EBT Bukan Untuk Meniadakan Energi Fosil, Siapkah Indonesia Dengan EBT?

Investasi EBT masih sangat mahal dan suplai belum ajeg

Semarang, IDN Times - Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengingatkan rencana peralihan ke energi baru terbarukan (EBT) jangan sampai meniadakan keberadaan energi berbahan fosil.

Menurutnya kebijakan pemerintah mendukung EBT jangan sampai malah menelantarkan yang saat ini masih menjadi penopang utama pemenuhan energi di Indonesia, bahkan juga di dunia.

1. Investasi EBT masih sangat mahal dan belum mampu menyediakan energi secara teratur

EBT Bukan Untuk Meniadakan Energi Fosil, Siapkah Indonesia Dengan EBT?PLN terus meningkatkan bauran EBT di sektor kelistrikan (dok. PLN)

Pada diskusi yang digelar Pertamina Patra Niaga Jawa Bagian Tengah, Kamis (4/11/2021) Komeidi mengatakan Indonesia agar tak latah dan memaksakan diri menerapkan EBT, pasalnya menurut Komaidi penggunaan energi fosil saat ini masih terbukti lebih murah dibandingakan EBT.

Ia menjelaskan meski EBT terlihat menggunakan sumber yang berlimpah namun EBT masih memiliki kelemahan yang menyebabkan harganya lebih mahal dibanding energi fosil.

Contoh EBT seperti diantaranya pembangkit tenaga angin, air, dan surya saat ini masih belum bisa memberi pasokan energi secara teratur. "Tenaga angin, air dan surya masih sangat tergantung kepada cuaca dan belum bisa menyediakan energi secara ajeg. Oleh karena itu EBT sifatnya menurut saya masih komplementer bukan meniadakan energi berbahan fosil," katanya.

2. Energi baru dan terbarukan bukan untuk meniadakan keberadaan sumber energi berbahan fosil

EBT Bukan Untuk Meniadakan Energi Fosil, Siapkah Indonesia Dengan EBT?IDN Times/Hana Adi Perdana

Menurut dia, penggunaan energi fosil, terutama batu bara, sampai saat ini terbukti lebih murah apalagi Indonesia memiliki cadangan batu bara untuk kebutuhan hingga 60
tahun.

Saat ini menurutnya produksi batu bara Indonesia setiap tahun sekitar 600 juta ton, 140 juta ton dikonsumsi dalam negeri dan sisanya diekspor.

Belajar dari pengalaman negara maju yang sebelumnya berkomitmen menerapkan EBT dan pada akhirnya kembali menggunakan energi fosil, Indonesia menurut Komeidi jauh belum siap jika harus menerapkannya dalam waktu dekat.

Disebutkannya saat ini kebijakan yang mesti dilakukan pemerintah yakni kebijakan EBT terus dijalankan, namun tidak meniadakan keberadaan sumber energi berbahan fosil. "EBT sifatnya komplementer, bukan meniadakan energi berbahan fosil," katanya.

"Jangan sampai euforia EBT menjadikan energi fosil telantar gara-gara kita belum siap. Dua-duanya harus jalan, tidak bisa saling meniadakan," katanya.

3. Komaidi menduga lingkungan bukan isu utama EBT

EBT Bukan Untuk Meniadakan Energi Fosil, Siapkah Indonesia Dengan EBT?Ilustrasi perubahan iklim (Unsplash/Ciprian Morar)

Komaidi menduga kencangnya isu desakan percepatan penerapan EBT beberapa waktu terakhir tak murni terkait isu lingkungan. Ia menduga negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat yang mendesakan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) di masa mendatang sebagai bagian dari perang dagang antara barat dan negara-negara di Asia.

"Yang terjadi sekarang ini Eropa dan Amerika Serikat kalah bersaing dari India dan Tiongkok yang mampu memproduksi dengan harga lebih murah," katanya.

Ia mencontohkan krisis minyak yang ditandai dengan melambungnya harga minyak pada 2020-2021 mendorong sejumlah negara termasuk Inggris yang berkomitmen meninggalkan energi fosil dan beralih ke EBT kembali menggunakan batu bara yang harganya memang lebih murah.

"Jadi, jangan sampai kita terlindas pertarungan antargajah, di mana Asia yang diwakili Tiongkok dan India dengan Eropa dan AS," katanya.

4. Target realisasi EBT Indonesia di atas Amerika Serikat

EBT Bukan Untuk Meniadakan Energi Fosil, Siapkah Indonesia Dengan EBT?pv-magazine.de

Sementara itu berdasarkan realisasi bauran energi di Indonesia pada 2020 terdiri atas 19,16 persen gas Bumi, EBT (11,2 persen), minyak Bumi (31,6 persen), dan batu bara 38,04 persen.

Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional 2025, dengan penggunaan 400 million or mega tonnes of oil equivalent (MTOE), bauran energi ditargetkan dengan komposisi EBT 30 persen, gas 22 persen, minyak 25 persen, dan batu bara 23 persen.

Menurut dia, sebenarnya persentase EBT Indonesia saat ini (2021) sudah lebih besar dibanding AS yang hanya 12 persen, sedangkan Indonesia 14 persen.

5. Ekonomi hijau belum cocok diterapkan di Indonesia

EBT Bukan Untuk Meniadakan Energi Fosil, Siapkah Indonesia Dengan EBT?Pakansari Green City

Mengutip Kurva Kuznets, Komaidi menjelaskan ekonomi hijau (green economy) lebih cocok diterapkan di negara-negara dengan pendapatan USD 50.000 per kapita.

"Kita baru 3.500-4.000. Apakah kita mau disepadankan dengan negara-negara maju?" katanya.

"Bukannya anti dengan EBT, namun pemerintah perlu bijak untuk bisa menerapkannya," katanya.    

Baca Juga: Punya Anak Usaha Baru, PLN Fokus Bangun Pembangkit EBT 

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya