TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ekonomi Tumbuh, Emisi Berkurang: Jalan Asia Tenggara Menuju 2050

Peluang emas dari transisi energi dan NZE

ilustrasi energi terbarukan (Pixabay.com/Ed White)

Intinya Sih...

  • Asia Tenggara proyeksi menjadi kawasan ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2050.
  • Potensi energi terbarukan hingga 17 TW di Asia Tenggara, perlu kerja sama regional dan ASEAN Power Grid.
  • Harga modul surya turun 66 persen dalam lima tahun, membuka peluang besar bagi pengembangan energi terbarukan di Asia Tenggara.

Semarang, IDN Times - Asia Tenggara diproyeksikan akan menjadi kawasan ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2050. Dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, permintaan energi di kawasan ini juga diperkirakan melonjak. Untuk memastikan pertumbuhan tersebut tetap sejalan dengan penurunan emisi karbon, transisi energi ke sumber energi terbarukan dan efisiensi energi menjadi kunci penting.

1. Peran strategis ASEAN dalam transisi energi

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti potensi besar energi terbarukan di Asia Tenggara, dengan kapasitas hingga 17 terawatt (TW). Pemanfaatan potensi ini dianggap sebagai langkah penting untuk mencapai Nol Emisi Bersih atau Net Zero Emissions (NZE) di sektor kelistrikan pada tahun 2050. IESR mengusulkan perlunya kerja sama regional yang kuat, penerapan model iklim yang inovatif, dan kebijakan yang efektif untuk memaksimalkan potensi tersebut.

Manajer Diplomasi Iklim dan Energi di IESR, Arief Rosadi menyatakan, perencanaan energi regional perlu mencerminkan target ambisius dalam meningkatkan penggunaan energi terbarukan.

“ASEAN Power Grid (APG) dapat dioptimalkan untuk meningkatkan ketahanan energi kawasan sekaligus mendorong penggunaan energi terbarukan,” kata Arief dalam Lokakarya Menuju ASEAN Summit, Rabu (18/9/2024) sebagaimana keterangan resmi yang diterima IDN Times.

Ia juga menekankan pentingnya mengintegrasikan transisi energi dalam Visi ASEAN Pasca 2025 sebagai upaya mengatasi perubahan iklim.

Tanpa peta jalan yang jelas, Asia Tenggara berisiko terjebak dalam ketergantungan pada energi berbasis karbon. Sebuah studi oleh NTU Singapura dan Universitas Glasgow memperkirakan bahwa ketergantungan ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi kawasan hingga 35 persen pada 2050.

Baca Juga: Transisi Energi Penting Melibatkan Masyarakat dan Aksi Kecil Bermakna

2. Potensi sumber daya mineral Asia Tenggara

Solar panel di pabrik Daihatsu Karawang (ADM)

Selain potensi energi terbarukan, Asia Tenggara juga memiliki sumber daya mineral kritis yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan energi terbarukan. Arief menyebutkan bahwa kawasan tersebut menyimpan 27 persen cadangan nikel, 32 persen timah, 36 persen unsur tanah jarang, dan 22 persen bauksit dari total cadangan global.

“Keberadaan sumber daya mineral ini dapat memicu investasi besar di sektor manufaktur panel surya dan baterai, serta memperkuat kerja sama energi di kawasan yang dapat memberikan nilai tambah ekonomi,” jelas Arief.

3. Penurunan harga teknologi energi terbarukan

Sementara itu, Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan di IESR, Alvin P. Sisdwinugraha menyoroti penurunan harga teknologi energi terbarukan, seperti modul surya, sebagai peluang besar bagi kawasan. Ia mencatat bahwa harga modul surya telah turun hingga 66 persen dalam lima tahun terakhir yang menjadikan energi surya makin kompetitif di Asia Tenggara.

“Produksi modul surya di Asia Tenggara kini semakin kompetitif. Oleh karena itu, diperlukan insentif untuk industri agar dapat mendukung pengembangan sektor ini, seperti yang telah diterapkan di Malaysia dan India,” ujarnya.

Alvin menyebutkan, kesepakatan kerjasama ekspor listrik antara Indonesia dan Singapura menjadi salah satu langkah penting menuju realisasi ASEAN Power Grid. Kerjasama itu mensyaratkan pembangunan rantai pasok energi surya di Indonesia, yang juga membuka peluang besar bagi penciptaan lapangan kerja hijau di sektor manufaktur modul surya.

“Kerjasama antara institusi pendidikan dan riset dengan industri sangat penting untuk meningkatkan kapasitas tenaga kerja dan memastikan transfer teknologi kepada produsen lokal,” tambah Alvin.

Berita Terkini Lainnya