Cerita Petani di Klaten yang Terapkan Pertanian Ramah Lingkungan

Sempat kesulitan mendapatkan air karena rusaknya irigasi

Klaten, IDN Times - Petani di Desa Bulurejo Kecamatan Juwiring, Klaten kini dapat tersenyum lebar, lahan pertanian seluas 70 hektare yang dulu kering karena tak kebagian air kini mulai teraliri air. Beberapa tahun yang lalu lahan persawahan milik warga, terpaksa tidak terurus, karena susahnya mendapatkan air.

Hanya beberapa petani yang mampu menyedot air dengan pompa untuk mengaliri lahan pertanian mereka, padahal Kecamatan Juwiring merupakan salah satu daerah yang dilewati Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur yang bermuara di Bengawan Solo.

Sungai Pusur sendiri merupakan salah satu sungai yang memenuhi kebutuhan air untuk para petani di Klaten, Boyolali dan daerah-daerah sekitarnya.

Mempunyai Hulu Sungai di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali, Sungai Pusur juga terhubung dengan sumber air Cokro di Kabupaten Klaten yang merupakan sumber kedua bagi suplai aliran Sungai Pusur, sementara di hilir mengalir langsung ke Sungai Bengawan Solo.

Baca Juga: Sungai Pusur Penopang Pertanian dan Ekonomi Petani di Klaten

1. Petani mulai mempraktikkan pertanian yang lebih ramah lingkungan

Cerita Petani di Klaten yang Terapkan Pertanian Ramah LingkunganPara petani di Bulurejo, Juwiring, Kabupaten Klaten mulai menerapkan pertanian yang lebih ramah lingkungan. (IDN Times/Bandot Arywono)

Suplai air yang kini lancar memudahkan petani untuk bisa melakukan penanaman hingga tiga musim tanam. Selain petani juga mulai berinovasi dengan mulai mengembangkan pertanian ramah lingkungan.

Giyarti Salah satu petani yang kini beralih menggunakan pertanian yang lebih ramah lingkungan dengan meminimalisir penggunaan pupuk kimia, meski tidak sepenuhnya meninggalkan pupuk kimia Giyarti kini mulai beralih ke penggunaan pupuk kandang untuk mengolah sawah. "Saya memanfaatkan pupuk organik dengan penggunaan pupuk kandang," kata Giyarti. Meski begitu Ia masih menggunakan sedikit pupuk kimia untuk merangsang pertumbuhan tanaman.

Awalnya alasannya menggunakan pupuk organik karena terbatasnya jumlah pupuk kimia yang disubsidi oleh pemerintah. "Dalam tiga kali masa tanam kita hanya kebagian 40 kg pupuk subsidi dari kartu tani, sementara untuk mengelola sawah satu patok (2.000 m2) tentu itu kurang," kata Giyarti. Untuk satu petak sawah seluas 2.000 meter persegi setiap musim tanam dibutuhkan setidaknya 40 Kg pupuk untuk mendapatkan hasil yang bagus, sementara saat ini jatah 40 kg pupuk subsidi tersebut digunakan untuk tiga musim tanam.

Harga pupuk per April 2024 yakni HET pupuk urea bersubsidi ditetapkan Rp 2.250 per kilogram (kg) dan NPK bersubsidi Rp 2.300 per kg. Adapun HET NPK formula khusus dan pupuk organik bersubsidi, masing-masing dipatok Rp 3.300 per kg dan 800 per kg. 
Padahal jika menginginkan pupuk hasil harus membeli pupuk non subsidi yang harganya bisa lima kali lipat lebih mahal dibandingkan pupuk subsidi.    

Giyarti pun lalu mencoba menggunakan pupuk organik yakni dari pupuk kandang. Giyarti kemudian memanfaatkan kotoran hewan yang mudah di dapat di sekitar rumahnya, "Kita manfaatkan kotoran hewan yang sebelumnya kita diamkan selama 30 hari, kemudian digunakan sebagai pupuk di sawah," katanya.

Selain kotoran hewan untuk pupuk, Giyarti juga memanfaatkan pestisida nabati untuk mengusir hama di lahan pertaniannya. Pesitisida nabati sendiri yakni merupakan senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan yang digunakan untuk memberantas organisme pengganggu tumbuhan berupa hama dan penyakit tumbuhan maupun tumbuhan pengganggu (gulma). "Selama tiga tahun saya pakai pestisida nabati tidak pakai yang kimia, bisa bikin sendiri karena lebih murah," katanya.

Dengan meminimalisir penggunaan pupuk kimia dan meninggalkan pestisida kimia dan beralih ke pestisida nabati, hasilnya Giyarti lebih bisa menekan biaya produksi selama musim tanam. Biasanya untuk sekali musim tanam menurutnya dibutuhkan setidaknya lebih dari Rp3 juta dari mulai dari benih, biaya bajak sawah dengan menggunakan traktor, kebutuhan pupuk, hingga pestisida, namun dengan penggunaan pupuk organik, dan pestisida nabati yang lebih ramah lingkungan ia mengaku bisa menghemat hingga 40-50 persen pengeluaran.     

Selain berhemat, penerapan pertanian dengan meminimalisir pupuk kimia dan pestisida kimia juga mendapatkan hasil yang lebih baik. "Beras bisa tahan lebih lama dan tidak mudah basi, nasi lebih pulen dan enak bisa tahan dua hari," ucap Giyarti. 

2. Meski berada di aliran Sungai Pusur awalnya petani di Juwiring sulit mendapatkan air

Cerita Petani di Klaten yang Terapkan Pertanian Ramah LingkunganSungai Pusur yang bermuara di Boyolali dan mengalir ke Sungai Bengawan Solo. Merupakan sungai yang memenuhi kebutuhan air untuk para petani di Klaten, Boyolali dan daerah-daerah sekitarnya. (IDN Times/Bandot Arywono)

Kesulitan air menurut Ketua Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Bulurejo, Agus Sriyono sempat dirasakan oleh para petani di wilayah Bulurejo beberapa tahun terakhir.

Ia mengatakan karena sulitnya mendapat air, saat kemarau petani tidak bisa menanam padi, sementara pada musim hujan lahan pertanian mereka kebanjiran, padahal banyak diantara warga yang mata pencahariannya dari bertani. Saat musim kemarau petani menyedot air dengan menggunakan pompa yang tentunya menambah pengeluaran dari para petani. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Dulu, ketika musim kemarau petani tidak bisa tanam padi, karena air irigasi tidak sampai ke lahan kami karena saluran irigasi yang rusak dan tidak ada upaya pemeliharaan. Sedangkan ketika musim hujan, karena saluran air rusak, sedimentasi, atau tersumbat sampah terjadi banjir atau genangan," kata Agus Sriyono, Rabu (24/7/2024).

Dari lahan seluas 70 hektar yang diolah oleh para petani awalnya hanya sekitar 20 persennya saja yang bisa dialiri oleh air. Namun kini sekitar 80 persen dari luasan tersebut telah dialiri air dan bisa dipergunakan petani untuk menanam padi. Agus mengatakan salah satu alasan air kembali lancar yakni perbaikan saluran primer irigasi yang diperbaiki dan dikerjakan bersama oleh pemerintah, desa, petani dan swasta dalam hal ini PT Tirta Investama (AQUA).

Baca Juga: Melihat Taman Kehati di Klaten yang Jadi Sarana Edukasi untuk Pelajar

3. Bentuk relawan irigasi yang menata pengairan di wilayah Juwiring

Cerita Petani di Klaten yang Terapkan Pertanian Ramah LingkunganAreal persawahan warga di Bulurejo, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten. (IDN Times/Bandot Arywono)

Salah satu upaya mengatasi permasalahan air yang dihadapi petani, masyarakat dan juga dari berbagai pihak mulai dari desa, LSM dan juga pihak PT Tirta Investama membentuk Forum Relawan Irigasi (FRI). Terbentuknya FRI ini sebagai wujud keseriusan petani di Klaten dalam menata perairan di wilayah mereka. Pembentukan FRI itu dilegalisasi melalui peraturan bersama (Perkades) tujuh desa meliputi Desa Pundungan, Juwiring, Bulurejo, Kwarasan, Kaniban, Tanjung dan Bolopleret, untuk mengelola saluran irigasi secara kolaboratif.

Ketua Forum Relawan Irigasi (FRI), Sumartono mengatakan awalnya banyak petani di wilayah hilir Sub DAS Pusur yang tidak kebagian air, selain saluran irigasi primer yang banyak rusak masyarakat petani di tujuh desa yang ada di Kecamatan Juwiring tersebut dengan seenaknya menutup dan membuka saluran air yang ada di Bendung Bagor. Bendung Bagor dibangun tahun 1954 berfungsi untuk mengaliri irigasi sawah petani di hilir.

Menurut Sumartono ada sejumlah kesepakatan untuk memelihara jaringan saluran irigasi Bagor. Ada juga kesepakatan untuk menangani keluhan petani secara swadaya dan gotong-royong dengan melibatkan tujuh desa. "Dalam perkades dituangkan agar setiap desa menerima hak masing-masing dalam pengelolaan saluran irigasi, termasuk melakukan pembersihan sedimen dan sampah di saluran irigasi primer, sekunder dan tersier. Hal itu untuk memastikan air dapat terdistribusi dengan baik hingga ke wilayah hilir yang memiliki panjang 3,6 kilometer," katanya.

Di sisi lain, dalam perkades itu juga menyebutkan agar masing-masing desa memberikan stimulan kepada FRI setiap tahunnya. Hal itu untuk mendukung dalam pengelolaan saluran irigasi yang melintasi 7 desa tersebut. Sejak terbentuknya FRI saat musim kemarau hanya sedikit petani di Desa Bulurejo yang menyedot air dengan pompa.

Di desa lainnya para petani juga sudah mulai membersihkan saluran tersier. Selain membersihkan sedimentasi FRI menurut Sumartono juga memperbaiki plengseng yang ambrol supaya lebih kuat dan fungsional. "Kini petani tidak lagi khawatir tidak kebagian air untuk mengairi lahan pertaniannya di musim kemarau sekalipun," katanya.

4. Pemanfaatan Bendung Bagor untuk irigasi sawah di hilir Sub DAS Sungai Pusur

Cerita Petani di Klaten yang Terapkan Pertanian Ramah LingkunganBendung Bagor, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten. (IDN Times/Bandot Arywono)

Bendung Bagor dibangun tahun 1954 berfungsi untuk mengaliri irigasi sawah petani di hilir. Meski telah berusia 70 tahun namun bendungan tersebut masih digunakan untuk mengairi ribuan hektar lahan pertanian di 7 Desa yang ada di Kecamatan Juwiring yakni tujuh desa meliputi Desa Pundungan, Juwiring, Bulurejo, Kwarasan, Kaniban, Tanjung dan Bolopleret.

Pengelolaan irigasi di Bendung Bagor yang dilakukan melalui kolaborasi pemerintah, petani, LSM Gita Pertiwi dan Aqua diantaranya yakni transek saluran irigasi, normalisasi saluran irigasi, pembentukan forum FRI, pembuatan Perkades dan juga Sibari. Perawatan jaringan irigasi di wilayah hilir Sub DAS Sungai Pusur ini tahun pelaksanaan 2020-2023 telah melakukan perawatan jaringan irigasi yakni 1.180 meter saluran primer, 8.712 meter saluran sekunder, 24.810 saluran tersier, ada 92 uniy pintu air, 451 hektar daerah oncoran dan berdampak terhadap implementasi pertanian regeneratif yakni penurunan penggunaan pupuk organik hingga 70 persen, mendorong penggunaan pestisida nabati.

Stakeholder Relation Manager AQUA Klaten, Rama Zakaria mengatakan pihaknya berkolaborasi dengan Pusur Institute untuk melestarikan sumber daya air di Sub-DAS Pusur. Upaya konservasi ini dilakukan secara terintegrasi dari hulu, tengah, hingga ke hilir. AQUA turut menginisiasi program Revitalisasi Jogo Toya Kamulyan yang dijalankan oleh Forum Relawan Irigasi untuk mengelola jaringan irigasi secara swadaya seluas 300 ha atau seluas 53 persen dari total 569 hektar lahan pertanian di tujuh desa kecamatan Juwiring yang tidak mendapatkan aliran air.

5. Program kali bersih juga untuk mendukung wisata river tubing

Cerita Petani di Klaten yang Terapkan Pertanian Ramah LingkunganWisata river tubing di New Rivermoon, kali Pusur, Kecamatan Polanharjo, Klaten. (IDN Times/Bandot Arywono)

Upaya yang dilakukan pihak AQUA diantaranya yakni perbaikan 7.786 meter saluran, rehabilitasi 22 pintu air, penerapan jadwal pembagian air secara daring, perbaikan pola tanam, penerapan regeneratif agrikultur, memfasilitasi pembentukan forum irigasi antardesa yang dilegalisasi melalui peraturan bersama (PERKADES) 7 desa untuk pengelolaan irigasi secara kolaboratif, kemudian ada juga pengembangan Program Kali Bersih (Prokasih) dan Bank Sampah yang dikembangkan untuk mendukung wisata River Tubing, menjaga kebersihan sungai, dan menggerakkan perekonomian masyarakat setempat.

Program ini berhasil membantu petani dalam menghidupkan kembali lahan tidur yang selama ini tidak teraliri air, dan merupakan solusi permasalahan keterbatasan air untuk pertanian pada musim kemarau, yang sekaligus mengendalikan banjir di musim hujan.

Baca Juga: Wisata River Tubing di Sungai Pusur Klaten Bayarnya Bisa Pakai Sampah

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya