TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Batik SiPutri Semarang Setia Pada Alam Demi Fesyen Keberlanjutan 

Zaman dulu membatik juga pakai bahan dari alam

Perajin dan pemilik Batik SiPutri, Putri Merdekawati saat mengikuti pameran UMKM di Mal Tentrem Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Semarang, IDN Times - Hari Batik Nasional setiap tanggal 2 Oktober selalu menjadi pengingat bahwa Indonesia memiliki karya agung budaya lisan dan tak benda warisan nenek moyang yang mendapat pengakuan dunia melalui UNESCO. Namun, tidak sekadar untuk mengingatkan, warisan ini harus dilestarikan dalam arti sesungguhnya oleh masyarakat.

1. Memakai bahan dari alam dalam proses membatik

Yang selalu dekat dan lekat dengan batik tentu para perajin yang melahirkan lembaran kain dari proses membatik itu sendiri. Setiap perajin memiliki idealisme dan kreativitas sendiri dalam menciptakan lembaran kain batik.

Seperti perajin batik SiPutri, Putri Merdekawati yang setia memakai bahan-bahan dari alam dalam proses membatik. Berawal dari kesukaan terhadap batik dengan warna lembut, pengalaman masa kecil, dan kesadaran untuk menjaga lingkungan, Putri tergerak untuk merintis sebuah usaha batik yang menggunakan pewarna alami dari tumbuhan atau limbah organik.

Langkah perempuan berusia 43 tahun ini juga tidak lepas dari pakem batik itu sendiri yang sudah dilakukan oleh nenek moyang pada masa Kerajaan Majapahit atau sekitar awal abad ke-19 dalam membatik. Yakni, memakai bahan-bahan dari alam seperti tumbuhan, kayu-kayuan, buah, daun-daunan sebagai pewarna untuk membatik.

Baca Juga: Istri dan Pejabat di Jateng Bak Model Kenalkan Hidden Gem Batik Blora 

2. Kedepankan etika dengan memperhatikan lingkungan

Busana karya Batik SiPutri saat tampil di ajang Semarang Fashion Trend 2022. (dok. SFT2022)

Prinsip ini ia pegang sejak memulai usaha batik pada tahun 2017 hingga sekarang di Jalan Watusari RT 03 RW 06, Kelurahan Pakintelan, Kecamatan Gunung Pati, Semarang. Adapun, ini juga ia lakukan demi membuat produk fesyen yang mengedepankan etika dengan memperhatikan lingkungan dan manusia yang terlibat di dalamnya.

‘’Kami tetap berkomitmen menggunakan pewarna alam untuk batik karena itu salah satu value untuk melestarikan. Sebab, ini pusaka warisan bangsa kita,’’ ungkapnya kepada IDN Times, Jumat (30/9/2022).

Putri menuturkan saat ini perajin batik warna alam juga tidak banyak, seperti di Kota Semarang sendiri di Kampung Batik perajin yang menekuni tidak lebih dari lima orang. Hal ini karena tingkat kesulitan pembuatannya lebih tinggi.

3. Karya seni yang sarat filosofis

Ilustrasi membatik.(IDN Times/Anggun Puspitoningrum)
Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

‘’Karena kami pakai bahan dari alam ya. Ada rebusan daun ketapang, kayu mahoni, kayu tingi, kulit buah jalawe, kayu secang, kayu tegeran. Kemudian, dicampur dengan sedikit malam untuk proses membatik dan saat proses pencelupan warna alam hasilnya beda dengan pewarnaan kimia sintetis yang sekali celup warna keluar,’’ katanya.

Selanjutnya, penggunaan kain untuk membatik pun batik SiPutri juga hanya menggunakan kain yang tidak mengandung plastik atau polyester. Ia memakai kain serat alam, kain katun dari kapas yang langsung dipintal dan kain sutra.

Proses panjang dan penuh dengan ketelitian ini menghasilkan karya seni melalui lembaran kain batik dengan motif yang tidak pasaran dan penuh filosofis. Sebut saja motif Cakra Ulir yang terinspirasi dari senjata tokoh wayang Arjuna yang bermakna kekuatan dan kewibawaan.

Lalu, motif Tresnoku Ngoyot yang melambangkan perasaan cinta kasih yang mengakar hingga ke dalam terutama untuk mencintai diri sendiri sebagai pondasi sebelum mencintai orang lain. Selain itu, masih banyak motif lainnya seperti Semanggi, Semarang Baru, Dieng, Godhong Gedhang dan lainnya.

4. Kembangkan batik ecoprint

ilustrasi batik ecoprint (genpijogja.com/Dewangga Liem)

Selain kain batik dan fesyen dengan warna alam, kini Batik SiPutri juga mengembangkan produk ecoprint yang secara prinsip masih sejalan untuk mengedukasi masyarakat terhadap fesyen berkelanjutan.

‘’Seiring dengan tren dan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan, kami juga mulai memproduksi kain dan busana ecoprint. Proses pembuatan kain dengan cara mencetak dari aneka macam daun, bunga, batang pohon ini kemudian akrab disebut batik ecoprint karena dilakoni oleh para pembatik,’’ jelas Putri.

Dari teknis, waktu pembuatan mudah dan cepat, serta biaya juga lebih murah. Kemudian, tidak menggunakan bahan malam dalam proses pembuatan, bahan baku juga mudah dicari, prosesnya cuma membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Kendati demikian, batik ecoprint ini juga sebuah karya seni yang memiliki nilai.

Baca Juga: Tren Fesyen Semarang, Angkat Gaya Hidup Keberlanjutan dan Wastra Lokal

Berita Terkini Lainnya