TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Urip Dioyak-Oyak Banyu, Kisah Warga Pesisir Demak di Tengah Krisis Lingkungan

Para peneliti perempuan ungkap pengalaman warga terdampak

Banjir Rob Demak (IDN Times/Dhana Kencana)

Semarang, IDN Times - Perjumpaan dengan jembatan pedot (red: putus) di Desa Sriwulan menjadi titik mula dari cerita-cerita warga pesisir yang terdampak krisis lingkungan di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.

Seperti kisah Patlikur (bukan nama sebenarnya, red), warga Dukuh, Desa Bedono yang berkisah bahwa dahulu Sungai Guyuran sangat dangkal karena ketinggian air hanya semata kaki orang dewasa. Namun, kini sudah berubah menjadi lautan, sehingga warga sudah susah memancing dan mencari ikan di sana.

Kemudian, Telungpuluhlimo (bukan nama sebenarnya, red), juga punya cerita tentang jembatan pedot. Warga Terboyo Wetan, Kecamatan Genuk, Kota Semarang itu memiliki kebiasaan memancing untuk mencari lauk makan bagi keluarganya. Menurut dia, zaman dulu dengan sekarang berbeda.

 

Baca Juga: Waspada! Pesisir Jateng Dilanda Banjir Seminggu, Puncak Rob Siang Hari

1. Hidup warga pesisir berubah karena abrasi air laut

Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Mila Karmilah bersama peneliti perempuan lainnya meluncurkan buku 'Urip Dioyak-Oyak Banyu' di aula Fakultas Teknik Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Senin (17/8/2023). (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Jika ingin memancing di Desa Tonosari, pada tahun 1990-an untuk mencapai jembatan pedot ia cukup berjalan kaki atau naik sepeda persis ke arah timur laut sejauh kurang lebih empat kilometer melewati jalan kampung di Kelurahan Trimulyo (Kota Semarang) dan Dukuh Nyangkringan (Kabupaten Demak).

Kini, Telungpuluhlimo harus memutar jauh dan harus berkendara dari rumahnya melewati Jalan Raya Semarang–Demak sejauh kurang lebih 10 kilometer ke tempat ia mencari ikan, udang dan kepiting.

Tidak hanya Patlikur dan Telungpuluhlimo, pengalaman itu juga dialami ribuan warga lain yang sama-sama mengalami perubahan kehidupan dan penghidupan di ujung utara Kecamatan Sayung. Abrasi telah membuat warga Sayung terpaksa pindah mulai tahun 1999–2007. Bahkan, pada periode tahun itu banyak warga Tambaksari dan Rejosari kehilangan sawah, tambak, dan rumah.

Perubahan demi perubahan akibat abrasi masih terus berlangsung sampai saat ini. Bahkan makin merembet ke arah timur laut, timur, tenggara, hingga selatan Sayung seperti di Dukuh Mondoliko yang semakin tenggelam, demikian juga Desa Timbulsloko.

2. Observasi lapangan selama 1,5 tahun

IDN Times/Dhana Kencana

Selain itu, rob juga menerjang desa yang belum tenggelam seperti Purwosari, Sidogemah, hingga Gemulak yang merupakan lokasi baru warga Bedono yang migrasi karena abrasi.

Cerita-cerita itu terungkap dalam buku berjudul ‘Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob dan Infrastruktur di Sayung’. Buku itu ditulis sejumlah peneliti perempuan di antaranya Mila Karmilah, Eka Handriana, Syarifah Atia dan Umdatin Nihayah.

Para penulis dan peneliti ini sangat konsen dengan wilayah pesisir Jawa Tengah terutama Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Setelah menyusun dan observasi di lapangan selama kurang lebih 1,5 tahun, mereka melakukan sof launching di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Senin (17/7/2023).

Salah satu penulis, Mila Karmilah mengatakan, buku yang ditulisnya itu memang secara garis besar hendak menceritakan pengalaman hidup warga Sayung, Demak yang mengalami perubahan atau transisi karena terdampak krisis lingkungan seperti abrasi, banjir, rob.

3. Terimbas proyek pembangunan infrastruktur nasional

Warga setempat melintasi pilar baja tulangan beton konstruksi proyek jalan tol Semarang-Demak, 8 November 2021. Material baja tulangan beton tersebut merupakan produk dari PT Bhirawa Steel, cucu perusahaan PT Hutama Karya (Persero) yang memiliki pabrik di Surabaya (IDN Times/Dhana Kencana)

‘’Bahkan, mereka juga terimbas proyek pembangunan infrastruktur nasional yang sedang berjalan,’’ ujar dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Unissula itu.

Sehingga, mereka memutuskan memakai ungkapan ‘Urip Dioyak-Oyak Banyu’ yang artinya hidup dikejar-kejar air sebagai judul buku. Sebab, memang benar-benar menggambarkan kehidupan dan penghidupan penduduk Sayung yang saat ini tengah berjuang serta bertahan hidup dengan meninggikan rumah atau pindah tempat tinggal karena air laut mengepung mereka.

Ada 34 warga yang direkam pengalamannya oleh para penulis. Kisah-kisah mereka terangkum dalam lima bab pada buku setebal 174 halaman itu. Pada bagian pertama, “Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang” menceritakan aneka bentuk perjumpaan yang mengubah sawah menjadi tambak.

Bagian kedua, “Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles” mengisahkan tentang perjumpaan orang-orang pesisir Sayung dengan rob.

Baca Juga: Penanganan Banjir Rob di Tambak Lorok Semarang Terkendala Pembebasan Lahan

Berita Terkini Lainnya