TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Nestapa Warga Pesisir Semarang: Rela Gadaikan Sertifikat Rumah Biar Tidak Kebanjiran

Muncul rumah-rumah liliput di wilayah pesisir

Kondisi bangunan rumah yang benar-benar mengecil karena terus-menerus diuruk. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Semarang, IDN Times - Waktu masih pagi ketika Sumarsih duduk di beranda rumahnya. Sesekali ia menghela napas dalam-dalam sembari kedua matanya melihat beberapa tetangganya yang sibuk menguruk rumah. 

Di awal bulan Agustus 2022 dianggap menjadi waktu yang tepat bagi warga RT 01/RW XVI, Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Emas, Semarang Utara, Kota Semarang untuk mengebut kegiatan peninggian rumah. Sebab, menurut Sumarsih cuaca belakangan terlihat cerah. 

"Kemarin aja saya habis menguruk bagian belakang rumah. Kira-kira habis tanah satu dam. Soalnya kampung sini lokasinya depan belakang langsung berbatasan sama laut. Kalau tidak sering diuruk ya pasti kena rob," ujar ibu dua anak ini ketika ditemui IDN Times di rumahnya, Sabtu (6/8/2022). 

Baca Juga: Tak Melaut, Penuhi Kebutuhan Nelayan Tambaklorok Utang ke Bank Plecit

Kondisi topografis Kampung Tambakrejo berubah total

Sebuah jalan Kampung Tambakrejo yang terputus karena tergerus air laut. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Bagi Sumarsih, kondisi Kampung Tambakrejo kini benar-benar berubah total. Datangnya gelombang air pasang dari lautan setiap tahunnya semakin tak bisa diprediksi. 

Sumarsih mengingat sewaktu ia kecil dulu datangnya air pasang masih bisa diukur menggunakan perhitungan bulan. Misalnya musim hujan yang disertai limpasan air laut akan terjadi Oktober--Desember. Kemudian siklusnya akan berubah saat menginjak bulan Januari sampai April. 

"Cuacanya sekarang gak bisa ditebak. Banjir robnya juga makin besar. Lha wong dulunya itu setiap Agustus air lautnya surut. Tapi sekarang kalau sore semua rumah di Tambakrejo sering kebanjiran. Letak kampungnya menjadi berubah. Kondisi tanah di sini sudah terendam banjir. Kalau waktu saya kecil dulu jalan kampung bentuknya lurus, sekarang sudah menyerong 30 derajat," ujar wanita berusia 45 tahun tersebut. 

Sumarsih dan suami harus menabung Rp2 juta buat beli tanah uruk

Ilustrasi menabung (IDN Times/Arief Rahmat)

Akibat banjir yang terus-menerus menerjang kampungnya, rumahnya kini kian kerdil. Dari awalnya dibangun 15 tahun lalu setinggi empat meter, rumah yang ditempati Sumarsih tingginya tinggal 1,5 meter. 

Sumarsih tidak punya pilihan lain kecuali menguruk rumah agar tidak kebanjiran. Alhasil, saban tahun suaminya harus menyisihkan uang Rp2 juta sebagai modal untuk membeli tanah uruk. Bagian rumahnya yang kerap diuruk adalah dapur dan kamar tidur. 

"Setahun suami saya itu nyelengi (menabung) Rp2 juta biar bisa beli beli tanah uruk. Harga satu dam tanah uruk kan Rp550 ribu, biaya upah tukangnya Rp150 per hari. Ini lihat saja rumah saya tadinya 4 meter sekarang tingginya tinggal 1 meter. Soalnya 15 tahun tinggal di sini saya sudah menguruk tujuh kali," akunya.

Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang hanya umbar janji

Dari tampak depan terlihat rumah warga Tambakrejo yang mirip rumah liliput karena sering diuruk saban tahun. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Pengakuan serupa juga dilontarkan Slamet Riyadi, seorang warga Tambakrejo sekaligus Ketua RW XIII. Saat ditemui IDN Times, Slamet berkata beban hidupnya menjadi bertumpuk ketika banjir merendam kampungnya dengan kondisi sangat parah. 

"Kita sudah berusaha rembugan sama pak lurah dan pak camat tapi hasilnya selalu mentok. Dinas Pekerjaan Umum Semarang sejak lama menjanjikan peninggian jalan. Cuma ya sampai sekarang gak pernah ditepati. Padahal di kampung kita ini banjirnya semakin tinggi. Kondisi paling parah sejak 2020 kemarin sampai hari ini," ucap Slamet. 

Baca Juga: 3 Kampung Terdampak Banjir Rob di Semarang, Terparah di Tambaklorok

Kampung Tambakrejo jadi area terisolir

Salah satu rumah di Kampung Tambakrejo Semarang yang harus diuruk untuk menghindari terjangan banjir rob. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Slamet berkata, kampungnya yang terletak di ujung garis pantai Semarang memang kerap menjadi langganan rob. Limpasan air laut saban hari masuk ke kampungnya melalui sela-sela gorong-gorong maupun dari rembesan tanggul. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Jika diukur dari luasannya, Slamet memperkirakan ada 110 kepala keluarga yang tinggal di 150 rumah yang kerap terendam banjir. Lingkungan RW XIII Kampung Tambakrejo pun menjadi terisolir karena banjir rob yang semakin meluas. 

Menurut Slamet, agar anak-anak bisa berangkat ke sekolah yang letaknya di Kampung Kemijen, mereka terpaksa menerobos genangan banjir sampai ke bawah lorong flyover (jalan layang) Arteri Yos Sudarso. Ketika Siang, banjir di bawah flyover merendam setinggi 30 sentimeter. Namun saat Sore sampai Malam naik menjadi 70 sentimeter. 

Warga Tambakrejo nekat gadaikan sertifikat rumahnya

Sejumlah tukang bangunan saat sibuk meninggikan pondasi rumah warga di Kampung Tambakrejo Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto (

Bagi warga Tambakrejo yang mana 70 persen menggantungkan pekerjaan sebagai nelayan memilih menggadaikan sertifikat rumahnya agar mendapatkan modal untuk biaya menguruk rumah. 

Biasanya mereka mendapat pinjaman dari bank bervariasi. Ada yang dapat pinjaman Rp50 juta, Rp70 juta, Rp100 juta sampai Rp200 juta.

"Untungnya semua rumah di sini punya sertifikat hak milik (HM). Jadi orang bank mau meminjami uang berapa pun jumlahnya pasti mau. Kalau mau dicek, warga itu rutin dapatnya lima puluh juta sampai ratusan juta," katanya. 

Ia menambahkan, "karena kondisi tersebut, warga kita yang mayoritas kerjanya sebagai nelayan seringnya menggadaikan sertifikat rumah biar dapat tambahan uang. Lalu uang pinjaman dari bank itu sebagian ditabung, sebagian lagi dipakai buat menguruk rumah. Jadi kebanyakan kegiatan warga termasuk saya ya kerja buat kebutuhan hidup dan bayar utangan bank, kalau cicilannya sudah lunas, sertifikat rumahnya digadaikan lagi. Begitu terus setiap tahunnya."

Warga patungan untuk meninggikan jalan kampung

Dok. IDN Times

Slamet juga memutuskan memakai uang insentifnya sebagai Ketua RW sebesar Rp650 ribu dari Pemkot Semarang, untuk membeli tanah sehingga jalan kampunya bisa diuruk. Pasalnya, jalan tersebut masih kerap banjir dan tenggelam.

"Karena Pemkot (Semarang) tidak segera merealisasikan dana bantuannya, jadinya kita swadaya beli tanah buat meninggikan jalan kampung. Uang saya Rp650 ribu juga saya pakai buat biaya beli tanah. Terus warga yang punya sisa uang urunan Rp100 ribu. Kita harapannya Pak Wali Kota Semarang (Hendrar Prihadi) segera berikan bantuan, tolonglah karena kalau dibiarkan begini terus kampung kita lama-lama tenggelam," keluhnya. 

Baca Juga: Perempuan-Perempuan Tangguh dari Kampung Bandeng Tambakrejo Semarang 

Berita Terkini Lainnya