulah realitasnya, jangankan dengan penghayat kepercayaan, hingga kini bahkan masih ada golongan warga yang tak bisa menoleransi kebebasan pemeluk agama lain dalam beribadah. Para politikus, birokrat, bahkan tokoh masyarakat pun ikut memberikan dukungan kepada kelompok intoleran itu,’’ ungkapnya saat dihubungi, Sabtu (10/9/2022).

Padahal, lanjut dia, hak kebebasan beragama dijamin dalam Pasal 29 ayat dua UUD 1945, yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Baca Juga: 5 Fakta Tradisi Bubur Suro, Sajian untuk Rayakan Tahun Baru Islam

2. Penghayat kepercayaan di Jateng mayoritas Kejawen

Penghayat Kepercayaan Jauh dari Setara, Lekat dengan Stigma NegatifIlustrasi kejawen

Untuk di wilayah Jateng dan Yogyakarta, mayoritas penghayat kepercayaan menganut Kejawen, yaitu praktik menjalankan adat dan kepercayaan dalam budaya Jawa, dengan berbagai variasi, golongan, atau kelompok.

Untuk diketahui, pada hari tertentu mereka biasanya menggelar pertemuan rutin, seperti sarasehan. Di samping itu, ibadah bisa dilakukan secara mandiri di rumah atau bersamaan dalam bentuk meditasi, berdoa bersama, atau ritual tertentu.

Kendati demikian, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni ini mengungkapkan, yang menjadi persoalan secara statistik harus diakui jika jumlah warga penghayat kepercayaan semakin menurun. Kondisi itu dipengaruhi faktor internal, yaitu karena regenerasi atau anak-anak yang tidak lagi tertarik atau punya keyakinan berbeda dan berpindah ke agama lain.

‘’Sedangkan, faktor eksternal karena desakan dan tekanan golongan tertentu yang tidak bisa menerima kehadiran penghayat. Di tengah desakan itu, pemerintah tidak hadir untuk melakukan pembelaan,’’ tuturnya.

3. Warga penghayat kepercayaan terisolasi dari warga beragama

Penghayat Kepercayaan Jauh dari Setara, Lekat dengan Stigma NegatifSesepuh penghayat Kekadangan Wringin Seto Blora saat menyerahkan kenang-kenangan kepada pejabat yang hadir dalam ritual Suran. (Dok Humas Pemprov Jateng)

Peneliti Pusat Kajian Budaya Pesisir FBS Unnes ini menilai, untuk di Jawa Tengah, secara umum kelompok penghayat hidup dapat hidup berdampingan dengan warga masyarakat lain dan tanpa gesekan.

Meski demikian, ini juga bisa dimaknai bahwa warga penghayat kepercayaan cenderung terisolasi dari warga beragama kebanyakan karena keyakinan yang dianut. Orang awam akan melihat penghayat sebagai “Kejawen”, yang bisa berarti mereka memeluk agama tapi tidak secara ketat menjalankan kewajiban agama dan di saat bersamaan mereka menjalankan ritual atau tradisi tertentu.

‘’Untuk merekatkan kohesi sosial, saya kira penting kehadiran negara di level paling bawah kehidupan masyarakat yang majemuk ini. Cara yang dilakukan misalnya dengan menyelenggarakan kegiatan rutin dalam bingkai keberagaman dan kebangsaan. Selain itu, kesadaran akan keberagaman bisa dibangun melalui dialog rutin yang melibatkan tokoh beragam latar belakang, termasuk penghayat kepercayaan,’’ jelas Dhoni.

Upaya itu agar kelompok penghayat kepercayaan mendapat tempat yang sama di masyarakat dan menghapus stigma negatif selama ini. Sebab, jika mengingat pada rezim Orde Baru memberikan asosiasi kepada kelompok penghayat sebagai “kelompok komunis.”

4. Siswa penghayat kepercayaan belum mendapat pendidikan agama yang tepat

Penghayat Kepercayaan Jauh dari Setara, Lekat dengan Stigma NegatifIlustrasi siswa belajar (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

‘’Saat ini mungkin asosiasinya tidak banyak berubah. Di samping itu, narasi yang diyakini kebanyakan orang kepada kelompok penghayat adalah bahwa kelompok ini tidak beragama atau sesat karena tidak menjalankan perintah agama. Ini tidak lepas dari efek rezim Orde Baru yang selama puluhan tahun hanya mengakui agama tertentu dan dengan demikian memaksa warga untuk memeluk salah satu di antaranya,’’ kata dosen mata kuliah Bahasa Jawa itu.

Kini, lanjut dia, persoalan ini bisa menjadi isu sensitif dalam konteks kehidupan sosial bermasyarakat dan bisa menjadi bom waktu jika tidak ada pendidikan keberagaman yang komprehensif. Masalah lain, jika diambil satu konteks saja, persoalan pendidikan keagamaan kepada anak-anak penghayat kepercayaan.

Di situ negara tidak bisa memberikan akses karena sekolah hanya memberikan pendidikan agama tertentu, bukan pendidikan keagamaan kepada siswa penghayat kepercayaan.

Maka itu, masyarakat perlu diberikan kesadaran bahwa keberagaman dan perbedaan dalam memeluk agama dan keyakinan bukanlah hal yang perlu dipersoalkan. Takdir manusia adalah menjadi beragam dan untuk itu tidak perlu takut pada perbedaan apalagi kebebasan orang lain.

Negara mesti hadir untuk memastikan setiap warga memilih keyakinan dan beribadah secara leluasa. Itu sudah tertuang di dalam UUD 1945 meski implementasinya terseok-seok sampai saat ini.

Baca Juga: Penghayat Wringin Seto Blora Ramalkan Nasib Ganjar Pranowo: Bisa Mengayomi

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya