Susahnya Menindak Predator Anak di Semarang: 2 Pelaku Bebas Karena Dianggap Jompo

Padahal kasus kekerasan seksual terus meningkat

Semarang, IDN Times - Sejumlah kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di Kota Semarang diketahui tidak diproses lebih lanjut oleh aparat kepolisian. Kasus yang muncul tahun 2019 dan 2020 tersebut justru terkesan diabaikan polisi karena dua pelakunya masih berkeliaran bebas. 

Informasi dari LRC KJHAM Semarang menyebutkan pada 2019 silam pihaknya melakukan pendampingan terhadap anak di bawah umur yang menjadi korban kekerasan seksual. 

Ketika itu KJHAM berusaha menangani kasus tersebut dengan melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan seorang pria berusia 70 tahun kepada Polrestabes Semarang. 

"Tapi di tengah jalan saat kasusnya sudah masuk P21, polisi hanya menyatakan kalau kasusnya masih ranah penyelidikan. Kemudian setelah beberapa hari dikroscek lagi, penyidik kepolisian menyatakan kasusnya tidak bisa dilanjutkan. Dalihnya karena pelakunya sudah tua, umurnya 70 tahun dan tidak bisa dilakukan pemeriksaan lagi karena di rumah sudah sakit-sakitan," kata Anggota Divisi Bantuan Hukum LRC KJHAM Semarang, Nia Lishayati kepada IDN Times via sambungan telepon, Jumat (22/7/2022).

1. Dua kasus kekerasan seksual disetop polisi

Susahnya Menindak Predator Anak di Semarang: 2 Pelaku Bebas Karena Dianggap Jompoilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Selain itu, kasus serupa rupanya juga muncul ketika dirinya memberi pendampingan hukum terhadap seorang bocah perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tahun 2020. 

Ia menyebutkan polisi yang menyelidiki kasus itu seperti setengah hati menuntaskan meskipun usia korban masih kisaran 50 tahun. 

Nia menyayangkan tindakan kepolisian yang seakan melindungi pelaku kekerasan seksual. Di sisi lain bukti-bukti visum dan lainnya sudah dilengkapi dan diserahkan kepada penyidik. 

"Jadi kita memang menemukan dua kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak di Semarang yang mandek di tengah proses penyelidikan. Prosesnya digantung begitu saja. Alasannya sangat tidak logis padahal korban yang masih anak-anak butuh kepastian penanganan hukum termasuk pemulihan mental supaya ada kepastian hukum," terangnya. 

Baca Juga: Satu Eksekutor Penembakan Istri TNI di Semarang Dibekuk Polisi

2. KJHAM tangani tujuh kasus kekerasan seksual tahun 2022

Susahnya Menindak Predator Anak di Semarang: 2 Pelaku Bebas Karena Dianggap JompoIlustrasi. IDN Times/Galih Persiana

Tercatat sepanjang 2019-2020 pihaknya menangani ratusan kasus dan hampir semuanya merupakan tindakan kekerasan seksual yang melibatkan wanita dewasa dan anak-anak. 

Untuk tahun ini saja masih ada tujuh kasus kekerasan seksual anak yang didampingi KJHAM. Yakni tiga kasus baru dan empat kasus lama. Salah satunya yang ditangani terkait kasus perkosaan terhadap anak perempuan yang dilakukan ayah kandungnya di Genuk, Semarang. 

"Untuk yang kasus di Genuk, korbannya meninggal dengan luka pada vagina serta anus. Korban meninggal akibat perkosaan yang dilakukan bapaknya di kos-kosan. Pihak rumah sakit justru yang melaporkan kasus ini ke Polrestabes Semarang. Polisi yang menyelidiki kemudian menemukan ada luka di vagina dan anus korban. Pelakunya sudah ditangkap dan sekarang sudah menjalani sidang di Pengadilan Negeri Semarang. Dan saat ini ditahan LP Kedungpane untuk menunggu putusan vonisnya. Kita berharap ini bisa memberikan keadilan buat korban. Pelakunya perlu mendapat ganjaran yang setimpal karena membuat korban meninggal dunia," urainya. 

3. Polisi takut pakai UU TPKS

Susahnya Menindak Predator Anak di Semarang: 2 Pelaku Bebas Karena Dianggap JompoKomnas Perempuan menyuarakan untuk pengesahan RUU TPKS (Instagram.com/Komnasperempuan)

Tak cuma itu, meski UU TPKS sudah disahkan Mei kemarin tapi nyatanya bahwa polisi belum berani menyelesaikan kasus kekerasan seksual menggunakan petunjuk teknis untdang-undang tersebut. 

Hal itu terbukti saat KJHAM menangani kasus kekerasan seksual di salah satu kecamatan Kota Semarang pada 2022.

Sejumlah penyidik di Polsek wilayah Semarang mengaku tak begitu paham dengan implementasi UU TPKS meskipun sudah disahkan bulan Mei kemarin. Disisi lain pihaknya melaporkan kasus pada Juni.

"Di tahun ini kita pernah laporkan kasus ke salah satu Polsek pakai UU TPKS. Cuman penyidiknya ngakunya gak berani memakai pasal dalam UU TPKS. Karena dianggap belum disosialisasikan sehingga mereka tidak paham secara teknis. Padahal kan UU TPKS sudah disahkan Mei, juga ada PP dan Perpresnya. Tapi dalihnya mereka belum tahu bentuk aturannya, jadinya mereka minta petunjuk dari ahli hukum," ungkapnya. 

