[OPINI] Kekerasan Berbasis Gender Online: Ilmu Hitam Era Digital

Tidak hanya perempuan, tapi laki-laki juga bisa mengalaminya

Intinya Sih...

  • Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) masih mengintai di dunia digital, dengan 1 dari 3 perempuan menjadi korban.
  • Seorang mahasiswa laki-laki melakukan KBGO terhadap seorang perempuan melalui media sosial dan menyebarkan rumor fitnah.
  • Korban melakukan langkah-langkah keamanan diri dan mendapatkan advokasi dari orang-orang sekitar meskipun mengalami KBGO.

Kemajuan zaman tidak menghilangkan celah untuk tidak melakukan kejahatan bagi para pelaku kekerasan. Kekerasan masih menjadi masalah yang terus mengintai masyarakat dimanapun berada, termasuk dalam dunia digital.

Kekerasan yang terjadi dalam dunia digital dikenal dengan istilah KBGO. Setidaknya, 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan jenis tersebut (Naila Rizqi: Jakarta Feminist, 2024). Realita itu membuat dengan mudah menjumpai para korban KBGO di sekitar kita.

Berikut laporan penyelidikan dan analisis di lapangan yang kebetulan korbannya adalah seorang perempuan.

Pernyataan Otentik Korban

[OPINI] Kekerasan Berbasis Gender Online: Ilmu Hitam Era Digitalilustrasi tindakan kekerasan seksual. (pexels.com/Karolina Grabowska)

A sebagai korban dan Mr X sebagai pelaku adalah dua orang yang saling mengenal. Mereka merupakan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta. Mr X sebagai senior dari korban.

KBGO terjadi saat keduanya telah menyelesaikan studi dari lembaga pendidikan tersebut. Mr X telah melakukan KBGO sejak tahun 2016 hingga saat ini (April 2024) melalui platform media sosial (medsos) Facebook dan Instagram. Mr X melakukan stalking online kepada korban. Bahkan tidak segan untuk mendatangi rumah korban secara berkala yang membuat para tetangga ikut merasakan tidak nyaman.

Mr X secara konsisten meneror dengan mengirimi pesan seluruh medsos yang dimiliki korban, juga kepada para anggota keluarga korban. Mr X tidak segan juga menyebarkan rumor melalui akun pribadinya maupun obrolan langsung dengan orang-orang yang dikenalnya dengan menggunakan foto A.

Mr X menyatakan bahwa ia adalah korban dari A dan orang-orang di sekitar A yang menyebabkan kandasnya hubungannya bersama A. Mr X  juga membuat rumor bahwasanya A telah menikah siri dengan laki-laki lain dan memiliki anak dengan laki-laki yang berbeda. Padahal dalam kenyataannya, A tidak pernah menjalin hubungan dengan Mr X.

Merespons rumor tersebut, dalam waktu bersamaan pula, A mengklarifikasi yang justru membuat Mr X makin menggila merespons balik respons A.

[OPINI] Kekerasan Berbasis Gender Online: Ilmu Hitam Era DigitalIlustrasi kasus pelecehan seksual pada anak (Ilustrasi/IDN Times)

A mengatakan, hal tersebut Mr X lakukan atas tuntutan atau hasrat untuk memiliki hubungan atau status yang ia inginkan bersama A. Tentunya, apa yang Mr X lakukan membuat A merasa marah dan mual.

Awalnya, A mendiamkan KBGO yang dialaminya. Saat mulai merasa tidak nyaman, ia mencoba berbicara pada keluarganya. Respons para keluarga tentu marah kepada Mr X. Namun mereka lebih fokus memikirkan untuk menindak Mr X daripada menenangkan A.

Mengantisipasi tindakan Mr X yang makin menjadi-jadi, A memblokir setiap akun baru dari Mr X. A pun mengganti user media sosial Instagramnya setiap dua minggu sekali.

Selain melakukan KBGO kepada A, obsesi untuk memiliki hubungan bersama A juga dilakukan Mr X dengan mengiriminya mantra-mantra penarik hati. Mengatahui hal itu, Sang Ayah dari A yang kebetulan pemuka agama memberikan A doa penangkal doa-doa buruk yang tidak diinginkan.

Secara lahir, doa tersebut merupakan doa penyerahan diri seorang hamba yang lemah kepada Tuhannya untuk melindunginya dari hal-hal yang seluruhnya  berada dalam kuasa-Nya. A mengakui, pernah ada satu waktu tindakan Mr X sungguh tidak dapat ditolerir kembali, sehingga A dan keluarga berencana melaporkan Mr X kepada aparat penegak hukum.

Rencana tersebut urung dilakukan karena A dan keluarga mencoba untuk menempuh jalur kekeluargaan terlebih dahulu. Keluarga korban mencoba berkomunikasi dengan keluarga Mr X dan perangkat desa tempat Mr X tinggal.

Langkah tersebut nyatanya ampuh untuk mengendalikan dan mengontrol Mr X untuk mengurangi intensitas melakukan KBGO kepada A. Walaupun telah menempuh langkah demikian, dalam waktu-waktu yang tidak diketahui, Mr X masih melakukan KBGO secara berulang.

Secara realita, kondisi telah berpihak kepada A. Meski demikian, A masih merasa khawatir, karena beberapa teman-temanya masih mendapati status-status Mr X yang meresahkan dan selalu menyangkut atau menyebutkan nama A dan orang-orang terdekat A.

A mengakui, walaupun langkah-langkah preventif dan kuratif telah dilakukan, tidak menghilangkan rasa khawatir yang masih menghantuinya. A hanya dapat berserah kepada Tuhan, sebagaimana ucap A, ”Pelaku mengantongi identitas ‘orang gila,’ sehingga secara hukum tidap bisa ditindak. Hanya dapat mendoakan agar segera sadar dan bertobat.”

A dengan senang hati membagikan kisahnya untuk diketahui banyak orang. A berharap, pengalamannya yang tersampaikan itu, tercipta keamanan siber yang tanggap dalam menerima aduan masyarakat. Lebih dari itu ikut memfasilitasi penggunaan media daring dengan informasi asli, tidak anonim, yang terdaftar resmi untuk memudahkan aparat penegak hukum dalam menindak pelaku. Harapannya, masyarakat bisa bersama-sama memiliki kesadaran dalam memberikan sanksi sosial yang besar kepada pelaku, bukan kepada korban.

Baca Juga: 5 Film Horor Indonesia Bertema Pelecehan Seksual, Segera Tayang Vina!

Analisa KBGO dalam Kasus Korban

[OPINI] Kekerasan Berbasis Gender Online: Ilmu Hitam Era DigitalIlustrasi pelecehan seksual (freepik.com/freepik)

Berdasarkan wawancara bersama A, setidaknya ada beberapa poin yang dapat dianalisis bersama, sebagai berikut.

  1. Identitas gender. Pelaku adalah laki-laki dewasa dan korban juga perempuan dewasa
  2. Jenis KBGO. Distribusi jahat untuk merusak reputasi, pelecehan daring, stalking (penguntitan) daring, misrepresentation (fitnah)
  3. Dampak KBGO. Fisik (mual), psikis (khawatir, marah, takut, tidak aman, tidak nyaman)
  4. Penanganan KBGO.
    • Yakni dengan keamanan diri pribadi. Seperti pengamanan tubuh digital (memblokir pelaku, menutup berbagai akses terhadap pelaku, membuat klarifikisi terhadap KBGO yang sedang dialami), berbagi pengalaman dengan orang-orang yang dapat dipercaya; penguatan diri dengan pendekatan agama, kehadiran support system, dan meng-upgrade diri tentang kebijakan menggunakan internet.
    • Kemudian keamanan diri sosial. Contohnya berkomunikasi dengan keluarga pelaku dan berkomunikasi dengan aparat desa di mana pelaku bertempat tinggal.

Identitas pelaku dari kasus tersebut menegaskan, bahwa laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan sebagai pelaku KBGO.

Dalam satu tindakan yang dilakukan, KBGO bisa mencakup beberapa jenis KBGO secara bersamaan. Seperti dalam kasus itu, dalam tindakan yang bertujuan untuk memiliki hubungan terhadap korban, pelaku tidak saja melakukan stalking, tetapi juga melakukan fitnah, pelecehan daring, dan distribusi jahat untuk merusak reputasi korban di dunia digital dan dunia nyata secara bersamaan dengan waktu yang sangat cepat.

Tentunya aksi KBGO yang dilakukan pelaku menimbulkan dampak negatif pada korban, yang berupa kerugian secara fisik dan mental. Kerugian fisik yang berupa mual ini berdampak pada fungsi organ pencernaan. Korban memiliki nafsu makan yang menurun, imunitas yang juga menurun, yang membuatnya mudah jatuh sakit.

Kerugian mental atau psikis yang dialami korban tidak sekedar kata yang tertulis. Kata-kata tersebut memiliki dampak yang tidak main-main. Rasa khawatir, marah, takut, tidak aman dan tidak nyaman merupakan rasa dengan vibra negatif yang membuat korban sulit merasakan ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan sehari-harinya.

Rasa jiwa yang bersifat negatif tersebut bagaikan hantu yang mengusik diri korban, sehingga menjadi gangguan buruk yang menyertai aktivitas-aktivitas yang dilakukan korban. Kerugian mental ini berdampak pada kinerja dan produktivitas korban yang membuatnya mengalami kerugian secara materi dan nonmateri.

Meskipun mengalami KBGO, korban tidak tinggal diam dan stagnan. Sebagaimana dalam analisis di atas, korban melakukan beberapa langkah keamanan dan mendapatkan advokasi dari orang-orang sekitar.

Kendati demikain, keluarga memberikan respons lebih besar untuk menindak pelaku daripada menenangkan korban, korban memahami hal tersebut sebagai respon seketika atas kurangnya pemahaman perihal advokasi yang sebaiknya atas kasus KBGO yang dimiliki oleh keluarganya. Langkah-langkah tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja ketika mengalami KBGO, baik yang dialami diri sendiri atau orang yang dikenal.

KBGO, Kekerasan Selalu Menyesuaikan Kondisi Zaman

[OPINI] Kekerasan Berbasis Gender Online: Ilmu Hitam Era DigitalIlustrasi kasus pelecehan seksual (IDN Times)

Fenomena KBGO merupakan bukti nyata yang menjadi hukum alam, bahwasanya bentuk dan jenis tindak kekerasan itu selalu menyesuaikan kondisi zaman. Termasuk di era digital saat ini, kekerasan memiliki ruang yang selalu tidak dapat dihindarkan.

Kendati dalam melakukan kekerasan berbasis gender tidak lagi dengan menggunakan ilmu hitam, nyatanya KBGO memiliki sifat yang sama dengan ilmu hitam tersebut secara teknis. Seperti dalam kasus mendapatkan lawan jenis yang disukai, pelaku menggunakan cara-cara yang tidak disetujui (consent) oleh korban.

Apa saja persamaan sifat dari dua hal tersebut:

  1. Tubuh korban sebagai objek. Jika dalam ilmu hitam menggunakan tubuh korban sebagai objek, maka dalam KBGO, tubuh digital adalah objeknya. Orang dahulu sangat menjaga privasi tubuh yang dimiliki, seperti tidak membagi informasi hari lahir dan weton, tidak menjemur pakaian dalam yang berpotensi dapat diambil, berhati-hati membuang anggota tubuh yang dibersihkan yang rentan menjadi perantara santet (rambut, kuku, dan sejenisnya), tidak membagi potret diri, dan masih banyak lagi. Hal serupa juga harus dilakukan orang masa kini untuk menghindari KBGO dengan menjaga privasi tubuh digitalnya (akun media sosial dan sejenisnya), seperti dengan tidak membagikan informasi pribadi, memisahkan akun pribadi dan bisnis, memasang kata kunci yang kuat, menghindari menyalakan fitur lokasi nyata saat tidak dibutuhkan, dan bergabung dengan kelompok dukungan (Salsabila Putri Pertiwi: Konde.co, 2024).
  2. Kecepatan merusak, menyengsarakan, mencapai tujuan yang cepat. Sifatnya sama lainnya antara ilmu hitam dan KBGO dalam hal kekerasan berbasis gender adalah relatifitas waktu yang cepat dalam mencapai tujuan pelaku. Jika dahulu orang-orang yang menginginkan korbannya memenuhi tuntutan atau hasratnya dengan jasa ‘jin’ yang kasat mata, maka di era digital ini pelaku menggunakan jasa teknologi yang kasat mata pula. Baik jin maupun internet, keduanya adalah media yang bersifat sangat cepat dalam menyampaikan sebuah hal, termasuk untuk melakukan kekerasan yang umumnya berbasis gender.
  3. Dampak yang diakibatkan. Sifat lainnya yang sama-sama melekat pada ilmu hitam dan KBGO adalah dampak yang diakibatkan olehnya. Dua tindakan kekerasan ini sama-sama menimbulkan dampak negatif bagi korban, baik bersifat fisik dan psikis, bahkan keduanya sama-sama berpotensi mencapai dampak terburuk, yakni kematian yang mengintai korban.

Dengan kata lain, KBGO dan ilmu hitam merupakan tindak kekerasan yang harus sama-sama kita cegah dan hindari dengan menambah pengetahuan terkait segala hal yang berhubungan dengannya. Sehingga, kita dapat menjauhkan diri dan orang-orang sekitar untuk menjadi pelaku, atau juga korban, dari KBGO yang mengancam kebahagiaan hidup sesama makhluk Tuhan di muka bumi ini.

Artikel ini merupakan tulisan opini yang ditulis oleh Pegiat Isu Perempuan, Aspiyah Kasdini R A.

Baca Juga: Nah Lho! Kekerasan Seksual Makin Meningkat, Korbannya Juga Laki-laki

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya