Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Semarang, IDN Times - Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak negara-negara ASEAN untuk mempercepat transisi dari energi fosil, terutama batubara, menuju energi terbarukan. Langkah itu dianggap penting untuk melindungi perekonomian kawasan dari guncangan akibat ketergantungan impor energi fosil dan mencapai target pembatasan kenaikan suhu Global 1,5 derajat Celsius.
1. CCS dan CCUS belum efektif
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengkritik rekomendasi terbaru ASEAN Centre for Energy (ACE) yang masih mempertahankan batubara sebagai sumber energi penting dengan penggunaan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).
Menurutnya, teknologi tersebut belum terbukti efektif dan justru dapat menghambat pengembangan energi terbarukan yang lebih murah dan rendah risiko.
"Mempertahankan PLTU batubara akan menjebak negara-negara ASEAN dalam siklus karbon jangka panjang, meningkatkan emisi, dan berpotensi menciptakan aset mangkrak," ujar Fabby.
Baca Juga: 4 Cara yang Bisa Kamu Lakukan untuk Mengurangi Polusi Udara
2. Mengancam komitmen ASEAN
Manajer Riset IESR, Raditya Wiranegara ikut menekankan pentingnya ASEAN mengejar target bauran energi terbarukan sebesar 57 persen pada tahun 2030 dan 90--100 persen pada 2050. Ia memperingatkan bahwa ketergantungan pada batubara dapat mengaburkan komitmen ASEAN terhadap Persetujuan Paris dan mengurangi minat investasi dalam pengembangan energi terbarukan.
Menurutnya, ASEAN memiliki potensi energi terbarukan sekitar 17 Terawatt (TW), yang dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan energi kawasan jika dikembangkan secara konsisten.
Pengembangan energi terbarukan juga dapat membuka peluang investasi, meningkatkan daya saing, dan menurunkan biaya produksi listrik.