Psikolog: Anak-anak Rentan Jadi Pelampiasan Kekerasan di Masa Pandemik

Baru awal 2022 sudah 42 kasus kekerasan anak di Semarang

Semarang, IDN Times - Sederet kasus kekerasan pada anak belakangan ini satu per satu terungkap di Jawa Tengah. Mereka mengalami kekerasan dari orangtua maupun kerabat dekat.

1. Korban kekerasan di Semarang didominasi anak-anak

Psikolog: Anak-anak Rentan Jadi Pelampiasan Kekerasan di Masa PandemikIlustrasi anak-anak (IDN Times/Ayu Afria)

Kekerasan kepada anak tengah marak terjadi di Jawa Tengah. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, dari Januari--Maret 2022, korban kekerasan berdasarkan kelompok usia didominasi oleh usia anak-anak. Dari total 42 kasus, ada 12 kasus kekerasan menimpa kelompok usia 6–12 tahun dan 15 kasus kekerasan menimpa kelompok usia 13--18 tahun.

Berdasarkan pendidikan, dari total 42 kasus kekerasan, korban kekerasan mayoritas duduk di bangku SD dan SMP. Sebanyak 14 korban adalah siswa SD dan 9 korban adalah siswa SMP.

Baca Juga: Survei BEM: Pelaku Kekerasan Seksual di Undip Semarang Mayoritas Mahasiswa

2. Anak jadi pelampiasan masalah yang dialami orangtua

Psikolog: Anak-anak Rentan Jadi Pelampiasan Kekerasan di Masa PandemikIlustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Psikolog Klinis, Iis Amalia S.Psi M.Psi mengatakan, kasus kekerasan anak tidak hanya terjadi akhir-akhir ini. Kejadian tersebut sudah sejak lama terjadi. Tapi, beberapa tahun terakhir makin marak. Berbagai faktor menjadi pemicu terjadinya kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual kepada anak.

‘’Situasi dan kondisi yang tidak menentu, pandemik COVID-19, ekonomi yang sedang sulit, dampak pemutusan hubungan kerja yang dialami orangtua dan orangtua yang stres menjadi faktor terjadinya kekerasan pada anak. Anak-anak yang merupakan orang terlemah, rentan menjadi pelampiasan atau sasaran dari masalah yang dialami orang tuanya,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Selasa (22/3/2022).

Iis yang merupakan Psikolog dari Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni Kota Semarang kerap menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak berbasis gender. Menurut dia, selama pandemik COVID-19, jenis kasus kekerasan kepada anak lebih unik.

‘’Banyak orangtua yang konsultasi anaknya kecanduan gadget selama pandemik. Orangtua kewalahan dengan sikap anak tersebut terus dipukul sehingga terjadi kekerasan. Dalam hal ini perlu ada pemahaman bagi orangtua bahwa generasi dulu dan sekarang itu berbeda. Sekarang ini karena sekolah daring anak menjadi akrab dengan gadget. Maka, perlu mengubah cara pengasuhan dengan memberikan pemahaman apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada zaman sekarang,’’ jelasnya.

3. Anak mudah terpapar konten pornografi melalui gadget

Psikolog: Anak-anak Rentan Jadi Pelampiasan Kekerasan di Masa PandemikIlustrasi pornografi. (IDN Times/Sukma Shakti)

Sehingga, lanjutnya, edukasi menjadi penting termasuk pendidikan seks kepada anak. Sebab, melalui gadget, anak-anak zaman sekarang mudah terpapar dengan konten pornografi. Konten-konten itu dapat memicu tindak kekerasan seksual pada anak. Hal tersebut ditemukan oleh PPT Seruni beberapa waktu lalu.

‘’Kami temui kasus ada anak usia 1 tahun SD diminta melepas baju, kemudian mereka direkam video dan video tersebut disebarkan. Pelakunya itu adalah anak usia SMP. Ini sangat miris dan orangtua harus tahu cara memberikan edukasi terkait seks dan kekerasan seksual. Sehingga, ketika anak mereka diminta orang lain menunjukkan kemaluan atau payudaranya mereka tahu apa yang harus dilakukan,’’ kata Iis.

4. Trauma bisa menjerumuskan anak ke prostitusi

Psikolog: Anak-anak Rentan Jadi Pelampiasan Kekerasan di Masa PandemikIlustrasi Prostitusi (IDN Times/Mardya Shakti)

Pendidikan seksual makin penting bagi anak untuk melindungi diri dan paham mengenai gender. Pasalnya, banyak kasus yang terjadi mereka baru paham bahwa pernah mengalami pelecehan seksual setelah beranjak remaja atau dewasa.

‘’Kondisi ini bisa berdampak trauma pada korban. Namun, trauma yang dialami korban ini tidak semua sama. Ada yang mengalami phobia, ada yang trauma menjadi depresi, ada juga yang bipolar. Gangguan psikologis ini tidak hanya satu bentuk, tergantung bagaimana korban menghayati dari kejadian kekerasan seksual itu,’’ jelasnya.

Adapun, lanjut Iis, yang paling berbahaya mereka terjerumus ke prostitusi. Sebab, merasa sudah tidak punya harga diri dan sudah tidak perawan, sehingga mereka kehilangan kepercayaan diri.

‘’Dengan demikian, untuk mencegah kekerasan pada anak dan kekerasan seksual anak membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Tidak bisa hanya orangtua yang belajar tentang parenting, tapi guru di sekolah tidak sepaham. Ini bisa menjadi masalah. Kemudian, orangtua dan guru sudah sepaham, sistem hukum tidak mendukung juga jadi masalah. Jadi butuh sinergi dari berbagai pihak karena anak-anak adalah generasi bangsa ke depan, sehingga perlu pendidikan sejak dini,’’ tandasnya.

Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual Anak di Semarang Masih Tertutup Kelambu Rapat

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya