TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Awalnya Dicurigai, Kisah Elisabeth Philip Bangkitkan Ekonomi Warga

Entaskan kemiskinan di Desa Tlogoweru Demak dan Dirikan SMK

Elisabet Philip, perempuan tuna netra yang mendermakan hidupnya untuk kegiatan sosial. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Semarang, IDN Times - Desa Tlogoweru di Kecamatan Guntur Kabupaten Demak merupakan desa wisata yang terkenal dengan budidaya burung hantu jenis Tyto Alba. Desa itu juga tersohor karena mengundang tamu datang dari segala penjuru Indonesia dan luar negeri.

Mereka datang untuk belajar beternak burung hantu Tyto Alba yang bermanfaat sebagai predator pengusir hama tikus di persawahan warga. Cikal bakal Desa Tlogoweru sebagai daerah penangkaran burung hantu itu bermula dari kedatangan Elisabeth Philip.

Baca Juga: Solo Murup, Gerakan Millennial Bantu Pasien COVID-19 Isoman, Keren!

1. Elisabeth Philip perempuan penggerak Desa Tlogoweru Demak

Desa Tlogoweru Kecamatan Guntur Kabupaten Demak. (dok. demakkab.go.id)

Perempuan asal Kota Semarang itu datang ke Desa Tlogoweru pada tahun 2007. Meski memiliki keterbatasan fisik --tidak bisa melihat-- Elis --begitu perempuan itu akrab disapa-- tergerak hatinya untuk mengentaskan kemiskinan di desa tersebut.

‘’Sudah sejak tahun 1960, Desa Tlogoweru berstatus sebagai desa tertinggal. Saat saya datang ke sana kondisinya sangat memprihatinkan. Terpencil, akses jalan rusak, dan lahan pertaniannya kering tidak pernah panen. Saya tergerak karena rasa belas kasihan yang Tuhan taruh di hati saya,’’ ungkapnya saat ditemui, Kamis (26/8/2021). 

Niat Elis membantu untuk membangkitkan desa yang tertinggal itu menjadi desa sejahtera tentu tidak mudah. Masyarakat bahkan kepala desa saat itu menaruh rasa curiga padanya. 

2. Bangun BLK untuk pendidikan dan pelatihan warga

Desa Tlogoweru Kecamatan Guntur Kabupaten Demak. (dok. demakkab.go.id)

‘’Saat masuk di Tlogoweru pertama kali saya dicurigai karena mereka melihat kulit saya dan nama saya. Mereka tahu saya ini keturunan Tionghoa dan beragama Kristen. Saya ditolak karena warga desa mayoritas muslim. Namun, saya menjawab keraguan mereka dengan satu kepastian. Saya bilang saya datang untuk mengentaskan kemiskinan dan tidak ingin mengkristenkan mereka,’’ kata perempuan berusia 61 tahun itu.

Dengan segala pemikiran serta tenaganya, Elis mendidik dan melatih warga desa dengan keterampilan seperti menjahit, tata rias, komputer, beternak lele, sapi, hingga burung hantu dan bertani. Namun, upaya itu sempat terkendala karena Desa Tlogoweru belum memiliki tempat untuk pelatihan warga. Balai desa pun tidak memenuhi syarat sebagai tempat untuk belajar. Akhirnya pada tahun 2011, setelah bernegosiasi dengan lurah setempat ia membangun Balai Latihan Kerja (BLK) Sejahtera Bersama di desa tersebut. Seluruh perhatian dan pelatihan yang diberikan kepada warga di sana gratis. 

3. Gagas peternakan burung hantu Tyto Alba di Tlogoweru

Budidaya burung hantu Tyto Alba di Desa Tlogoweru, Guntur, Kabupaten Demak. (Instagram/@wisata.tlogoweru)

Seiring berjalan waktu Desa Tlogoweru semakin berdaya, Elis yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga itu juga melahirkan kelompok batik Tyto Alba yang beranggotakan warga perempuan di sana. Mereka membatik di sela bekerja sebagai buruh tani. Adapun, ciri khas motif batik dari Desa Tlogoweru adalah burung hantu. Kain-kain batik hasil karya warga itu kini tidak hanya dipasarkan di wilayah Demak tapi sudah sampai Jawa Timur. Per lembar kain batik dijual seharga Rp 100 ribu--Rp 1 juta tergantung bahan dan motif yang dibuat. 

Usaha Elis membangkitkan perekonomian warga tidak hanya sampai disitu. Desa Tlogoweru yang tidak bisa dipisahkan dengan ikon burung hantu itu pun memiliki cerita tersendiri. Setelah mampu membenahi sektor pertanian yang tak berkembang melalui pembangunan 1.000 sumur pantek untuk sarana masuknya air dari dalam tanah, hama tikus datang mengganggu area sawarh. Elis pun menggagas agar warga beternak burung hantu agar bisa dimanfaatkan sebagai predator pengusir hama tikus. Kini desa yang dulu tertinggal itu sekarang menjadi desa percontohan nasional.

‘’Sejak saat itu Tlogoweru banyak dikunjungi orang-orang dari luar daerah untuk belajar. Kenapa desa yang dulu miskin tertinggal menjadi makmur. Itu alasan mereka datang untuk mencari tahu dan belajar. Bahkan, pada waktu itu ada orang dari Kalimantan datang nyarter pesawat untuk belajar di sana. Hingga Pak Lurah dan Carik atau Sekretaris Desa dapat penghargaan dari negara,’’ jelas istri dari Jimmy Philip. 

Baca Juga: Strategi Radio Idola Semarang Agar Lebih Asyik, Dilirik Millennial 

4. Bangun SMK Bagimu Negeriku untuk anak-anak tidak mampu

SMK Bagimu Negeriku di Jalan Palir Raya No 66--68 Podorejo, Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang. (dok. SMK Bagimu Negeriku)

Elisabeth memang tuna netra, tapi keterbatasan itu tidak menghalanginya untuk berkarya, aktif berkegiatan sosial, dan mendermakan dirinya sebagai saluran berkat bagi orang lain. Semua itu karena pengalaman dan pelajaran hidup yang dialaminya. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

‘’Waktu kecil saya pengen sekolah, tapi tidak bisa bayar. Untuk sekolah, orang tua saya harus jual pakaian bekas. Maka, waktu itu saya bermimpi kalau saya bisa menghasilkan uang saya ingin sekali memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak,’’ tutur perempuan kelahiran Semarang pada 30 Agustus 1960 itu.

Mimpi itu diwujudkannya dengan membangun SMK Bagimu Negeriku di Jalan Palir Raya No 66--68 Podorejo, Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang. Elis mendirikan sekolah itu karena tangisan anak bangsa. Para siswa yang sekolah di sana dari kalangan tidak mampu tapi memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Mereka tidak hanya berasal dari Kota Semarang, tapi juga dari luar Jawa. 

5. Subsidi penuh biaya sekolah siswa dari Luar Jawa

Siswa-siswa SMK Bagimu Negeriku di Jalan Palir Raya No 66--68 Podorejo, Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang. (dok. SMK Bagimu Negeriku)

‘’Saat itu saya berkunjung ke pedalaman Sintang, banyak anak-anak yang tidak punya pengharapan di sana. Kemudian, ada dari mereka yang bertanya pada saya. Bu, apa yang bisa sekolah itu orang kota dan orang kaya, bagaimana nasib kami di tengah hutan? Dari situ saya tergerak dan dalam hati saya berucap, kalau Tuhan berkati saya mau mendirikan sebuah sekolah yang memberi kesempatan kepada orang pedalaman agar bisa menuntut ilmu,’’ katanya. 

Mimpi itu terkabul dan terbukti, mantan guru taman kanak-kanak (TK) itu bisa memberikan tempat serta kesempatan kepada anak-anak tidak mampu dari 28 provinsi di Indonesia sekolah di SMK Bagimu Negeri yang dibuka pada tahun 2011. Anak-anak dari pedalaman datang dengan kondisi seadanya, bahkan ada yang tidak memakai celana dan pakaian dalam, serta berkutu rambutnya. 

Mereka mengenyam pendidikan di sekolah asrama tersebut. Bagi siswa yang dari luar Jawa, mereka mendapatkan subsidi penuh untuk biaya sekolah. Anak-anak itu belajar di lima jurusan yang tersedia di SMK Bagimu Negeriku, yaitu Teknik Konstruksi Batu dan Beton, Jasa Boga, Multimedia, Teknik Kendaraan Ringan, dan Rekayasa Perangkat Lunak.

6. Didik siswa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain

Siswa-siswa SMK Bagimu Negeriku di Jalan Palir Raya No 66--68 Podorejo, Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang. (dok. SMK Bagimu Negeriku)

‘’Selain belajar secara akademisi, saya punya prinsip dan mengajarkan kepada mereka hidup jangan hanya bergengsi dan berdasi tapi juga berfungsi. Harus berguna buat orang lain. Kepada mereka juga saya berpesan jadi orang harus punya tiga AK, yaitu otak, watak, dan dampak. Punya otak yang cerdas, punya watak berkarakter, dan dampak hidupnya berdampak bagi orang lain. Sebab, saya cuma ingin anak-anak bangsa ini menjadi berkat bagi dunia,’’ ujarnya. 

Elis bersyukur dalam usaha memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak tersebut banyak tangan-tangan penuh kasih yang mengulurkan bantuan. ‘’Kalau saya jujur saya hanya mengandalkan doa. Saya memulai membangun sekolah ini dengan uang Rp 10 juta. Pelan-pelan pada waktu itu bersama suami kami bangun, berkat Tuhan dana bantuan mengalir seperti air sungai,’’ tuturnya.

Kepedulian Elisabeth pada sesama ini bukan terjadi tanpa alasan. Perempuan yang juga berprofesi sebagai pemuka agama itu pernah melalui masa kecil yang kelam. Anak ketiga dari enam bersaudara ini sempat ditolak orang tuanya karena dianggap tidak membawa keberuntungan. Sebelum menikah dengan Jimmy Philip pada tahun 1983 ia pernah mengalami kecelakaan di usia 21 tahun. Lalu, 11 tahun kemudian ia mengalami kehilangan penglihatan hingga sekarang. 

Baca Juga: Transpuan di Semarang, Saat Pandemik Alih Profesi dan Tak Dapat Bansos

Berita Terkini Lainnya