Di Bawaslu Malam Itu, Kami Berburu Berita dan Cerita

Aksi massa pada 22-23 Mei terjadi di depan Kantor Bawaslu RI

Jakarta, IDN Times - Malam itu, di depan Kantor Bawaslu RI di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, akan selamanya jadi malam yang berkesan. Tak hanya berburu dokumentasi dalam wujud berita dan foto, ratusan pewarta yang berdiam di sana pada 22 dan 23 Mei 2019 turut membawa pulang keping demi keping memori yang mungkin, juga akan dikenang dalam sejarah bangsa ini.

Di artikel ini, saya akan menuliskan kembali bagaimana peliputan Aksi 22 Mei menjadi sesuatu yang berkesan bagi para pewarta millennials, generasi wartawan-wartawan muda yang pada Mei 1998 lalu, masih terlalu belia untuk tahu apa itu aksi massa dan kerusuhan.

1. Semua bermula pada malam 20 Mei

Di Bawaslu Malam Itu, Kami Berburu Berita dan CeritaIDN Times/Denisa Tristianty

Saya, yang kebetulan sedang dalam jadwal piket malam bersama seorang kawan di kantor, dikejutkan dengan serentetan pesan masuk di gawai. Tertulis, "KPU akan mengumumkan hasil rekapitulasi Pemilu 2019 malam ini!". Pesan ini mengejutkan sekaligus membuat kami terhenyak. Redaksi kami mengira hasil rekapitulasi akan selesai pada 22 Mei, namun pada Senin (20/5) malam, rekapitulasi suara di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) tinggal menyisakan satu provinsi saja yakni Papua.

Briefing singkat dengan rekan saya, Ilyas Mujib dan Kevin Handoko, kami bertiga kemudian meluncur ke KPU. Tiba di lokasi, pagar beton dan kawat duri sudah dipasang di sepanjang Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat.

Berbicara sebentar dengan Brimob yang berjaga dan bantuan dari tim KPU, kami membuka barikade pagar beton dan kawat duri untuk masuk ke wilayah yang disterilkan oleh polisi.

Singkat cerita, malam itu berakhir panjang dan dramatis. Tepat pukul 01.46 WIB pada tanggal 21 Mei 2019, KPU resmi mengumumkan hasil rekapitulasi nasional Pemilu 2019 di mana salah satunya mengumumkan bahwa pasangan calon nomor urut 01, Joko "Jokowi' Widodo-Ma'ruf Amin memenangkan kontestasi Pilpres 2019 dengan perolehan suara 55,50 persen berbanding 44,50 persen milik pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Tepat di sini kemudian dinamika politik berujung aksi massa lalu terjadi.

Baca Juga: Ketua DPRD DKI: Kerusuhan Ganggu Perekonomian Tanah Abang

2. Malam pertama di Bawaslu, 21 Mei 2019

Di Bawaslu Malam Itu, Kami Berburu Berita dan CeritaIDN Times/Isidorus Rio Turangga

Selasa (21/5) malam, saya dan Ilyas, serta satu videografer, Ashari Arief, pergi meliput ke Bawaslu. Blokade jalan di Bundaran HI, membuat kami memutar jalan dan memasuki kawasan Thamrin melalui Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Menggantikan rekan wartawan yang sudah bertugas sejak pagi, kami memasuki Wahid Hasyim disambut lautan massa dari Aksi 21 Mei yang bersiap membubarkan diri.

Selepas salat tarawih, tampak ribuan massa aksi membubarkan diri mengikuti arahan dari seorang orator di atas mobil komando. "Mari saudara-saudara, silakan ikuti komando suara dari saya. Mari kita membubarkan diri dan melanjutkan perjuangan esok hari," teriak sang orator dari atas mobil.

Tak ada yang aneh dari hal ini. Dengan tertib, diiringi selawat dan pekik takbir, ribuan massa yang selesai melakukan aksi di depan Kantor Bawaslu membubarkan diri ke arah Wahid Hasyim yang menuju Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Kapolres Jakarta Pusat, Herry Kurniawan, mengantar pulang para demonstran dengan penuh salam damai. "Terima kasih pak ustaz, pak kiai, silakan pulang ke rumah masing-masing, terima kasih," ujarnya dari atas mobil pengurai massa yang bersiaga di depan Sarinah.

Namun, malam itu nyatanya tak berakhir singkat.

Sekitar pukul 21.00 WIB, segelintir massa merapat ke depan Bawaslu. Di depan pagar kawat berduri dan pagar beton, mereka meneriaki para polisi dan Brimob yang masih siaga di depan Bawaslu. Dipisahkan kawat duri, segelintir massa tampak melontarkan beberapa kalimat provokasi kepada aparat kepolisian.

"Kalian makan uang rakyat!", "polisi kafir!", dan berbagai kalimat provokasi yang saya rasa tak cukup elok dituliskan di sini. Saya, Ilyas, dan Arief ada di barisan massa. Menunggu dalam senyap, sembari diam-diam berharap agar tak ada gesekan yang berujung ricuh. Namun, harapan kami menipis ketika malam beranjak larut.

Massa semakin banyak di depan Bawaslu dengan jumlah sekitar 100-an orang. Mereka terus memprovokasi aparat, dengan beberapa rekan wartawan banyak memilih untuk rehat sejenak di pinggir Bawaslu. Ada yang merapat ke Sarinah, ada pula yang merapat ke kedai Starbucks di dekat Djakarta Theater.

3. Ketika kericuhan berujung pada kerusuhan

Di Bawaslu Malam Itu, Kami Berburu Berita dan CeritaIDN Times/Isidorus Rio Turangga

Pukul 22.30 WIB, kami mulai rehat di pinggir perempatan Thamrin. Tampak dari kejauhan, ratusan massa masih di depan Bawaslu. Memesan minuman dari pedagang di lokasi, kami dapat instruksi dari kantor untuk meninggalkan lokasi tepat pukul 23.00 WIB.

Tapi, harapan tinggal harapan. Tepat ketika minuman baru datang dan kami nikmati dua teguk, teriakan terdengar dari arah Bawaslu. "Rusuh, rusuh, di sana rusuh!", teriak salah seorang dari kejauhan. Ilyas bergerak cepat, langsung berlari ke arah massa, sementara saya dan Arief langsung menyusul.

Kami berpencar di depan Sarinah, saya tidak tahu di mana Ilyas dan Arief berada, ketika dari kejauhan saya melihat ratusan polisi dan Brimob berlari ke arah massa. 'Diserbu' ratusan polisi yang datang ke arah mereka, ratusan massa langsung kocar-kacir. Beberapa polisi tampak menyergap beberapa massa sembari meneriakkan perintah untuk membubarkan diri.

"Bubar, cepat bubar, sekarang! Sudah dibilang untuk bubar dari tadi masih saja di sini!", teriak salah satu Brimob dengan pakaian anti-huru-hara lengkap dengan helm, tameng, dan tongkat hitam di tangannya.

Di depan Sarinah, ratusan massa lari tunggang langgang. Banyak di antara mereka mundur ke arah Wahid Hasyim yang menuju Jalan Sabang. Saya melihat Ilyas berlari mendekat ke arah seorang massa yang mendapat tindakan represif dari Brimob persis di depan Sarinah. Tak menyia-nyiakan kesempatan, kami sigap mengambil video dokumentasi. Satu massa ada tepat di depan mata saya tengah diamankan dua Brimob yang tampak memukulinya.

Mengamankan foto dan video dari aksi tersebut, saya dan Ilyas kembali berpencar. Saya menepi ke arah Djakarta Theater, ketika dua orang Brimob meneriaki saya sesuatu. "Mundur, mundur ke belakang!", teriaknya. Melihat Brimob yang tampak represif kepada massa, saya mengikuti arahan tersebut. Baru tiga langkah kaki menuju arah Wahid Hasyim, saya merasakan pukulan keras mengenai punggung saya. Beruntung, saya membawa ransel dan pukulan tersebut tak langsung mengenai badan saya.

Kaget dengan tindakan tersebut, saya menengok dan melihat seorang Brimob dengan tongkat dan tameng berupaya mengusir saya mundur dari sekitar Sarinah. Masih diliputi rasa kaget juga rasa takut, saya menunjukkan ID pers yang saya kalungkan sedari tadi di leher. "Wartawan bang, saya wartawan, mohon tenang, saya mundur sekarang, mohon tenang," ujar saya ke arah Brimob tersebut.

4. Memanas pada Rabu dini hari, tanggal 22 Mei 2019

Di Bawaslu Malam Itu, Kami Berburu Berita dan CeritaIDN Times/Isidorus Rio Turangga

Malam merangkak larut, saya masih tertahan di Jalan Sabang. Butuh waktu cukup lama untuk bisa masuk ke kawasan Thamrin. Tapi, saya ingat dua kawan saya masih di pusat area kericuhan. Saya mengecek gawai, sempat ada satu panggilan tak terjawab dari Ilyas. Saya langsung menelepon balik, tersambung, tapi tak diangkat.

Sekitar 30-an menit usai kericuhan tersebut, belasan Brimob membentuk barikade di depan Planet Sport di Wahid Hasyim. Tak segan, beberapa dari mereka tampak galak ketika beberapa demonstran mencoba kembali ke Sarinah untuk mengambil sepeda motor mereka. "Tidak usah, besok saja ambil di Polda! Siapa suruh kalian dari tadi tidak pulang?!," teriak salah seorang Brimob kepada dua remaja yang mencoba menerobos barikade untuk kembali ke Sarinah.

Saya gamang, sedikit ciut nyali saya berhadapan dengan aparat yang tampaknya kalap karena terprovokasi massa sedari tadi. Mengumpulkan keberanian sekaligus didorong keinginan untuk mengecek kabar dua rekan saya, saya lalu mendekat ke arah barikade. "Pak, izin masuk ke area. Saya wartawan, ini tanda pengenal saya," ujar saya seraya mengacungkan ID pers saya ke belasan Brimob yang berjaga.

Beruntung, izin diberikan. Saya lekas berlari kencang ke depan kantor Bawaslu. Tampak beberapa massa diamankan Brimob dan sempat sekilas saya lihat sudah digiring masuk ke dalam Bawaslu. Saya menemukan beberapa wartawan dan fotografer sibuk mengambil foto, beberapa di antaranya berbagi berita untuk ditulis. Rehat lima menit di dekat perempatan Thamrin, saya menyempatkan menulis dan mengirim berita serta video aksi represif Brimob kepada massa.

Sekitar pukul 23.35 WIB, saya pertama bertemu Arief. Dia berteriak dari Jalan Wahid Hasyim yang mengarah ke Tanah Abang memanggil nama saya. "Itu di sana ada massa lebih banyak, sepertinya bakal rusuh lebih besar," kata Arief kepada saya. Selang beberapa menit kemudian, saya, Ilyas, dan Arief berkumpul di perempatan Thamrin.

Tampak ratusan Brimob membuat dua barikade. Satu barikade dilakukan di Jalan Wahid Hasyim yang mengarah ke Tanah Abang, satu barikade sisanya dilakukan di Wahid Hasyim yang mengarah ke Jalan Sabang. Kami diliputi kegamangan, situasi ricuh seperti ini sama-sama baru pertama kali kami bertiga alami. Saya dan Ilyas adalah wartawan olahraga, sementara Arief sejatinya adalah videografer yang sehari-hari bekerja di balik layar.

Menjelang pukul 00.00 WIB, tampak diskusi antara massa dan aparat kepolisian dilakukan di samping kantor Bawaslu yang mengarah ke Tanah Abang. Seorang ustaz yang belakangan kami ketahui bernama Habib Fadli Ali Idrus menjadi perwakilan massa untuk negosiasi dengan kepolisian yang diwakili langsung Kapolda Metro Jaya, Irjen Gatot Eddy Pramono dan Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Herry Kurniawan.

Negosiasi berlangsung alot. Massa menginginkan kawan mereka yang tertangkap agar dilepaskan, sebagai syarat mereka membubarkan diri. Sempat alot, polisi kemudian menuruti permintaan tersebut. Seorang pria dilepaskan dari pengamanan polisi. Dibawa keluar dari pintu samping Bawaslu, kepalanya tampak berdarah.

Namun, kendati permintaan sudah disanggupi, massa ternyata tak jua bubar. Mereka bertahan di Wahid Hasyim dan terus memprovokasi polisi. Kejadian ini berlangsung hingga Rabu (22/5) dini hari sekitar pukul 00.39 WIB. Tak berselang lama, massa lalu melemparkan batu dan petasan untuk membalas upaya polisi yang menembakkan gas air mata.

Tak pelak, Kombes Herry merespons keras, "Kami akan ambil tindakan tegas. Kalian sudah berani melawan petugas," ujarnya dari pengeras suara di dalam kendaraan pengurai massa. Dan ini titik awal kerusuhan skala besar di area Tanah Abang.

5. Malam panjang di Tanah Abang

Di Bawaslu Malam Itu, Kami Berburu Berita dan Cerita

Upaya anarkis massa dibalas petugas kepolisian dengan rentetan tembakan gas air mata. Bagi saya, ini pertama kalinya saya berada di situasi di mana banyak gas air mata di sekitar saya. Tak ada persiapan apa pun, saya kewalahan. Ilyas dan Arief maju lebih dulu, seiring Brimob yang terus memukul mundur massa hingga ke arah Pasar Tanah Abang.

Saya maju secara perlahan, bertemu dengan beberapa fotografer dan reporter dari televisi swasta yang mayoritas adalah perempuan. Berbagi pasta gigi untuk dioleskan ke muka, kami kemudian sempat membasuh muka sebentar di depan kantor Bank DKI di Jalan Wahid Hasyim.

"Pak, pak, minta air. Coba cek dari selang itu, mata saya perih," pinta saya kepada dua satpam yang berjaga di depan kantor Bank DKI. Dengan sigap, mereka menyambungkan selang air dari bagian belakang gedung dan memberi asupan air bagi kami untuk membasuh muka. Tercatat, ada lima wartawan yang ikut bersama saya membasuh muka di sana. Kebanyakan dari kami memang tak menyiapkan perlengkapan bila ternyata ada gas air mata dilibatkan di pengawalan aksi massa ini.

Air tersebut membantu mengurangi perih di mata, walau rasa panas masih terasa di wajah dan air mata mulai keluar dari mata saya. Seorang anggota Brimob lalu tampak menggotong satu kardus air mineral dan berbagi bersama para wartawan di depan Bank DKI. "Siramin airnya ke muka, terus diamkan saja. Kalau perih, jangan dikucek matanya, nikmati saja perihnya, biar cepat hilang rasa perihnya," ujar salah satu Brimob di dekat saya.

Reda dengan urusan gas air mata, saya merangsek maju ke garis depan. Ternyata, massa sudah tersudut hingga Pasar Tanah Abang. Di sana, beberapa Brimob dengan motor dan senjata laras panjang, serta beberapa puluh pasukan TNI AD, sudah disiagakan di lapis kedua barikade. Puluhan gas air mata masih ditembakkan polisi, dengan balasan dari massa berupa lemparan batu dan petasan.

Dari Ilyas, yang saya temui di Tanah Abang, saya dapat kabar bahwa polisi sempat disergap massa di gang-gang kecil di sekitar Wahid Hasyim. Kami mundur sejenak, menulis satu-dua berita, lalu mendekat kembali ke Tanah Abang. Tampak, massa mulai beringas. Bom molotov mulai dilemparkan dan salah satu petasan ditembakkan ke arah polisi di mana salah satunya tepat melintas di atas kepala saya.

Aksi saling serang ini berlangsung sekitar 5 jam, di mana massa sempat mundur, lalu menyerang balik polisi dan sempat membakar ban dan berbagai barang di sekitar Pasar Tanah Abang. Di tengah situasi panas dan waktu yang mengarah menuju Imsak, Kapolres sempat ingatkan massa untuk pulang dan sahur.

"Saudara-saudara cukup sudah, tolong adik-adik membubarkan diri. Jangan bakar-bakar, matikan apinya. Sebentar lagi sahur. Istirahat. Kalian mau sahur gak? Sebentar lagi sahur, silakan membubarkan diri. Polisi bukan musuh kalian," ujar polisi dari mobil komando melalui pengeras suara.

Baca Juga: Kepolisian Menahan 11 Orang yang Diduga Dalang Kerusuhan 22 Mei

6. Azan Subuh berkumandang, malam mencekam berlalu

Di Bawaslu Malam Itu, Kami Berburu Berita dan CeritaIDN Times/Isidorus Rio Turangga

Saya yang mulai kelelahan, mendapat instruksi dari kantor untuk mundur dari lokasi dan pulang. Saya sudah jauh dari garis depan dan bersama Arief, sementara Ilyas masih setia di depan. Menepi sebentar ke sebuah warung kopi di Kebon Kacang, kami bertemu anggota Brimob yang memberi instruksi untuk mundur ke Bawaslu.

"Ayo bang, mundur, mundur, ke Bawaslu kita. Sudah mau sahur, mari sahur dulu di sana," ujarnya kepada saya. Saya bertanya kondisi massa, namun ia tak merespons. Selesai membasuh muka dengan air mineral, saya mengirim pesan singkat ke Ilyas, "Mundur ke Bawaslu, sekarang juga," tulis saya.

Sampai di Bawaslu, saya dan Arief beristirahat di sekitar perempatan Thamrin. Dengan rekan-rekan pewarta lain, kami berbagi makanan dan mencegat satu pedagang minuman yang lewat. Tampak puluhan Brimob beristirahat di perempatan Thamrin, tidur beralaskan tameng, bahkan aspal jalanan.

Saya sempat bertanya apa ini pasukan yang disiapkan untuk pagi, seorang anggota Brimob membenarkan. "Ya, kami bagi tenaga bang, tadi di Sabang rusuh juga, di sana (Tanah Abang) juga, sementara siang nanti kan ada aksi lagi di Bawaslu. Jadi, mereka yang tidur itu buat berjaga nanti di aksi pas siang hari," jelasnya kepada saya.

Tak lama, Ilyas muncul dan bergabung bersama kami. Menenggak minuman dan berbagi makanan kecil, kami memutuskan untuk kembali pulang ke kantor. Azan Subuh berkumandang, para Brimob di garis depan juga tampak mundur dan membuat barikade di samping kantor Bawaslu. Suasana mulai kondusif, karena saya melihat tiga petugas dari pasukan oranye Pemprov DKI Jakarta tengah membersihkan sampah di depan Starbucks.

Pukul 06.00 WIB pada Rabu (22/5) pagi, kami pulang meninggalkan area Thamrin untuk kembali ke Palmerah. Tapi kami tahu, hari masih panjang.

7. Puncak demo massa di Aksi 22 Mei

Di Bawaslu Malam Itu, Kami Berburu Berita dan CeritaIDN Times/Isidorus Rio Turangga

Tidur sekitar empat jam, saya bangun pukul 12.00 WIB pada Rabu (22/5). Mengecek grup kantor, saya tahu rekan-rekan saya sudah diterjunkan ke berbagai lokasi. Ada yang ke Petamburan, ada yang meliput asrama Brimob yang dibakar massa di Petamburan, ada yang ke KPU, pun ada juga yang disiagakan di Bawaslu sedari pukul 07.00 WIB.

Melihat berita di televisi, saya beristirahat sejenak, mengecek jadwal peliputan malam hari, lalu bersiap ke kantor. Berangkat pukul 16.00 WIB, saya menggunakan moda transportasi MRT (Moda Raya Terpadu). Ternyata, hari itu, MRT hanya beroperasi hingga Stasiun Dukuh Atas. Turun di Senayan, saya menempuh perjalanan melalui kawasan Bendungan Hilir, sebelum akhirnya berbelok ke arah Palmerah karena jalan di depan Gedung DPR/MPR ditutup oleh polisi.

Tiba di kantor sekitar pukul 17.10 WIB, saya langsung beristirahat dan menyiapkan diri untuk liputan malam kedua di Bawaslu. Tepat pukul 20.00 WIB, kami, yakni saya, Ilyas, dan Arief, kembali meluncur ke Bawaslu. Tak seperti malam pertama, kini kami sudah mengantisipasi semuanya. Ilyas membawa masker muka, sementara saya melilitkan kaus saya sebagai penutup muka. Tak lupa, saya memakai kaus dengan logo kantor untuk memudahkan aparat membedakan saya dengan massa demonstran.

Turun di depan Bundaran HI, kami bertiga menempuh perjalanan kaki menuju area kantor Bawaslu. Suasana cukup lengang dan jujur, sedikit membuat saya takut. Saya sempat berujar kepada Arief, "Agak takut malam ini, kayaknya bakal lebih mencekam," ujar saya. Arief pun mengiyakan, "Iya, ini keringat dingin, semoga gak ada apa-apa," jawabnya.

Tiba di area sekitar Bawaslu, blokade polisi sudah menutup akses. Kami bertemu rekan wartawan, juga salah satu rekan dari IDN Times, Fitang Adhitia. "Bisa masuk, tapi suasana mencekam di sana (Bawaslu)," ujar Fitang kepada kami bertiga. Berbincang sebentar dengan Ilyas dan Arief, kami bertiga sepakat untuk masuk. Perlu menunjukkan ID pers untuk menembus barikade polisi dan memasuki kawasan Sarinah.

Masuk dari halte Transjakarta Sarinah, kami mendapat tempat menarik untuk meliput. Tampak aksi massa tengah berlangsung di mana mereka menguasai perempatan Thamrin dan memaksa Brimob bertahan di area sekitar Bawaslu dan Sarinah. Aksi saling serang antara kedua kubu berlangsung sengit.

8. Kerusuhan yang diwarnai pembakaran dan penjarahan

Di Bawaslu Malam Itu, Kami Berburu Berita dan Cerita

'Perang' antara massa dan aparat berlangsung cukup lama kali ini. Terhitung selama dua jam, aksi saling serang di mana massa menggunakan petasan dan batu, dibalas oleh aparat yang melepaskan gas air mata dan tembakan yang menggunakan peluru karet. Mendapat angin segar sekitar pukul 22.15 WIB, polisi kemudian menekan massa.

Strategi yang digunakan adalah aparat di sisi Sarinah menekan kerumunan massa yang bertahan di perempatan Thamrin. Dari sisi arah Patung Kuda, polisi juga merangsek maju untuk memojokkan massa. Sementara dari arah Tanah Abang, barikade polisi juga menyudutkan massa yang hanya memiliki jalan keluar tersisa menuju ke arah Jalan Sabang. Sekitar pukul 22.30 WIB, perempatan Thamrin sudah sepenuhnya dikuasai polisi, di mana massa lalu mundur ke Wahid Hasyim yang mengarah ke Jalan Sabang.

Tampak usai mengamankan Thamrin, beberapa drama terjadi. Yang pertama, Brimob tampak mengamankan seorang perusuh yang kepalanya berlumuran darah dan wajahnya ditutupi kaus kuning yang juga berlumuran darah. Tak lama berselang, drama kedua terjadi dan lebih menegangkan.

Polisi yang tengah berjaga di perempatan Thamrin, dikejutkan oleh kedatangan perempuan dengan pakaian serba hitam. Tak hanya itu, ia juga menutup muka dengan cadar berwarna senada dengan bajunya dan kedapatan membawa tas ransel.

"Ibu, lepas tasnya. Itu apa itu, ada kayak kabel di badannya. Saya akan beri peringatan! Tolong dilepas tasnya!", perintah polisi melalui pengeras suara kepada sang perempuan. Sempat dua kali mendapat peringatan untuk melepas ranselnya, sang perempuan tak menggubris. Ia terus merangsek ke arah polisi sebelum akhirnya aparat mengambil tindakan dengan menembakinya dengan gas air mata.

Tak berselang lama, ia mundur dan meninggalkan wilayah perempatan Thamrin dengan beberapa petugas diinstruksikan untuk terus mengawasi sang perempuan yang berjalan menuju ke arah Patung Kuda.

Setelahnya, saya dan Arief sempat berpisah dengan Ilyas, sampai kemudian kami dapat info dari Ilyas bahwa ia mengabarkan ada kerusuhan lanjutan di perempatan Jalan Sabang. Mendapat info tersebut, kami berdua merapat ke arah Sabang. Hawa panas akibat sisa ban-ban yang dibakar massa sangat terasa, belum lagi sisa-sisa gas air mata. Tampak juga sebuah tabung gas elpiji tiga kilogram yang sudah diamankan polisi.

Berjalan hingga perempatan, kami melihat ada kobaran api di sana. Sontak, Arief segera menyiagakan kameranya sementara saya segera mengambil foto dan video. Dari Brimob di lokasi, kami mendapat kabar bahwa ada ruko yang dibakar massa. "Iya itu ruko dibakar, sama katanya ada penjarahan juga, nanti mobil yang bawa water cannon akan berupaya memadamkan," ujar salah seorang Brimob kepada saya.

Upaya ganda dilakukan Brimob di perempatan itu. Satu sisi, mereka coba memadamkan api yang membakar bangunan, sementara di sisi lain, mereka harus bertahan dari lemparan baru dan petasan yang dilakukan massa. Sempat ketika mengambil video kebakaran di dekat garis depan, saya dan Arief terkena lemparan batu. Arief terkena lemparan batu di bagian tangan sementara batu yang mengenai saya untungnya membentur tameng petugas terlebih dahulu dan hanya menimpa kaki kiri saya.

Mendapat dokumentasi yang dibutuhkan, saya dan Arief mundur ke belakang. Di belakang juga kami tahu dari rekan-rekan wartawan lain bahwa ada kelereng yang dipakai. Seorang rekan menunjukkan kelereng tersebut yang mengenai helm yang ia pakai. Diduga, kelereng tersebut ditembakkan menggunakan ketapel.

9. Rusuh hingga Subuh tapi lebih terkontrol

Di Bawaslu Malam Itu, Kami Berburu Berita dan CeritaIDN Times/Isidorus Rio Turangga

Lewat dini hari, pada Kamis (23/5), banyak rekan wartawan memilih mundur ke area depan kantor Bawaslu. Selain sudah dihinggapi rasa lelah, beberapa di antara kami sepakat bahwa berita-berita yang kami laporkan tak jauh-jauh dari perkembangan waktu ke waktu terkait aksi lempar petasan dan tembakan gas air mata.

Pukul 04.00 WIB, saya, Ilyas, dan Arief sudah merapat bersama rekan-rekan wartawan lain di depan Bawaslu. Tampak beberapa Brimob yang berjaga di sana tengah santap sahur dan berganti shift jaga dengan rekan-rekan lainnya yang membuat barikade di Tanah Abang dan Jalan Sabang.

Sekitar pukul 04.10 WIB, suara tembakan gas air mata masih terdengar dari arah Tanah Abang, sementara beberapa Brimob yang berjaga di sekitar Jalan Sabang tak lagi membuat barikade namun masih menjaga wilayah tersebut dengan bersiaga di trotoar jalan. Massa juga tampak tak berani mendekat dan bertahan di area perempatan tersebut.

Sekitar tiga menit selepas azan Subuh berkumandang, kami bertiga memutuskan kembali ke kantor. Syukurnya, malam itu tak jadi malam mencekam seperti malam pertama lalu. Namun tetap, itu jadi pengalaman berharga bagi kami, wartawan generasi millennials, yang tidak pernah meliput kerusuhan.

Semoga, tak ada lagi kerusuhan di depan. Karena pada akhirnya, kita semua satu sebagai bangsa dan rakyat Indonesia.

Baca Juga: Dicurigai Bawa Bom, Wanita Bercadar Saat Aksi di Bawaslu Diamankan

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya