TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Psikolog: Suporter Bola dengan Identitas Kelompok Lebih Berbahaya

Bubarkan identitas kelompok suporter sepak bola

Suasana doa bersama untuk korban tragedi kerusuhan Stadion Kanjuruhan bersama pemain dan warga pada Senin (3/10/2022). (IDN Times/Gilang Pandutanaya)

Semarang, IDN Times - Tragedi kerusuhan suporter pasca pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) tidak hanya memakan korban meninggal dunia. Kejadian ini juga mencuri perhatian dunia dan mencoreng nama persepakbolaan Indonesia. 

1. Panitia pelaksana kurang jeli

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy berkunjung ke Stadion Kanjuruhan, Malang usai tragedi yang menelan lebih dari 130 korban jiwa. (dok. Kemenko PMK)

Psikolog Sosial Unika Soegijapranata Semarang, Dr Ferdinand Hindiarto mengatakan, ia sebagai warga masyarakat sangat sedih melihat kejadian di Stadion Kanjuruhan Malang tersebut. 

‘’Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi karena sepak bola diciptakan bukan untuk menghilangkan nyawa manusia,’’ ungkapnya saat dihubungi, Senin (3/10/2022). 

Dosen Fakultas Psikologi itu menilai ada tiga hal yang menyebabkan kerusuhan itu terjadi. Pertama, panitia pelaksana (panpel) pertandingan kurang jeli dalam melihat pengalaman kejadian sebelumnya. 

‘’Mengapa kurang jeli, karena kejadian serupa baru saja terjadi dua minggu lalu saat bonek Persebaya mengamuk di Sidoarjo. Perilaku suporter sebenarnya relatif bisa diprediksi karena mudah meniru,’’ ujarnya. 

Baca Juga: 8 Potret Aksi Solidaritas Suporter PSIS Semarang untuk Korban Tragedi Kanjuruhan

2. Kekuatan massa tidak terkendali

Pertandingan PSIS Semarang melawan Persikabo 1973 di laga pekan kesembilan BRI Liga 1 2022/2023 di Stadion Jatidiri Semarang, Jumat (9/9/2022). (Instagram/@psisofficial)

Menurut Rektor Unika Soegijapranata itu, pada kejadian tersebut aparat keamanan dalam posisi yang sangat sulit dan tidak dapat disalahkan. Mereka punya prosedur tetap, yang jika dibiarkan salah, ditangani juga salah. 

‘’Tahun 2019 saya memutuskan dengan Kapolres Magelang untuk memasukkan suporter saat pertandingan PSIS Semarang. Padahal, sebenarnya tidak boleh ada suporter. Jika waktu itu saya dengan kapolres ngotot tidak mengizinkan masuk, tidak tahu apa yang akan terjadi. Meskipun keputusan itu membuat kelompok suporter marah,’’ kata mantan General Manager PSIS Semarang itu.

Kedua, dalam perspektif psikologi sosial, kekuatan massa hampir selalu tidak terkendali. Namun, kekuatan massa tersebut akan semakin kuat saat masuk dalam kerangka sebuah identitas kelompok tertentu. 

3. Suporter dengan identitas kelompok tidak punya rasa takut

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Suporter PSIS Semarang memenuhi Stadion Jatidiri pada laga uji coba Liga 1 2022, Sabtu (28/5/2022). (dok. PSIS)

‘’Karena dengan identitas kelompok tertentu, maka identitas individu atau pribadi sepenuhnya hilang dan berubah menjadi identitas kelompok. Akhirnya, pribadi-pribadi yang berkelompok ini tidak punya rasa takut sedikitpun karena merasa terlindungi oleh identitas kelompok tadi,’’ ujarnya. 

Ferdinand menceritakan, sepakbola Indonesia di era tahun 1990-an pernah mengalami pertandingan dengan hampir 100 ribu penonton di Gelora Bung Karno saat final perserikatan dan itu terjadi berkali-kali. Namun, tidak pernah ada kejadian apapun. 

‘’Mengapa? Karena supporter datang ke stadion sendiri-sendiri, atas nama pribadi untuk menyaksikan pertandingan. Saat itu belum ada Bonek, Viking, The Jack, Aremania atau identitas kelompok yang lain,’’ jelasnya. 

4. Kejadian kerusuhan gambarkan karakter masyarakat Indonesia

Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang usai pertandingan Arema FC Vs Persebaya Surabaya. (IDN Times/Alfi Ramadana)

Kondisi tersebut berbeda dengan sekarang sebagaimana semua suporter berada dalam identitas kelompok. Sekarang, suporter datang ke stadion bukan dengan kaos tim yang dibela melainkan memakai kaos identitas kelompok. Dalam kondisi tersebut para ketua atau koordinator kelompok suporter sepak bola ini tidak bisa berbuat apa-apa.

‘’Tesis saya ini terbukti saat timnas Indonesia bermain dan kalah melawan Vietnam atau Thailand. Karena suporter timnas tidak dalam identitas kelompok tertentu, maka ketika timnas kalah juga tidak terjadi apa-apa. Mereka pulang sendiri-sendiri,’’ katanya yang juga pernah menjadi Direktur Bisnis PSIS Semarang itu. 

Ketiga, menurut dia, dari pengalaman tragedi Stadion Kanjuruhan, ada satu hal yang paling mengkhawatirkan, yaitu kejadian ini akan menggambarkan karakter sebagian masyarakat Indonesia. 

Baca Juga: Ditunda! 6.000 Tiket PSIS Semarang Vs Bhayangkara FC Sudah Terjual

Berita Terkini Lainnya