4. Kementerian PPA diminta gencarkan sosialisasi UU TPKS

Susahnya Menindak Predator Anak di Semarang: 2 Pelaku Bebas Karena Dianggap Jompogoogle anteroaceh.com

Oleh sebab itulah, mendorong Kementerian PPA, Mabes Polri dan instansi di bawahnya untuk segera menggencarkan sosialisasi pasal-pasal pada UU TPKS kepada masyarakat luas. 

Dengan memakai UU TPKS, menurutnya para korban kekerasan seksual bisa lebih mudah mengakses layanan hukum termasuk menyampaikan pembuktian di hadapan para penyidik. 

5. Penanganan kasus kekerasan seksual jangan pakai restoratif justice

Susahnya Menindak Predator Anak di Semarang: 2 Pelaku Bebas Karena Dianggap JompoIlustrasi Kekerasan pada Anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Sedangkan terkait penerapan restoratif justice terhadap pelaku kejahatan, ia meminta kejaksaan supaya tidak memberlakukannya terhadap kasus kekerasan seksual. "Sebab, jika kasus kekerasan seksual pakai pedoman restoratif justice nantinya sangat berdampak pada pada korbannya. Apalagi kan pelakunya rata-rata pria dewasa. Sehingga saya rasa kurang tepat," ujar Nia. 

6. Tren kasus kekerasan seksual naik selama tiga tahun

Susahnya Menindak Predator Anak di Semarang: 2 Pelaku Bebas Karena Dianggap Jompoilustrasi kekerasan pada perempuan (IDN Times/Nathan Manaloe)

Terpisah, Retno Sudewi, Kepala DP3AKB Jateng menyatakan tren kasus kekerasan seksual terhadap wanita dan anak selama tiga tahun terakhir selalu mengalami kenaikan. Jika tahun 2020 terdapat 1.100 kasus, maka tahun 2021 muncul sebanyak 1.200 kasus. 

"Tahun ini diperkirakan juga kasusnya tambah naik. Apalagi tak jarang ada kasus perundungan terhadap anak yang terjadi di sekolah dan lingkungan rumahnya. Berdasarkan laporan yang kita tangani selama ini mayoritas kasusnya 70 persen adalah kekerasan seksual. Ini adalah fenomena gunung es yang musti diantisipasi pakai dua cara," akunya kepada IDN Times. 

Antisipasi pertama dengan pola pencegahan. Kemudian yang kedua bisa melakukan penanganan secara kongkrit. Adapun untuk pencegahan kekerasan seksual ia memutuskan membentuk satgas pusat pembelajaran keluarga. 

Melalui satgas tersebut, ia menggandeng dunia usaha, komunitas aktivis dan akademisi demi menggencarkan sosialisasi bahaya perundungan dan kekerasan seksual.

"Seminggu kemarin kita berdialog dengan Grab dan baru kemarin kita juga bertemu dengan Gojek untuk berkolaborasi menyelidiki apakah ada mitra drivernya yang jadi korban pelecehan. KJHAM juga kita libatkam untuk bersama-sama mencegah pelecehan di sektor transportasi online," paparnya.

7. DP3AKB Jateng jadikan pelajar sebagai Satgas Jogo Konco

Susahnya Menindak Predator Anak di Semarang: 2 Pelaku Bebas Karena Dianggap JompoIlustrasi Pelajar (SMP). IDN Times/Mardya Shakti

Untuk menangani para korbannya, Retno mengklaim telah berkoordinasi dengan Polda Jateng, pengadilan negeri, dinas sosial dan beberapa rumah sakit untuk memberi layanan hukum dan pengobatan secara gratis. 

Tepat saat Hari Anak Nasional 27 Juli nanti, Retno akan meresmikan aplikasi Jogo Konco dimana anggotanya melibatkan siswa sekolah usia 13-17 tahun. 

"Kita kepengin anak-anak harus jadi pelopor dan pelapor kasus kekerasan seksual. Nah, supaya anak bisa menjadi pelopor maka mereka dilibatkan jadi petugas Jogo Konco. Yang dilibatkan adalah siswa SMP, SMA dan SMK yang selama ini aktif mengkampanyekan bahaya bullying," paparnya. 

8. Kejati Jateng tangani 45 perkara pakai restoratif justice

Susahnya Menindak Predator Anak di Semarang: 2 Pelaku Bebas Karena Dianggap JompoSidang vonis penyiraman air keras Novel Baswedan (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Terpisah, Kajati Jateng Andi Herman menyampaikan dari total 52 perkara hukum yang ditanganinya, ada 45 perkara yang diselesaikan memakai sistem restoratif justice. "Sisanya tidak memenuhi persyaratan dan tidak dilanjutkan lagi" ungkapnya. 

Soal penuntasan pidana khusus, ia memaparkan telah menyelidiki 54 kasus untuk yang dinaikkan statusnya menjadi penyidikan ada 33 kasus. Dari beberapa kasus yang ditangani Kejati Jateng menyelamatkan uang negara Rp70 miliar. 

"Penyelamatan uang dan aset negara itu dilakukan dari Januari hingga Juni 2022," tandasnya. 

Baca Juga: 5 Tanda Pelecehan Seksual yang Jarang Perempuan Sadari, Harus Ditindak

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya