TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sejarah Kesultanan Surakarta: Perjanjian Belanda, Peralihan Kekuasaan

Pecahan yang di Yogyakarta gak, sih?

Keraton Solo. (IDN Times/Larasati Rey)

Sejarah kesultanan Surakarta menja di sejarah yang sulit dilupakan, khususnya saat melihat keraton Surakarta yang ada di Kota Solo, Jawa Tengah. Langsung saja, seperti ini penjelasan sejarah mengenai kesultanan Surakarta.

Baca Juga: Sejarah Kesultanan Kerajaan Demak, Terbesar di Indonesia, Jatuh 1554

1. Awal mula berdirinya Kesultanan Surakarta

Keraton Kasultanan Surakarta di Kota Solo. (IDN Times/Larasati Rey)

Sejarah kesultanan Surakarta berasal dari berbagai konflik panjang yang erat kaitannya dengan masalah di Kerajaan Mataram Islam. Pusat dari pemerintahan Kesultanan Mataram Islam yang awal terletak di Mentaok, kemudian setelah itu pindah ke Kotagede, yang ada di Yogyakarta.

Sedangkan pada tahun 1645 sampai tahun 1677 Masehi, saat masa kepemimpinan Amangkurat I berlangsung, pusat pemerintahan kerajaaan tersebut berpindah lagi ke Plered, Kabupaten Bantul. 

Akan tetapi, karena memang sering berpindah-pindah dan berbagai konflik yang terjadi, muncullah pemberontak yang menguasai Plered karena menganggapnya tidak layak jadi tempat pemerintahan. 

Oleh karena itu, Amangkurat II mendirikan kerajaan baru, tepatnya di Wonokarto dan mengganti nama menjadi Kartasura. Keraton baru yang tersebut dibangun dari tahun 1679 Masehi yang dikenal dengan nama Kasunanan Kartasura Hadiningrat. 

2. Konflik Kesultanan Surakarta dengan Mataram

Kawasan dalam Museum Keraton Kasunanan Surakarta. (IDN Times/Larasati Rey)

Pada sejarah kesultanan Surakarta juga terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh saudara tiri saudara tiri Pakubuwono II,  Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi menuntut tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang saat itu masih dipegang oleh Pakubuwono II.

Namun, menyikapi hal tersebut, sebelum meninggal, Pakubuwono II telah menunjuk Raden Mas Suryadi yaitu putranya untuk jadi putra mahkota. Kemudian, pada tanggal 15 Desember 1749, Raden Mas Suryadi dilantik menjadi raja oleh VOC.

Ia diwakili oleh Baron von Hohendorff, kemudian memiliki gelar Sri Susuhunan Pakubuwono III. Peristiwa tersebut terjadi sebelum ayahnya meninggal di tanggal 20 Desember 1749 Masehi. 

Pangeran Mangkubumi yang tidak terima dengan penobatan Raden Mas Suryadi lantas meninggalkan istana dan berniat menandingi Kasunanan Surakarta. Ia mendirikan pemerintahan sendiri yany ada di Yogyakarta dan bergabung bersama Raden Mas Said untuk membuat pemerintahannya berkembang pesat.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

3. Perjanjian Giyanti antara Mataram dengan Belanda

Pamflet pameran Sekaten 2019 yang memperlihatkan manuskrip Perjanjian Giyanti. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian yang dilakukan Belanda pada pada 13 Februari 1755. Perjanjian itu dilatarbelakangi oleh ketakutan Belanda terhadap perkembangan kerajaan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta. 

Perjanjian Giyanti berisi kesepakatan untuk pembagian wilayah Mataram sekaligus pemerintahan Surakarta Hadiningrat. Dalam perjanjian tersebut, menyatakan bahwa kesultanan Surakarta akan berada di bawah pimpinan Sri Susuhunan Pakubuwono III. Sedangkan, Kasultanan Ngayogyakarta ada di bawah pimpinan dari Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi kemudian berselisih dengan Raden Mas Said karena tidak setuju dengan keputusan tersebut. Dia juga melawan Sri Sultan Hamengku Buwono, sekaligus beroposisi dengan Pakubuwono III.

Menyikapi hal tersebut, Belanda kemudoan ikut campur dengan cara mengutus Nicholas Hartingh, yang saat itu merupakan pemimpin VOC di Semarang untuk mendamaikan keduanya. Setelah itu, lahirlah Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 Masehi, sebagai jalan tengah dari konflik sebelumnya. 

Tetapi sayangnya, secara geografis, kerajaan Surakarta tidak diuntungkan sama sekali dalam perjanjian tersebut. 

Baca Juga: Sejarah Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Jaya Diperintah Ratu Shima

Berita Terkini Lainnya