Pelayanan Publik dan Cita-cita Keadilan Dalam Sepotong Roti

Kualitas pelayanan publik erat dengan tingkat korupsi

Persoalan pemenuhan kebutuhan dasar, akses terhadap kebijakan publik hingga kebebasan berekspresi masih mewarnai dinamika masyarakat, termasuk di era pandemik COVID-19. Hal ini mengingatkan pada sebuah seruan "roti, kebebasan, keadilan sosial!" yang pernah bergema dari Tunisia hingga Mesir.

Baca Juga: Banjir Berhari-hari, Ombudsman Desak Pemkot Semarang Beri Ganti Rugi

1. Simbol kebutuhan dasar dan kebebasan

Pelayanan Publik dan Cita-cita Keadilan Dalam Sepotong RotiIlustrasi pelayanan publik. ANTARA FOTO/Feny Selly

Seruan ini mengungkapkan tuntutan pemenuhan aspek ekonomi, politik dan sosial. Roti adalah simbol kebutuhan dasar sebagai wajah aspek ekonomi. Jika roti tidak terpenuhi, berarti tingkat ekonomi merosot dan berisiko gejolak sosial.

Sedangkan kebebasan adalah aspek politik yang mencerminkan relasi antara negara dan masyarakat sipil. Shortcut dari kedua aspek ini adalah keadilan sosial, sekaligus jembatan pemenuhan tuntutan warga, memperbaiki kejahteraan rakyat.

Keadilan sosial dengan cita kesejahteraan umum dituliskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan berkait erat dengan tanggung jawab negara untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Negara harus hadir bagi warganya melalui pelayanan publik, tanpa terhalang kelangkaan ataupun kesulitan akses.

2. Pelayanan publik harus hadir untuk perwujudan keadilan sosial

Pelayanan Publik dan Cita-cita Keadilan Dalam Sepotong Roti(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Siswowidodo

Jika pelayanan publik tidak hadir, akan berimbas terhadap perwujudan keadilan sosial dan pemerintahan yang lahir dari proses demokrasi urung menghasilkan kemakmuran bersama.

Sementara kekuatan oligarkis bisa memanfaatkan krisis ini untuk menggerus legitimasi demokratik yang sudah memenangi pemilu. Di sinilah letak urgensi mengimbangi demokrasi representatif dengan mengedepankan demokrasi partisipatoris.

Sekaligus menjadi icebreaker untuk mencegah apa yang dikemukakan oleh Sorensen sebagai frozen democracy, demokrasi semu dan beku yang dibiayai cukong.

Melalui kerangka hukum pelayanan publik dalam UU/25/2009 tentang Pelayanan Publik dan UU/37/2008 tentang Ombudsman RI, partisipasi menempatkan rakyat sebagai poros dalam tatanan yang berkeadilan. Hal ini merupakan mandat reformasi yang mencitakan kesejahteraan melalui keadilan dan kepastian hukum sebagai implementasi demokrasi berbasis kewargaan.

3. Mungkinkah Demokrasi tanpa adanya Oligarki?

Pelayanan Publik dan Cita-cita Keadilan Dalam Sepotong RotiGoogle

George Lakey, aktivis “Occupy Wall Street” berpendapat tentang keniscayaan demokrasi tanpa oligarki, kesetaraan dalam bingkai keadilan, yaitu di Swedia. Negeri ini berhasil “memecat” 1% kaum oligarki, lalu menyusun masyarakat berkeadilan.

Mereka sadar, ketika kaum 1% masih berkuasa, demokrasi elektoral berada dalam kendali oligarkis, sehingga diperlukan aksi nyata mengubah kekuasaan dengan perjuangan kolektif memenangkan pemilu.

Demokrasi partisipatoris ini meniscayakan keberpihakan untuk mengentaskan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan dasar warga, dan menciptakan kesempatan kerja. Spontan, kita bisa berucap bahwa Swedia adalah negara kecil dan homogen. Tapi, ada hal yang relevan yaitu Swedia memperoleh kesejahteraan ini lewat perjuangan memenangkan pemilu yang menghadirkan perubahan.

4.Pelayanan publik yang baik datangkan kemakmuran bersama

Pelayanan Publik dan Cita-cita Keadilan Dalam Sepotong RotiIstimewa

Pelayanan publik yang baik akan memberikan akses kebutuhan dasar dan menghadirkan kemakmuran bersama. Sebuah rangkaian mata rantai untuk mengurangi tingkat kemiskinan, memperbaiki kesejahteraan, mempersempit kesenjangan. Pencapaian kedaulatan ekonomi akan meminimalisir oligarkis dan menjamin akses warga terhadap pelayanan publik.

Inilah jalan progresif yang lahir dari partisipasi, semangat progresif-partisipatif. Sekaligus menautkan ide negara kesejahteraan, hingga setara dengan tautan negara hukum dan demokrasi, di mana pelayanan publik tercermin dalam regulasi untuk kepentingan bersama.

Setelah melewati proses elektoral, demokrasi hendaknya menjadi substantif dengan bertumpu pada keadilan melalui pelayanan publik. Swedia menyelenggarakan pelayanan publik sangat kredibel, dengan skor tertingi di dunia (data Worldwide Governance Indicator).

5. Rendahnya kualitas pelayanan publik erat dengan tingginya korupsi dan maladministrasi

Pelayanan Publik dan Cita-cita Keadilan Dalam Sepotong RotiKepala Perwakilan Ombudsman Jawa Tengah Siti Farida, S.H., M.H.  

Swedia juga tempat lahirnya Ombudsman, lembaga negara yang mengawasi pelayanan publik dengan menekankan pentingnya pemerintahan yang terbebas dari maladministrasi dan korupsi. Rendahnya kualitas pelayanan publik terkait erat dengan tingginya korupsi dan maladministrasi. Saat ini, peringkat korupsi negeri kita berada di urutan bawah, 102 dari 180 negara dengan skor 37, mencerminkan carut-marutnya wajah pelayanan publik kita.

Pengawasan partisipatif, sebagai esensi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, akan mendorong demokrasi bergerak menuju terbentuknya pemerintahan yang bersih. Inilah prasyarat negara sejahtera, yang mencegah jebakan menjadi negara mahal, bahkan negara gagal. Negara dengan pelayanan publik yang mahal, berpotensi menjadi negara gagal.

Sebaliknya, negara yang bersih akan bertahan, karena terbebas dari rongrongan korupsi dan mampu melayani warganya. Pelayanan publik menjadi salah satu jawaban dari seruan “roti, kebebasan, dan keadilan sosial” sehingga ada “keadilan dalam sepotong roti”.

Artikel ini merupakan tulisan opini yang ditulis oleh Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Tengah Siti Farida, S.H., M.H.  

Baca Juga: Hasil Swab Molor, 20 Warga Laporkan Dinkes Jateng ke Ombudsman

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya