Petani Kopi, Gas Rawa dan Kemandirian Energi

Petani kopi Banjarnegara menuju kemandirian energi

Berada di titik ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl), hawa sejuk terasa di Desa Bantar, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjanegara. Dengan kontur wilayah yang terletak di lereng pegunungan, Desa Bantar berada di zona rawan bencana tanah longsor. Bahkan, tanah longsor yang kerap muncul jadi momok yang menakutkan. 

Namun siapa sangka, kondisi topografis desanya yang sarat akan bahaya bencana alam justru menjadi sebuah berkah tersendiri. Ini tak lepas dari aktivitas warga yang telaten menggarap ladang pertanian di sekitar perbukitan. Salah satunya seperti yang terlihat di Dusun Bantar RT 01/RW 1. Eko Purwanto, seorang warga mengaku ladang kopi jadi sumber penghasilan utama selain hasil panen salak. 

"Di Bantar sebagian warga punya kebun kopi robusta. Bulan ini kita selesai panen. Dapatnya sekitar satu sampai dua kuwintal. Kita sering jual ke pasar-pasar dalam bentuk kering. Ada juga yang sudah diolah jadi kopi tubruk," ujarnya kepada IDN Times.

1. Petani kopi robusta Desa Bantar Wanayasa mulai manfaatkan gas rawa

Petani Kopi, Gas Rawa dan Kemandirian EnergiKomponen instalasi gas rawa di Desa Pegundungan Banjanegara. (Dok Dinas ESDM Jateng)

Bapak dua anak itu bilang, sebungkus kopi tubruk hasil olahan warga desanya dijual Rp70 ribu. Untuk mengolah biji kopi, warganya kerap menghabiskan empat tabung elpiji 3 kilogram sebulan. 

"Tapi kita sekarang bisa memanfaatkan gas rawa untuk menyangrai kopi. Soalnya kalau beli empat elpiji sebulan kita butuh uang Rp80 ribu. Nah, kalau pakai gas rawa biayanya cuma Rp25 ribu. Itu pun hanya untuk beli pulsa, sisanya buat urunan memperbaiki pipanya kalau ada yang rusak," terang lelaki yang jadi Kepala Desa Bantar sejak tiga tahun terakhir tersebut. 

Gas rawa yang hadir di desanya berkat andil dari Dinas ESDM Jateng. Pipa gas rawa yang tersambung ke rumah-rumah warga sepanjang 800 meter. Saat ini sudah ada 25 KK yang menggunakan gas rawa.

"Masih ada lagi 75 KK yang saya ajukan lagi dan sudah disetujui oleh dinas. Semoga bisa 100 KK yang memanfaatkan gas rawa. Soalnya lebih irit Rp55 ribu ketimbang pakai elpiji," aku pria 43 tahun itu. 

Baca Juga: 10 Potret Uniknya Galeri Kopi Indonesia, Sensasi Ngopi di Kebun Kopi

2. Gas rawa sudah terdeteksi di Desa Bantar sejak 50 tahun silam

Petani Kopi, Gas Rawa dan Kemandirian EnergiKepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko saat melihat kondisi mesin instalasi gas rawa di Desa Pegundungan Banjanegara. (Dok Dinas ESDM Jateng)

Gas rawa sebenarnya sudah terdeteksi di desanya sejak 50 tahun silam. Semula tak ada satupun warga yang berani memanfaatkan kandungan gas yang muncul dari dalam tanah. 

Ketika ia bersekolah SMP, dirinya kerap bermain dengan teman sebayanya di area kemunculan gas. Pertama kali warga melihat kemunculan gasnya di lokasi tanah bengkok. Luasannya 10 meter persegi.

"Dulu waktu saya kecil cuma dibuat mainan anak-anak. Iseng-iseng dibuat bakar bakaran. Terus sekitar 10 orang mencoba manual, ada yang memasang pipa tahun 1991, tapi kan tidak maksimal," bebernya.

Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko mengungkapkan penggunaan gas elpiji di rumah-rumah warga sedikit demi sedikit sudah tergantikan oleh pemanfaatan gas rawa. 

"Gas rawanya sudah tersambung ke dua desa. Warga yang memasak sudah mulai memakai gas rawa yang tersambung dari pipa instalasi yang dibuat sekitar 1 kilometer. Sekarang mereka sedang menuju kemandirian energi ke arah yang positif," ujar Sujarwanto saat dihubungi IDN Times

3. Pemasangan instalasi gas rawa pakai anggaran APBD Jawa Tengah

Petani Kopi, Gas Rawa dan Kemandirian EnergiSalah satu instalasi gas rawa yang ada di Desa Pegundungan Banjanegara. (Dok Dinas ESDM Jateng)

Pemasangan instalasi gas rawa, katanya dibiayai dari alokasi anggaran APBD Jawa Tengah tahun anggaran 2020 dan tahun anggaran 2021 senilai Rp200 juta.

"Kita pakai teknologi tepat guna. Jarak sumur gasnya juga sangat dekat. Jadinya biaya pembuatan instalasi pipanya tidak membutuhkan biaya yang besar," jelasnya. 

Sebelumnya pihaknya telah melibatkan sejumlah akademisi dan peneliti dari Badan Geologi untuk meneliti kadar produksi gas di lereng Pegunungan Baturagung. 

4. Pegunungan Baturagung memiliki endapan vulkanik dangkal

Petani Kopi, Gas Rawa dan Kemandirian EnergiIlustrasi pegunungan (IDN Times/Umi Kalsum)

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pihaknya, Pegunungan Baturagung diketahui memiliki endapan vulkanik dangkal. Pada bagian puncak pegunungan masih berupa rawa-rawa. 

Di kawasan tersebut, sedimen vulkanik yang mengendap mengandung unsur biogenik. Pihaknya kemudian mengerjakan pengeboran pada dua titik Desa Pegundungan dan satu titik Desa Bantar. Gas yang dihasilkan pada pengeboran inilah yang disebut Sujarwanto dengan nama Biogenic Shallow Gas (BSG). 

"Maka kita pasang beberapa tabung untuk memisahkan uap air dengan gas. Gas metan yang ditangkap ke dalam tabung selanjutnya dikompresi dalam tekanan 4 bor. Ada satu tabung yang dipasang dan disalurkan ke kompor-kompor di rumah warga. Penelitian gas rawa di sana sudah dilakukan sejak 2020 dan bisa diwujudkan akhir tahun 2020 kemarin," terangnya. 

5. Butuh dukungan Kementerian ESDM untuk wujudkan kemandirian energi bagi petani kopi

Petani Kopi, Gas Rawa dan Kemandirian EnergiGubernur Jateng Ganjar Pranowo mencoba menyalakan kompor yang tersambung dari gas rawa di Desa Pegundungan Banjanegara. (Dok Humas Pemprov Jateng)

Dinas ESDM menginisiasi pembuatan jaringan pipa instalasi gas rawa demi meringankan beban masyarakat Bantar dan Pegundungan yang selama ini sangat tergantung pada pasokan gas elpiji. Sebab, setiap warga harus pontang panting membeli elpiji ukuran 3 kilogram seharga Rp25 ribu untuk dipakai memasak hingga menyangrai biji kopi. 

"Kebutuhan elpiji dua desa itu memang sangat tinggi. Kan kasihan juga mereka sering beli elpiji 3 kilo yang harganya Rp25 ribu. Apalagi lokasinya di pucuk gunung. Sebulan rata-rata kebutuhannya tiga sampai empat tabung elpiji. Maka dengan memanfaatkan gas rawa minimal bisa menghemat pengeluaran setiap warga," paparnya. 

Pihaknya pun melayangkan surat kepada Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konervasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM guna meminta dukungan terhadap proyek penggunaan gas rawa di Banjanegara. 

"Baru seminggu lalu kita kirim suratnya ke Jakarta. Kita optimistis akan dapat dukungan dari Kementerian ESDM. Soalnya ketersediaan sumber energi gas rawa di Banjanegara bisa bertahan sampai 25 tahun. Apalagi di beberapa desa bisa dibangun instalasi lainnya. Dan Bumdesnya yang ditugasi sebagai pengelolanya juga yakin bisa hidup dari keberlangsungan pemanfaatan gas rawa," cetusnya. 

6. Petani kopi Desa Pegundungan bisa hemat biaya produksi lewat gas rawa

Sedangkan bagi Murti, salah satu petani kopi di Desa Pegundungan, Kecamatan Penjawaran, pemasangan instalasi gas rawa di desanya cukup membuatnya lega. Sebab, selain menjadi irit, pemanfaatan gas rawa bisa menghemat biaya produksi pembuatan kopi. 

"Kita kan mayoritas produksi kopi arabika. Kopi yang kita olah sering digemari para pembeli dari Yogyakarta dan sekitaran Banjanegara. Malahan kita sudah pasang merek namanya Kopi Senggani. Sehingga kita berharap dengan memakai gas rawa, biaya produksi kopinya bisa dihemat. Juga sekaligus menghilangkan citra negatif bagi Desa Pegundungan yang dulunya dikenal kawasan yang kotor," ujar Murti. 

Menurut Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pemanfaatan gas rawa atau di Desa Pegundungan, dan Desa Bantar ke depan bisa menjadi spirit desa mandiri energi. Ia berharap lebih banyak lagi tempat-tempat di Jawa Tengah yang memanfaatkan energi serupa yang ada di daerah masing-masing.

"Saya senang spirit desa mandiri energi bisa diwujudkan. Di tanah kita yang kita injak ternyata ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan yaitu gas," kata Ganjar dalam keterangan resmi yang diterima IDN Times, Rabu (18/8/2021).

Di Pegundungan masih ada sekitar 138 rumah yang belum terpasang instalasi gas rawa. "Mudah-mudahan nanti yang lainnya tinggal kita bereskan, ada sekitar 138 KK lagi yang akan menggunakan maka semua tercover. Nanti Dinas ESDM akan bantu 100, sisanya nanti dari desa. Lumayan, tidak akan ada lagi uang yang dikeluarkan untuk beli elpiji karena di sini sudah disediakan," katanya.

7. Gas rawa merupakan fenomena Geologi yang umum terjadi

Petani Kopi, Gas Rawa dan Kemandirian EnergiLokasi instalasi gas rawa ketika diresmikan di Desa Pegundungan Banjanegara. (Dok Dinas ESDM Jateng)

Secara terpisah, berdasarkan hasil analisa Kementerian ESDM yang diunggah dalam laman resminya mgi.esdm.go.id, diketahui bahwa gas rawa atau gas liar yang muncul dari semburan sawah seperti di Pamekasan, Porong, Indramayu, Banyuasin, Banjarnegara, Sragen, Mojokerto dan berbagai tempat lainnya sebenarnya merupakan fenomena geologi yang umum. 

Dalam artikel yang diunggah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL), Subaktian Lubis pada tahun 2016 menyatakan, jika gas yang muncul merupakan gas methan (CH4) yang merembes dari kantong-kantong atau poket-poket gas biogenik yang terbentuk dari bekas rawa-rawa atau sungai purba. 

Hasil penelitian yang dilakukan PPPGL sejak tahun 1990-an telah menemukan sumber-sumber gas biogenik yang berasal dari lapisan endapan yang mengandung fragmen organik yang berlimpah. Hasil analisa laboratorium menggunakan Gas Chromatograph (GC) menunjukkan bahwa kandungan gas biogenik ini mengandung lebih dari 95 persen gas methan, sekitar 2 persen gas CO2 dan Nitrogen (N). 

Dijelaskan pula bahwa kadang-kadang ditemukan pula gas H2S namun dalam jumlah yang relatif kecil sekali (< 0,1 persen). Pada umumnya, gas biogenik yang ditemukan pada sumur-sumur penduduk di kawasan pesisir ataupun dari lubang bor dangkal memperliharkan bahwa tekanan gas ini relatif rendah (2-3 Kg/m2) dan merupakan aliran rembesan gas melalui pori-pori atau rekahan tanah.

Gas biogenik yang merembes ke permukaan ini berasal dari gas alam sehingga secara langsung tidak berbahaya bagi mahluk hidup, namun dalam kandungan yang pekat atau alam ruang tertutup akan mudah terbakar walaupun tidak bersifat eksplosif. 

Kemunculan gas biogenik pada sawah, rawa ataupun tambak tidak secara langsung mempengaruhi kualitas air, karena gas methan tidak bereaksi dengan air.

8. Ganjar berharap wilayah pedesaan bisa mewujudkan kemandirian energi

Petani Kopi, Gas Rawa dan Kemandirian EnergiGubernur Jateng Ganjar Pranowo saat meninjau gas rawa yang dipakai warga Pegundungan. (Dok Humas Pemprov Jateng)

Di Jawa Tengah, Ganjar mengatakan selain di Pegundungan, pemanfaatan gas rawa juga sudah dilakukan di Grobogan dan Sragen. Untuk itu Ganjar berharap semakin banyak lagi tempat yang mengadopsi model serupa.

Ganjar juga meminta peta geologis daerah mana lagi yang ada sumber gas rawa. Di titik-titik yang terpetakan nanti dibuat sumur-sumur cadangan gas rawa. 

"Dinas ESDM sudah saya minta untuk mencari se-Jawa Tengah itu ada di mana saja. Model seperti ini juga sudah kita gunakan di Grobogan dan Sragen. Kita ini sebenarnya kata, kalau level desa saja bisa mandiri energi. Jos gandos," katanya.

Baca Juga: Survei Indikator: Ganjar Pranowo Terus Melesat, Puan Maharani Anjlok

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya