Situs Perjanjian Jatisari Bukti Keraton Surakarta Bukan Antek VOC

Lokasi pertemuan PB III dan Pangeran Mangkubumi (HB I)

Sukoharjo, IDN Times - Keraton Surakarta Hadiningrat mengadakan menemukan sejarah baru, yakni peristiwa pertemuan antara Susuhan Paku Buwono (PB) III bersama dengan Pangeran Mangkubumi atau Hamengku Buwana (HB) I Yogyakarta dan disaksikan oleh Nikolas Harting (perwakilan dari Belanda) di Jatisari, Desa Sapen, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Pertemuan sejarah di Jatisari sebagai awal mula terbentuknya Kasultanan Yogyakarta. Penulusuran sejarah tersebut didapat berdasar pada tulisan di Babad Giyanti.

Baca Juga: Lima Tahun Vakum, Keraton Solo Gelar Ulang Tahun ke 90 Pakasa

1. Jadi lokasi bersejarah

Situs Perjanjian Jatisari Bukti Keraton Surakarta Bukan Antek VOCDesa Jatisari, Mojolaban, Sukoharjo. IDNTimes/Larasati Rey

Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta sekaligus Putri PB XII, GKR Koes Moertiyah Wandansari (Gusti Moeng) mengaku selama dua tahun terakhir melakukan investigasi di Jatisari untuk menemukan titik lokasi pertemuan antara Susuhan PB III dengan Pangeran Mangkubumi (HB I).Gusti Moeng mengatakan berdasarkan investigasi, pertemuan di Jatisari tersebut diadakan beberapa hari setelah peristiwa Perjanjian Giyanti, yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi (HB) I dengan VOC Belanda.

Berdasarkan Babad Giyanti, menyebutkan pertemuan keduanya digelar di lokasi antara Keraton Surakarta dengan tempat Perjanjian Giyanti digelar yakni di Dukuh Kerten, Desa Jantiharo, Karanganyar. Dan lokasi tersebut ditemukan di Jatisari, Mojolaban, Sukoharjo.

"Saya mencari titik ini itu tidak satu dua bulan tapi dua tahun. Sejak awalnya Surakarta itu dituding sebagai antek e Londo (antek Belanda), nah ternyata kita bisa membuktikan bahwa Perjanjian Giyanti itu Paku Buwono ke III itu sama sekali tidak ada, terus setelah itu ada perjanjian Jatisari itu," jelasnya saat ditemui di Desan Saben, Jatisari, Sukoharjo, Senin (14/2/2022).

Dari penelusuran tersebut, memang ditemukan sebuah punden atau situs sejarah di Desa Saben, dan beberapa prasasti batu kotak, yang telah ditemukan berpindah dibeberapa tempat.

2. Luruskan sejarah dan tepis anggapan Keraton Solo antek VOC Belanda

Situs Perjanjian Jatisari Bukti Keraton Surakarta Bukan Antek VOCBatu persegi empat, jadi petilasan Perjanjian Jatisari. IDNTimes/Larasati Rey

Dalam temuannya, Gusti Moeng menegaskan inti dari penelusuran sejarah tersebut ingin membuktikan bahwa Susuhan PB III tidak ikut hadir atau menandatangi Perjanjian Giyanti. Dimana pada saat itu Pangeran Mangkubumi (HB I Yogyakarta) dan pihak VOC Belanda yang hadir dan melakukan penandatanganan Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1945.

Dimana inti dari Perjanjian Giyanti adalah Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana dengan sebagian wilayah Mataram yang dipinjamkan kepadanya secara turun menurun.

Lebih lanjut, Gusti Moeng penelurusan tersebut juga ingin menghapus stigma Keraton antek Londo (VOC Belanda) yang selama ini dituduhkan ke Keraton Surakarta.

"Saya bertahun-tahun selalu dituding-tuding bahwa mbah-mbah saya bahkan Bapak saya dituding sebagai pro Londo (VOC Belanda) terus kita telusuri ternyata sama sekali tidak. Jadi Londo kuwi jaluke Mangkubumi, iki lho Bapa Pamanmu kekono tanah lunguh (VOC Belanda itu memintakan Pangeran Mangkubumi, ini lho Bapa Pamanmu diberi wilayah kekuasaan) seperti Pangeran-Pangeran yang lain, terus diberi gaduhan atau diberi pinjam," jelasnya.

Dari peristiwa tersebut, Gusti Moeng menyimpulkan jika Keraton Surakarta sejak dulu tidak pernah bekerja sama dengan VOC Belanda.

3. PB III beri keris Kopek ke Pangeran Mangkubumi

Situs Perjanjian Jatisari Bukti Keraton Surakarta Bukan Antek VOCGusti Moeng melihat batu segiempat di Jatisari, Mojolaban. IDNTimes/Larasati Rey

Tulisan Babad Giyanti tersebut juga menyebutkan dalam pertemuan di Jatisari, Susuhan PB III memberikan satu bilah keris yang bernama keris Ki Kopek, kepada pamannya Pangeran Mangkubumi (HB I Yogyakarta) di Jatisari.

Dalam tradisi Jawa, pemberian keris Ki Kopek tersebut dimaknai dalam perspektif budaya Jawa sebagai sebuah upaya harmonisasi kedua belah pihak. Istilah 'Kopek' dalam bahasa Jawa adalah susu (persusuan), diberi kopek artinya disusoni.

Yang memiliki makna Keraton Yogyakarta yang baru saja lahir itu adalah sebuah kerajaan yang mengibu kepada induknya yakni Surakarta Hadiningrat. Hubungan keduanyan bukan musuh/saingan, melainkan layaknya ibu dan anak yang harus saling mengasihi dan menghormati satu sama lain.

Lebih lanjut, Gusti Moeng mengatakan hal pokok lain yang disampaikan dalam pertemuan di Jatisari tersebut yakni pihak Keraton Surakarta Hadiningrat memberikan masing-masing sebagian dari wilayah Kabupaten Nayaka yang dimilikinya kepada Kasultanan Yogyakarta sebagai wulu pametu (sumber pendapatan kerajaan).

Dimana Keraton Surakarta memiliki wilayah Kabupaten Nayaka di bagian Kedu dan Bagelen. Masing-masing wilayah tersebut ialah Kabupaten Nayaka Tumbak Anyar, Siti Sewu, Bumija, dan Bumi. Adapun yang diberikan kepada Yogyakarta adalah Kabupaten Nayaka Bumija dan Tumbak Anyar saja.

Menurut Gusti Moeng, penelurusan tersebut nantinya bisa dijadikan untuk meluruskan sejarah yang selama ini banyak dibelokkan, sehingga membuat seolah-olah antara Keraton Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta tidak harmonis.

"Intinya jangan sampai apa yang sudah dilakukan leluhur kita terutama untuk Yogyakarta itu pendiri Kasultanan itu terus menuduh yang tidak baik terhadap Surakarta yang membuat rancu dan kabur sejarah ini. Jadi itu yang perlu diluruskan," jelas Gusti Moeng.

Baca Juga: Sempat Ditunda, Upacara Adat Jumenengan Kraton Surakarta Tetap Digelar

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya