Transpuan di Semarang, Saat Pandemik Alih Profesi dan Tak Dapat Bansos

Mereka kerap terima pelecehan seksual

Semarang, IDN Times - Imbas pandemik COVID-19 dirasakan hampir oleh semua lapisan masyarakat, tak terkecuali bagi kelompok perempuan transgender (transpuan) di Kota Semarang. Kehidupan mereka berbalik 180 derajat, tidak hanya makin terhimpit secara ekonomi karena kehilangan pekerjaan, tapi juga minim akses mendapat bantuan sosial (bansos).

1. Transpuan dari bekerja di salon beralih jadi pekerja seks komersial

Transpuan di Semarang, Saat Pandemik Alih Profesi dan Tak Dapat Bansos(Ilustrasi pegawai salon di era pandemik) www.instagram.com/@rudyhadisuwarno.school

Seperti yang dialami salah satu transpuan di Ibu Kota Jawa Tengah, Ria Ardana (36 tahun). Sebelum gelombang pandemik datang, sehari-hari Ria menggantungkan hidupnya dengan bekerja di salon sebagai perias wajah. Namun, saat pandemik menerjang dia mendadak kehilangan pekerjaan. 

‘’Dulu sebelum pandemik saya bekerja di salon yang berlokasi di lokalisasi Sunan Kuning. Namun karena ada COVID-19, salon menjadi sepi. Pelanggan jadi takut datang ke salon, selain itu dana mereka juga mepet kalau mau nyalon,’’ tuturnya saat ditemui secara virtual, Jumat (26/2/2021). 

Kondisi itu berdampak pada penghasilan Ria. Jika biasanya sebulan dia bisa mengantongi sekitar Rp 4 juta - Rp 5 juta dari bekerja di salon dan menyanyi, saat pandemik pendapatannya turun drastis menjadi Rp 300 ribu per bulan. 

2. Himpitan ekonomi saat pandemik jadi alasan untuk beralih profesi

Transpuan di Semarang, Saat Pandemik Alih Profesi dan Tak Dapat Bansospixabay.com/John Hain

Akhirnya demi bertahan hidup, Ria banting setir beralih pekerjaan menjadi pekerja seks secara online. ‘’Gara-gara pandemik, ya akhirnya saya ‘nyambi’ menjajakan diri. Namun, itu pun tidak dengan cara mangkal di jalanan, tapi secara online. Sebab, kalau mangkal nanti takut kena razia atau premanisme,’’ ungkapnya.

Jalan itu terpaksa dilalui Ria karena himpitan ekonomi di masa pandemik. Sebab, hanya cara itu yang bisa dilakukan, karena pekerjaan lain tidak bisa menjanjikan.

‘’Lha kita mau kerja di sektor formal seperti kerja kantoran saja tidak diterima. Misalkan mau kerja pabrik, di sana kita dipaksa harus menjadi laki-laki, hai itu tentu saja membuat tidak nyaman dan tidak bisa mengekspresikan diri,’’ ujar transpuan yang mengenyam pendidikan hingga jenjang SMA itu.

Baca Juga: Ternyata 5 Artis Korea Selatan ini Transgender, Ada Harisu

3. Masih banyak transpuan tidak terima bansos karena tidak memiliki KTP

Transpuan di Semarang, Saat Pandemik Alih Profesi dan Tak Dapat BansosIlustrasi Bantuan Sosial. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Kendati demikian, Ria masih beruntung dengan kondisi ekonomi yang dialaminya saat pandemik ini dia masih mendapatkan bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Sebanyak dua kali dia menerima bansos sembako, karena dia ber-KTP Kota Semarang.

Namun, keberuntungan itu tidak dirasakan oleh teman-teman transpuan lain yang berdomisili di Semarang, tapi tidak memiliki KTP Kota Semarang. Mereka sudah terhimpit ekonomi, tetap tidak mendapat bansos.

‘’Jadi masalah jenis kelamin memang tidak menjadi masalah asalkan kita ber-KTP Semarang. Namun, sayangnya banyak transpuan yang tinggal di Semarang ini banyak yang dari luar kota, dan mereka rata-rata tidak punya KTP. Hal itu karena mereka diusir dari rumah oleh keluarganya, bahkan ada yang pergi dari rumah sejak usia anak-anak. Sekarang mau urus KTP gimana dong kalau dari keluarganya tidak mengakui status mereka,’’ jelas Ria yang menjabat sebagai bagian Legal di Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Jateng.

4. Transpuan kerap terima pelecehan seksual saat bekerja

Transpuan di Semarang, Saat Pandemik Alih Profesi dan Tak Dapat BansosIlustrasi Pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

Melalui OPSI, komunitas yang menaungi minoritas gender itu dan Persatuan Waria Semarang Satu Hati (Pewaris) akhirnya berkoordinasi mengusahakan bansos bagi para transpuan yang terimbas pandemik COVID-19. Bahkan, bagi anggota Pewaris dengan kondisi ekonomi mampu turut menghibahkan bansos kepada transpuan yang tidak mampu.

Community Based Monitoring Officer OPSI Jateng, Amanda Aulia Cindy mengatakan, kelompok transpuan memiliki kerentanan yang tinggi terhadap COVID-19. Mereka tidak bisa berekspresi dan bekerja di tengah pandemik.

‘’Saya sering dicurhati teman-teman transgender tidak hanya perempuan, tapi juga laki-laki. Mereka yang bekerja sebagai pekerja seks di satu sisi kalau mau mangkal sangat risiko. Sebab, banyak ditemukan premanisme di tempat mangkal teman teman transgender, mereka dipalakin dan dirazia. Kemudian, belum lagi kalau ada kriminalisasi, mereka takut kalau ada pelanggannya yang menjebak,’’ ungkapnya.

5. Peringati Hari Solidaritas transgender ingin RUU PKS disahkan

Transpuan di Semarang, Saat Pandemik Alih Profesi dan Tak Dapat BansosANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Menurut Amanda, masih banyak kendala bagi transpuan untuk berekspresi dan berkarya seperti masyarakat umumnya. ‘’Maka, kami ingin terus menggaungkan pengakuan gender secara hukum. Sebab, hingga hari ini para transpuan belum merasakan keadilan dalam berekspresi. Padahal, banyak di kalangan kami yang berpendidikan dan memiliki skill, tapi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari terganjal gender. Transgender tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Harus memilih menjadi laki-laki jika ingin hidup diterima masyarakat,’’ jelas sarjana Psikologi Universitas Semarang itu.

Maka, dalam rangka memperingati Hari Solidaritas LGBT, dia mewakili transgender ingin agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan (RUU PKS) agar segera disahkan.

‘’Sebab, dengan disahkannya RUU PKS itu harapan ke depan bisa melindungi seluruh masyarakat, termasuk transpuan. Karena bagaimanapun kami juga rentan kena pelecehan seksual. Kemudian bagi masyarakat, jangan menjauhi kami, jangan punya pemikiran yang konservatif dan negatif terhadap transgender,’’ tandasnya.

Baca Juga: Jurnalis Perempuan Daerah Sering Alami Kekerasan Seksual di Redaksi

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya