Transisi Energi, Pintu Masuk Green Jobs 40 Kali Penonton Bola San Siro

Solusi persoalan ketenagakerjaan dan lingkungan

Kedua mata Kahfi serius memandangi monitor laptop di pojok ruangan sebuah kafe kopi di Semarang. Sesekali ia harus mendekatkan pandangan ke layar untuk mengecek email yang masuk serta memastikan laporan-laporannya benar-benar telah terkirim.

Pria bernama lengkap Ashabul Kahfi itu menikmati pekerjaannya sebagai peneliti yang berfokus pada isu-isu lingkungan dan energi. Ia bekerja secara independen dan jarak jauh (remote).

Meski tak memiliki kantor fisik, Kahfi justru sering menerima tawaran proyek-proyek penelitian soal lingkungan dan energi. Di antaranya datang dari perusahaan, lembaga, organisasi nirlaba, atau perseorangan seperti pakar dan dosen.

Project terakhirnya meneliti potensi jejak karbon di sejumlah tempat di lingkungan pendidikan di Semarang, yang selesai akhir tahun 2022.

Kahfi mengaku jika profesinya tersebut merupakan bagian dari pekerjaan hijau (green jobs). Dengan bekerja remote, ia meyakini aktivitasnya banyak mengurangi emisi karbon.

"Saya bekerja remote, sudah pasti mengurangi (emisi) karbon karena drive less dan tidak mengonsumsi banyak kertas untuk kebutuhan dokumen," kata lulusan Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (Unnes) tahun 2022 itu kepada IDN Times, Jumat (25/6/2023).

Relasi kemanusiaan

Transisi Energi, Pintu Masuk Green Jobs 40 Kali Penonton Bola San SiroPeneliti Lingkungan dan Energi, Ashabul Kahfi. (IDN Times/Dhana Kencana)

Green jobs secara umum didefinisikan sebagai pekerjaan yang layak, inklusif secara sosial, rendah emisi, dan ikut berkontribusi terhadap perlindungan lingkungan dan sumber daya alam.

Dari makna tersebut, Kahfi menyadari secara tidak langsung jika dirinya menjadi agen perubahan (agent of change) lingkungan dan energi, baik untuk klien atau diri sendiri. 

"Pastinya (pekerjaan ini) memengaruhi pemikiran dan tindakan. Sebagai contoh, mereka (klien) bisa lebih mengerti soal lingkungan, peduli terhadap lingkungan, yang pastinya berdampak pada bisnis, supply chain, dan keberlanjutannya. Sedikit apa yang saya sampaikan dan contohkan, baik di dalam atau di luar konteks pekerjaan, semoga bisa menambah literasi dan pemahaman mereka. Karena berbicara mengenai lingkungan dan energi ada relasi kemanusiaan di sana," aku Kahfi yang merupakan perantau asal Karangasem, Bali.

Meski banyak memberikan nilai-nilai positif, green jobs masih belum populer dan diminati terutama bagi kalangan usia produktif. Ia mencontohkan, dari 250-an fresh graduate satu angkatan, hanya 5 persen yang berkarier di bidang green jobs

Kondisi tersebut dikarenakan masih minimnya ketersediaan peluang dan tawaran, serta perbedaan pandangan mengenai keahlian dan jenjang karier green jobs ke depannya.

"Sebagian besar masih menganggap green jobs sebagai pekerjaan yang sulit karena selalu berhubungan dengan hal-hal teknis, harus bersertifikasi khusus, dan tidak memiliki jenjang karir yang jelas. Padahal sebaliknya, green jobs tidak selalu berhubungan dengan sesuatu yang teknis. Seperti saya ini bisa jadi peneliti di sektor energi. Atau siapa saja, misalnya akuntan, legal, HR, dan komunikasi, juga bisa berkarier di green jobs. Bicara peluang (green jobs di sektor energi), pastinya lebih menjanjikan ke depan," ucap Kahfi dengan penuh keyakinan.

Mengasah kepekaan diri

Transisi Energi, Pintu Masuk Green Jobs 40 Kali Penonton Bola San SiroIlustrasi pekerja. (Pexels.com/Los Muertos Crew)

Afif Nur Ayu Shadrina menyampaikan hal senada. Sebagai seorang perempuan, ia bangga dan tidak canggung bekerja menjadi Field Engineer (Teknisi Lapangan) di perusahaan rintisan (startup) energi terbarukan bernama Xurya Daya Indonesia.

Startup tersebut bergerak di bidang jasa sewa dan instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dengan pangsa pasar komersial dan industri.

Sejak beroperasi tahun 2018, Xurya telah menangani lebih dari 100 proyek PLTS Atap yang tersebar di Indonesia dan menciptakan peluang sebanyak 3.100 green jobs.

"Dampak positif pekerjaan ini ke diri sendiri sangat terasa, mulai dari cara berpikir dan bertindak. Kepekaan diri terasah. Karier (green jobs di sektor energi) berkembang, karena tidak semata bekerja juga ikut melestarikan (lingkungan)," kata perempuan berusia 26 tahun itu saat bertemu IDN Times, Jumat (30/6/2023).

Ayu, yang merupakan lulusan Politeknik Elektronika Negeri Surabaya tahun 2018 menilai, green jobs menjadi pekerjaan yang layak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjunjung tinggi kesetaraan gender, yang mana keduanya selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG's) nomor delapan dan lima.

Apalagi, green jobs menjadi solusi dua persoalan sekaligus saat ini. Yaitu masalah ketenagakerjaan dan masalah lingkungan, khususnya di sektor energi, seiring dengan target pemerintah untuk mengejar target emisi nol bersih (Net Zero Emission/ NZE) tahun 2060 atau lebih cepat.

"Pekerjaan ini layak (bagi siapa pun) karena produktif, ada pengembangan diri, dan jaminan keamanan di tempat kerja sehingga inklusif dan berkeadilan. Untuk gender, tidak ada pembeda, jadi setara. Secara tidak langsung (saya) menjadi role model (panutan) untuk menularkan virus-virus kebaikan di lingkup terkecil, keluarga, saudara, dan teman, bagaimana menghemat dan mengelola energi, bagaimana peduli terhadap lingkungan," imbuh Ayu.

Baca Juga: [FOTO] Energi Bersih Pertamina Mewujudkan Perempuan Bondan Bercahaya

Implementasi kunci

Transisi Energi, Pintu Masuk Green Jobs 40 Kali Penonton Bola San SiroSanim Permana (40) melakukan perawatan panel surya di area Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida (PLTH) E-Mas Bayu di Dusun Bondan, Desa Ujungalang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah (IDN Times/Dhana Kencana)

Sektor energi menjadi kontributor terbesar urutan pertama penghasil emisi karbon di Indonesia. Jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun.

Indonesia berkomitmen untuk bertransisi energi sebagai upaya mengurangi emisi karbon tersebut. Hal itu juga telah disepakati pada ajang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali tahun 2022.

Dalam peta jalan (roadmap) transisi energi sebagaimana telah ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) PP Nomor 79 Tahun 2014 dan Kebijakan Energi Nasional (KEN) Perpres Nomor 22 Tahun 2017, target pengurangan emisi tersebut hingga tahun 2025 sebesar 231,2 juta ton CO2. Sedangkan di tahun 2030, pengurangan emisi CO2 mencapai 327,9 juta ton.

Pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan menjadi salah satu implementasi kunci dari transisi energi.

Situasi tersebut membuka banyak kesempatan green jobs. Pasalnya, peningkatan jumlah pembangkitan listrik dari energi terbarukan harus diimbangi dengan pertumbuhan tenaga kerja yang kompeten di bidangnya.

Peneliti Sosial dan Ekonomi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Martha Jesica Solomasi Mendrofa mengatakan, terbukanya peluang tersebut dikarenakan adanya kebutuhan dan permintaan dari industri energi terbarukan yang saat ini masih belum termanfaatkan dengan baik, dari sisi kapasitas dan instalasinya.

Melansir laporan Capaian Kinerja Kementerian ESDM, bauran energi terbarukan untuk pembangkitan listrik hingga tahun 2022 mencapai 14,11 persen dengan kapasitas terpasang sebanyak 12,542 Gigawatt (GW).

Masih mengacu roadmap transisi energi, bauran energi primer dari energi terbarukan ikut ditargetkan mencapai 23 persen pada tahun 2025 dengan kapasitas terpasang 45,2 GW dan 31 persen dengan kapasitas terpasang 167,7 GW pada tahun 2050.

Transisi Energi, Pintu Masuk Green Jobs 40 Kali Penonton Bola San Siroilustrasi lowongan kerja (IDN Times/Nathan Manaloe)

Upaya untuk mengejar target tersebut membuka jalan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.

Martha menambahkan, jika skenario transisi energi melalui pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkit listrik mencapai 100 persen, maka pada tahun 2040 akan tercipta green jobs sebanyak 3,2 lapangan kerja.

"Pertumbuhan industri energi terbarukan berpotensi membuka banyak peluang green jobs. Dominasi terbanyak (green jobs) ada di bidang bioenergi dan teknologi surya. Tingginya permintaan green jobs akan menggeser permintaan lapangan kerja (konvensional) ke aktivitas di sektor energi bersih," katanya dilansir keterangan resmi laman IESR, Jumat (22/7/2023).

Komitmen bertransisi energi membutuhkan dukungan ketersediaan tenaga kerja (human capital) yang memadai secara kapabilitas dan kompetensi. Seiring berkembangnya industri energi terbarukan, penyiapan tenaga kerja yang terampil menjadi sebuah tuntutan.

Martha menyatakan, untuk menutupi kesenjangan tersebut, memerlukan kebijakan pasar tenaga kerja, program pendidikan, dan pelatihan berwawasan modern sebagai bagian dari kesiapan tenaga kerja.

Berkesinambungan

Transisi Energi, Pintu Masuk Green Jobs 40 Kali Penonton Bola San SiroSekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana. (IDN Times/Vamela Aurina)

Transisi energi memerlukan peralihan teknologi, pekerjaan, dan kesempatan ekonomi lainnya sehingga berkelanjutan. Untuk itu, keterampilan dan keahlian baru sebisa mungkin dibangun secara domestik guna mendukung terjadinya perubahan. Khususnya dalam penyiapan sumber daya manusia (SDM).

Kementerian ESDM melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Energi dan Sumber Daya Mineral (BPSDM ESDM) mengambil peran dalam penyiapan SDM melalui pendidikan dan pelatihan di bidang energi terbarukan. Selain itu, melakukan reskilling dan upskilling yang melibatkan swasta untuk menguji dan menerbitkan sertifikasi kompetensi bagi pekerja di industri energi.

Salah satunya dengan menggelar Human Capital Summit 2023 pada Selasa (21/3/2023) di Jakarta. Kepala BPSDM Kementerian ESDM, Prahoro Yulijanto Nurtjahyo mengatakan, untuk melaksanakan transisi energi dan untuk mewujudkannya diperlukan SDM yang kompeten dan memiliki kapasitas yang baik.

"Kalau bicara terkait NZE seringkali membicarakan masalah programnya, roadmap seperti apa. Tetapi sampai hari ini, belum membahas terkait kesiapan SDM-nya. Jadi (Human Capital Summit 2023) ini untuk melihat kesiapan SDM kita itu sampai di mana. Ini langkah nyata sinergi dan kolaborasi antarinstitusi," tuturnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana menyebutkan jika transisi energi berkelanjutan dilakukan secara meluas, akan berimbas pada terbukanya lapangan kerja baru dan kesempatan ekonomi yang luas.

"Sebagai contoh program co-firing biomass menyerap tenaga kerja sekitar 1.300 orang. Program gasifikasi batu bara (Dimethyl Ether/ DME) menyerap tenaga kerja sekitar 8--11 ribu orang. Di samping itu, pelatihan-pelatihan agar para pekerja di sektor pertambangan dapat beralih ke energi baru terbarukan. Lalu, pelatihan yang mendukung proses transisi energi, baik di sisi hulu, antara lain Pelatihan Solar PV, Hydro, Wind and Geothermal dan sisi hilir seperti aplikasi Penyimpanan Energi dan Mobil Listrik," katanya usai membuka acara tersebut.

Transisi Energi, Pintu Masuk Green Jobs 40 Kali Penonton Bola San SiroIlustrasi wisuda (IDN Times/Mardya Shakti)

Politeknik Energi dan Mineral (PEM) Akamigas ikut menjadi instrumen mengakselerasi penyiapan SDM di sektor energi terbarukan.

Salah satu lulusan terbaik tahun 2023 dari kampus yang berlokasi di Cepu, Blora tersebut adalah Akbar Pratama. Selain bidang migas, ia ikut mempelajari banyak hal mengenai energi terbarukan dan spesifiknya soal PLTS Atap melalui Program Kampus Merdeka Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (Gerilya).

Akbar berharap, setelah prosesi wisuda pada Selasa (18/7/2023), ilmu yang didapatkan selama berkuliah bisa berkontribusi nyata bagi masyarakat--baik dari sektor migas atau energi terbarukan--dalam agenda transisi energi.

“Gerilya menyediakan ruang bagi mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman mengetahui dunia profesi dan menciptakan tenaga kerja yang profesional khususnya di bidang industri energi terbarukan. Saya bersyukur bisa mengikuti program Gerilya, banyak tambahan ilmu pengetahuan mengenai energi terbarukan khususnya tenaga surya serta pengalaman menerapkan pengetahuan langsung praktik di lapangan,” katanya yang sukses meraih IPK mencapai 3,9.

Baca Juga: [FOTO] Green Refinery, Wujud Transisi Energi Pertamina Kurangi Emisi

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya