TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Usia 90 Tahun, Kisah Pahlawan Gerilya Kini Jadi Relawan PMI Semarang

Merupakan tentara pelajar yang bertempur melawan Belanda

Slamet mantan anggota tentara pelajar di Semarang. Fariz Fardianto/IDN Times

Semarang, IDN Times - Suasana Jalan Mahesa Utara II, di Pedurungan Tengah pagi itu tampak lengang. Tepat di depan rumah bercat cokelat, sebuah plang petunjuk donor darah terpasang di depan pagar. 

Tak lama kemudian muncul seorang pemuda tanggung yang membuka pintu. "Mari masuk, Mas. Eyang lagi di kamar," katanya, Selasa (11/8/2020). 

Orang yang ditunggu akhirnya keluar. Dengan dibantu cucunya, Slamet menyambut ramah di ruang tamu. Slamet merupakan satu dari tiga mantan tentara pelajar (TP) yang masih hidup di Semarang. 

Di usianya yang sudah 90 tahun, ingatannya masih tajam saat menceritakan kisahnya yang ikut bertempur dalam agresi militer Belanda. "Saya termasuk bekas tentara pelajar yang masih hidup sampai saat ini. Saya lahir 1 April 1930. Pas ikut tentara pelajar, umur saya baru 16 tahun," kata kakek satu anak dan satu cucu ini.

Baca Juga: Kisah Para Pahlawan Indonesia Tanpa Gelar, Nyaris Terlupakan

1. Slamet merupakan bekas anggota tentara pelajar Detasemen III yang masih hidup

nationalgeographic.grid.id/Gahetna/Het Nationaal Archief

Ia berujar pertempuran agresi militer Belanda meletus tepat saat dirinya masih kelas dua SMP di Yogyakarta. Ia bersemangat ketika diminta bergabung ke organisasi TP.

Dalam benaknya, dengan bergabung bersama organisasi TP maka paling tidak bisa turut membantu pemerintah Indonesia untuk menghalau tentara Belanda yang melakukan penyerangan. 

Ketika itu, Slamet masuk  korps TP Barikade 17 di Detasemen III Yogyakarta. Komandannya ialah Kapten Martono. Slamet pun bergabung dengan 1.200 prajurit TP lainnya untuk ikut bertempur melawan tentara kolonial Belanda. 

Rekan-rekannya yang berasal dari pelajar berusia 16 tahun kemudian diperbantukan untuk melawan tentara kolonial. "Dulu ada 1.200 TP, yang meninggal waktu perang revolusi ada 120 orang," ujarnya. 

2. Slamet ketika Agresi Militer Belanda pernah terlibat pertempuran di Jatingaleh

bobo.grid.id
Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Saat agresi militer I, ia bercerita sempat terlibat pertempuran di sekitar Jatingaleh. Peristiwa itu terjadi ketika tentara Belanda berhasil dipukul mundur sampai ke Semarang.

Di agresi militer II, ia bergabung dengan pasukan induk di Yogyakarta. Ia mengisahkan waktu itu harus berjalan kaki dari rumahnya di Candiroto Temanggung hingga ke Kota Pelajar.

"Pas Serangan Umum 1 Maret 1949, atas perintah Letkol Suharto sebagai komandan wilayah, saya berperang di beberapa titik. Awalnya saya jalan kaki dari Parakan sampai Yogyakarta. Ikut bertempur di Gunungkidul juga jalan kaki," terangnya.

"Kegiatan saya di TP baru selesai tahun 1950. Setelah itu saya sekolah lagi. Terakhir saya masuk ke sekolah kehutanan, lulus di Bogor tahun 1952," akunya.

3. Selepas perang kemerdekaan, Slamet memutuskan jadi relawan PMI

Ilustrasi kantong darah hasil dari pendonor darah di Padang (ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi)

Ia menjelaskan hari-harinya pasca kemerdekaan dihabiskan dengan bekerja di ladang perkebunan milik pemerintah Indonesia. Setelah 24 tahun bekerja, ia pensiun pada 1986.

Slamet kini mengisi waktu luang dengan menjadi relawan PMI. Sudah puluhan tahun ia sibuk jadi koordinator donor darah di kampungnya. Selama itu pula ia mampu mengumpulkan 4.500 kantong darah guna diserahkan ke PMI.

"Karena saya tahu darah sangat dibutuhkan masyarakat, makanya saya pilih jadi sukarelawan PMI. Saya rutin ajak warga Pedurungan untuk berdonor darah. Saya jadi relawan PMI sudah 32 tahun," jelasnya.

Baca Juga: Maaf! Tidak Ada Lomba-lomba 17 Agustus di Semarang karena Virus Corona

Berita Terkini Lainnya