Tak Jua Tuntas, Babak Baru Penyintas Hadapi Long COVID-19  

Perlu ada rumah sakit atau klinik untuk penyakit pasca COVID

Semarang, IDN Times - Pernyataan negatif COVID-19 tidak selalu melegakan bagi para pasien positif yang berhasil sembuh. Pasca berjuang melawan virus corona sebagian dari para penyintas ternyata harus berjumpa dengan babak baru penyakit bernama Long COVID-19. 

1. Penyintas COVID-19 rasakan kembali gejala awal saat terkonfirmasi positif

Tak Jua Tuntas, Babak Baru Penyintas Hadapi Long COVID-19  Ilustrasi Virus Corona. IDN Times/Mardya Shakti

Aning Karindra (37 tahun) salah satunya. Ia kembali merasakan sakit dengan gejala yang sama saat terinfeksi virus corona setelah 1,5 bulan dinyatakan negatif melalui tes swab polymerase chain reaction (PCR).

Melalui blog pribadinya, perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis itu menuliskan pengalamannya sejak ia terpapar COVID-19 hingga kembali merasakan gejala sakit yang sama muncul lagi di tubuhnya.

Aning menceritakan kalau ia dinyatakan positif COVID-19 pada 7 Februari 2021 melalui tes swab antigen. Saat terkonfirmasi positif ia merasakan gejala seperti demam, nyeri di otot-otot tubuh, pusing, hidung tersumbat, tenggorokan panas, badan menggigil, serta diikuti hilang rasa dan penciuman.

Setelah 35 hari bergulat melawan virus corona yang singgah di tubuhnya dan dinyatakan sembuh atau negatif, ternyata itu bukan babak akhir perjuangan. Saat kembali beraktivitas Aning masih mengalami batuk dan nafas ngos-ngosan. Kemudian, penyakit hipertensi yang sebelumnya tidak pernah dialami juga muncul.

2. Long COVID-19 jadi babak baru penyintas pasca dinyatakan sembuh

Tak Jua Tuntas, Babak Baru Penyintas Hadapi Long COVID-19  ilustrasi pasien yang dinyatakan sembuh dari COVID-19 (ANTARA FOTO/Ampelsa)

‘’Kondisi badan memang sudah enakan, cuma setelah kena COVID-19 rasanya jadi sering kelelahan terus gula darah dan tensi masih suka tinggi. Padahal, aktivitas masih banyak dari rumah dengan protokol ketat,’’ ungkapnya saat dihubungi, Sabtu (3/7/2021).

Keluhan lain juga dirasakan seperti badan nyeri dan meriang, sensasi dada dingin dan berdebar terasa seperti asam lambung naik. Selain itu, efek COVID-19 ini juga sudah mengganggu siklus menstruasi Aning dari yang semula normal menjadi dua bulan sekali. Sedangkan secara kejiwaan, perempuan yang tinggal di Kota Semarang ini juga sering merasa cemas dan panik.

‘’Akhirnya, saya berobat ke dokter. Tidak hanya ke satu dokter, saya mencari alternatif ke dokter lain. Dari pemeriksaan dokter umum, dokter syaraf, dokter paru, dan dokter penyakit dalam, mereka mengatakan saya terkena Long COVID-19,’’ kata ibu beranak dua ini.

Long COVID-19 kerap dideskripsikan sebagai gejala atau keluhan yang dialami pasien yang timbul sesudah fase COVID-19 tersebut selesai. Dari ikhtiar berobat kepada empat dokter itu Aning hanya diberi obat asam lambung, gula, hipertensi dan vitamin.

Baca Juga: Meroket! Sehari Tambah 2.302 Kasus Aktif Virus Corona di Semarang

3. Komunitas Covid Survivor Indonesia jadi wadah curhat para penyintas COVID-19

‘’Saya minta rontgen, rekam jantung, dan cek darah, tapi para dokter itu belum merekomendasikan. Benar-benar, efek COVID-19 ini telah menurunkan kualitas hidup saya. Apalagi, saya termasuk orang yang sangat parno dan mudah cemas. Bagi orang yang melihat dan belum pernah merasakan pasti akan bilang lebay atau malas. Padahal, keluhan ini nyata saya rasakan,’’ ujarnya.

Kendati demikian, ada perasaan yang lebih tenang ketika Aning menemukan dan bergabung dengan komunitas swabantu bernama Covid Survivor Indonesia di Facebook.

‘’Saya mendapat banyak manfaat dari komunitas Covid Survivor Indonesia. Yang jelas saya jadi lebih tenang dan nggak banyak pikiran, karena bertemu dengan teman-teman yang memiliki pengalaman bahkan keluhan yang sama sebagai penyintas COVID-19. Ke depan saya pengen ada rumah sakit atau klinik di daerah-daerah yang menangani pasien-pasien dengan efek COVID-19,’’ tandasnya.

4. Penyintas bisa rasakan hingga 40 keluhan Long COVID-19

Tak Jua Tuntas, Babak Baru Penyintas Hadapi Long COVID-19  Ilustrasi (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Kehadiran teman-teman sepenanggungan memang dibutuhkan oleh para penyintas yang belum tuntas melawan efek COVID-19. Komunitas swabantu Covid Survivor Indonesia (CSI) ini bak mata air bagi mereka yang menyimpan kecemasan dari keluhan dan gejala Long COVID-19. Melalui media sosial seperti Facebook Group, Instagram, dan Telegram para penyintas COVID-19 bisa berbagi dan tidak merasa sendiri.

Pendiri CSI, Juno Simorangkir mengatakan, alasan ia mendirikan komunitas tersebut adalah untuk menampung keluh kesah dari para penyintas COVID-19. Semua itu juga bermula dari pengalamannya sendiri sebagai penyintas yang mengalami Long COVID-19.

‘’Saya kena COVID-19 pada generasi awal pandemik di bulan Maret 2020. Saya menjalani perawatan di Wisma Atlet. Setelah dinyatakan sembuh saya merasakan berbagai keluhan seperti debar jantung, rambut rontok, gangguan konsentrasi, yang jika ditotal mencapai 40 jenis keluhan. Berkali-kali saya konsultasi ke dokter dan dokter selalu menyampaikan saya baik-baik saja. Saat itu memang masih minim informasi terkait efek pasca COVID-19,’’ jelasnya saat dihubungi IDN Times, Sabtu (3/7/2021).

5. CSI melakukan edukasi dan advokasi bagi masyarakat

Tak Jua Tuntas, Babak Baru Penyintas Hadapi Long COVID-19  ilustrasi petugas Puskesmas saat sosialisasi di Sekolah Tunas Global, Depok, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

Namun, pria berusia 36 tahun ini tidak pantang menyerah mencari tahu tentang kondisi yang dialami setelah sembuh dari COVID-19. Hingga akhirnya ia berkenalan dengan teman-teman penyintas di luar negeri dan dari sana banyak sekali diskusi dan ia mendirikan CSI pada 1 Agustus 2020.

‘’Menggunakan wadah Facebook Group kami ingin menampung keluhan para penyintas, terutama yang mengalami Long COVID-19. Sebab, ini fenomena baru dan saya nggak mau ada yang merasa sendiri saat mengalami keluhan atau gejala pasca kena virus corona ini. Apalagi, terkait masalah stigma yang mereka alami,’’ tuturnya.

Sehingga, keberadaan CSI ini sebagai sarana edukasi dan advokasi bagi masyarakat, khususnya para penyintas COVID-19. Pada grup Facebook yang sudah beranggotakan 2.400 pengikut itu banyak sekali curhat dari para penyintas yang mengalami Long COVID-19.

Baca Juga: Kisah Psikolog Ikut Terpapar Usai Berhari-hari Layani Terapi Mental Pasien COVID-19

6. Stigma sosial tak luput mendera para penyintas Long COVID-19

Tak Jua Tuntas, Babak Baru Penyintas Hadapi Long COVID-19  Warga mendengarkan arahan dari pihak kepolisian tentang protokol kesehatan di Manado, Sulawesi Utara, Senin (14/9/2020). Pihak Kepolisian, Satpol PP dan TNI gencar melaksanakan patroli yustisi untuk menyadarkan pentingnya kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penyebarab COVID-19. ANTARA FOTO/Adwit B Pramono

‘’Teman-teman penyintas yang menderita ini sering mendapatkan perlakuan yang nggak enak dari keluarga maupun teman. mereka dibilang lebay, stres, banyak pikiran. Padahal, mereka betul-betul mengalami keluhan. Dari suara mereka, kami pun ingin CSI tidak hanya sebagai wadah edukasi, tapi juga advokasi,’’ kata Juno.

Upaya yang dilakukan pendiri, pengurus, dan relawan CSI di antaranya dengan mengikuti global meeting yang diselenggarakan oleh WHO bersama survivor COVID-19 dari berbagai negara.

Pria yang bekerja sebagai brand marketing di perusahaan asuransi itu menuturkan, Long COVID-19 bukan perkara mudah. Banyak orang menganggap ini hanya gejala berkepanjangan, tetapi belum ada yang melaporkan. Sehingga, sangat perlu sekali di advokasikan.

‘’Maka, dalam setiap global meeting kami ungkapkan Long COVID-19 ini sifatnya relaps atau tiba-tiba kambuh. Sekarang baik tapi bisa muncul lagi. Apa yang kami alami dan rasakan ini kami ungkapkan. Sebab, setelah dinyatakan sembuh dari COVID-19 memang iya negatif, tapi secara klinis belum tentu,’’ katanya.

7. 63,5 persen penyintas di Indonesia mengalami Long COVID-19

Tak Jua Tuntas, Babak Baru Penyintas Hadapi Long COVID-19  ilustrasi konseling dengan psikolog atau psikiater (pexels.com/cottonbro)

Kemudian, dalam kehidupan sosial para penyintas yang mengalami Long COVID-9 juga memiliki masalah saat berhadapan dengan masyarakat.

‘’Banyak teman-teman yang dipecat dari pekerjaannya karena bosnya menganggap dia mengada-ada. Mereka dibilang kamu kan sudah sembuh seharusnya kamu bisa kembali kerja. Teman penyintas itu ada juga yang di antaranya jurnalis. Mereka di-PHK karena masih belum bisa kembali bekerja. Ini menyedihkan sekali, bagaimana dunia ketenagakerjaan belum bisa melihat COVID-19 sebagai penyakit jangka panjang. Selain itu, masih banyak yang mengalami kesulitan beraktivitas, karena saat berpikir mengalami brain fog sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih,’’ ungkap Juno.

Hingga saat ini Kementerian Kesehatan belum melakukan riset tentang Long COVID-19. Adapun, riset awal dan pertama kali baru dilakukan oleh Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Agus Dwi Susanto. Mengutip hasil penelitiannya yang dilakukan terhadap 463 responden selama Desember 2020 - Januari 2021 dan dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – RSUP Persahabatan pada 11 Februari 2021 dijelaskan bahwa 63,5 persen penyintas di Indonesia mengalami Long COVID-19.

8. Masyarakat perlu pahami kondisi penyintas COVID-19

Tak Jua Tuntas, Babak Baru Penyintas Hadapi Long COVID-19  pinpoindotcodotid

‘’Dikatakan para penyintas ini mengalami gejala yang menetap selama lebih dari dua minggu hingga enam bulan. Adapun, yang paling banyak mengalami fatigue atau kelelahan. Kemudian, ada keluhan lain seperti batuk, nyeri otot, sakit kepala, gangguan tidur, dan sebagainya,’’ ungkapnya.

WHO pun melaporkan, lanjut Juno, dalam riset terhadap 3.762 responden dari 56 negara, penyintas Long COVID-19 bisa mengalami 205 gejala dari 10 sistem organnya dengan 66 keluhan selama tujuh bulan. Keluhan yang banyak dilaporkan pada bulan keenam adalah kelelahan, menurut riset itu.

‘’Maka, yang dibutuhkan saat ini oleh para penyintas adalah memahami kondisi mereka, bahkan antara para penyintas. Sebab, ada tuh maksudnya baik memberi semangat tapi akhirnya malah sarkas. Misalnya bilang, ayo bisa kok ga usah dirasa-rasa. Pernyataan ini justru bisa menjadi toksik bagi para penyintas. Sehingga, memberi semangat pun ada term and condition,’’ tandasnya.

Baca Juga: Semarang di Level 4, PPKM Darurat Ketat, Mal dan Tempat Ibadah Tutup

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya