Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Semarang, IDN Times - Mendung yang menggelayut di langit Kota Semarang tak menyurutkan Syukur Abdullah untuk mengerjakan pesanannya di Taman Borobudur, Manyaran, kawasan Semarang Barat.
Waktu terus bergerak. Mesin jahitnya berdetak dengan cepat. Hari semakin siang tapi orderan yang ia terima justru bertambah banyak.
"Saya setiap hari mangkal di sini. Jadinya udah biasa. Mau mendung, hujan atau panas, tetap garap orderannya di sekitar taman sini," kata pria paruh baya tersebut.
Baca Juga: Berapa Jumlah Kekayaan Bagyo Penjahit Rival Gibran? Ini Komentarnya
1. Para penjahit dari Bojong Pekalongan keliling Semarang naik motor
Para penjahit keliling asal Pekalongan saat menerima pesanan di Semarang. IDN Times/Fariz Fardianto Hampir saban hari ia melakoni pekerjaannya sebagai penjahit keliling di Kota Semarang. Ada dua rekannya yang setia menemaninya sebagai penjahit keliling.
Bila pagi tiba, ia sudah bergegas dari indekosnya untuk menuju ke Taman Borobudur. "Setiap hari saya naik motor. Keliling jalan-jalan di Semarang sudah lama sekali. Akhirnya mangkal di Manyaran soalnya dapat banyak pelanggan," akunya.
2. Hampir semua warga Sumur Jomblangbogo punya ilmu menjahit yang mumpuni
Seorang penjahit saat mempermak celana orderan dari pelanggannya. IDN Times/Fariz Fardianto Keahliannya menjahit baju tak sekonyong-konyong ia dapatkan begitu saja. Kampung halamannya yang terletak di Desa Sumur Jomblangbogo RT 14 RW IV, Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan, menjadi tempatnya menempa ilmu.
"Semua orang Pekalongan punya kemampuan menjahit baju. Di desa saya hampir semua orang juga kerjaannya menjahit," kata Syukur.
3. Puluhan penjahit asal Pekalongan kini menjamur di Semarang
Ilustrai karyawan yanv bekerja diperusahaan konveski. IDN Times/Dhana Kencana Sampai saat ini, Syukur bilang terdapat belasan bahkan puluhan penjahit dari Desa Bojong yang eksodus ke Ibukota Jateng. "Saya sudah delapan tahun di sini. Kalau teman-teman yang lain bisa sampai belasan tahun. Jumlahnya biasanya menyebar di pinggir jalan raya," tuturnya.
Dengan membawa mesin jahit di belakang motornya, ia membuka jasa permak jins, tambal sulam baju hingga menjahit baju anak sekolahan.
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
"Kalau sebelum pandemik, bisa sampai 40 baju sehari. Tapi kondisi seperti sekarang, palingan dapat orderannya 10 sampai 15 baju," urainya.
Baca Juga: Penjahit di Semarang Bikin Masker Khusus Untuk PRT Rentan COVID-19
4. Pak Sukiman setiap pakai mesin jahit warisan orang tuanya
unsplash.com/Clem Onojeghuo Sehelai baju atau celana yang ia permak, biasanya dibanderol dengan harga Rp8.000-Rp15.000. Baginya, harga itu tergolong sangat terjangkau ketimbang jasa penjahit lainnya.
"Ini situasinya pas sepi mas. Soalnya kan ada COVID, anak-anak sekolah diliburkan, jadinya sehari yang biasanya bisa diorder jahit bet seragam puluhan, sekarang gak ada yang ngorder. Ya pesanannya turun 60 persen lebih," sahut Sukiman, rekan sejawat Syukur.
Diakuinya selama ini masih setia memakai mesin jahit warisan orang tuanya. Meski kerap rusak, Sukiman masih bisa memperbaikinya.
"Ya mau gimana lagi. Tinggalan dari ibu saya cuma mesin ini. Harus pintar-pintar merawatnya biar gak gampang rusak," kata pria 45 tahun tersebut.
Dalam sehari ia bisa meraup penghasilan yang tak menentu. Namun begitu, ia tetap bangga. Dengan bermodalkan kemahiran menjahit segala jenis baju, paling tidak ia dan teman-temannya bisa mengangkat nama Desa Bojong sebagai pusatnya para penjahit andal.
"Semoga saja virus Corona segera mereda, Mas. Biar kita yang rutin keliling Semarang bisa dapat rezeki lebih banyak lagi," bebernya.
Baca Juga: Kemenperin Segera Luncurkan Clothing Line, Platform Digital Penjahit