Lebih Untung, Petani Pekalongan Dibekali Ilmu Tanam Metode SRI

Pekalongan, IDN Times - Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana kembali menggalakkan sistem tanam dengan teknologi System of Rice Intensification (SRI) kepada para petani di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Teknologi sistem tanam tersebut diyakini dapat meningkatkan taraf hidup petani untuk berkembang dan mandiri secara ekonomi.
1. Teknologi tepat guna untuk para petani
Berdasarkan keterangan dari BBWS Pemali Juana yang didapat IDN Times, teknologi SRI merupakan teknologi budidaya padi, yang menitikberatkan pada penghematan sumber daya air. Teknologi tersebut juga diklaim ramah lingkungan.
Meski demikian, metode yang dikembangkan di India tersebut masih belum banyak diterapkan oleh para petani khususnya di Jawa Tengah. Padahal hasil panen padinya lebih bagus dibandingkan padi yang ditanam secara konvensional.
"Metode SRI bagus untuk petani. Karena petani tidak terbiasa mengubah kebiasaan (menanam konvensional). Metode ini diatur sedemikain rupa, bagaimana pembibitan dan penanamannya, satu tangkai satu tangkai tertentu. Itu (metode SRI) digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani," kata Kepala BBWS Pemali Juana, Ruhban Ruzziyanto kepada IDN Times, Selasa (27/8).
2. Sosialisasi langsung metode SRI di lapangan
Salah satu sosialisasi dilakukan saat kegiatan Hari Lapang Tani Kedua atau Panen Raya, di Daerah Irigasi (DI) Pesantren Kletak, yang letaknya di Desa Wonoyoso Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan.
Di lokasi tersebut, terdapat demonstrasi farming (demfarm) atau lahan percontohan yang telah ditanam menggunakan metode SRI.
Para petani yang hadir, dipersilakan untuk melihat secara langsung hasil panen padi yang menggunakan metode SRI, dengan benih Ciherang yang berumur 14 hari. Mereka juga diberikan gambaran dan penjelasan, terkait banyaknya keuntungan serta pendapatan yang didapat apabila menanam dengan metode tersebut.
Baca Juga: Mendekati Panen Raya, Petani Bawang Merah di Bantul Justru Resah
3. Hasil panen bisa lebih cepat
Pada lahan demfarm seluas 5 hektare di lokasi tersebut, ditanam benih padi dengan metode SRI. Penanaman dimulai pada 22 Mei 2019 lalu dan sudah bisa dipanen pada 27 Agustus 2019, atau sekitar 110 hari.
Rata-rata hasil beras yang dihasilkan di lahan tersebut per hektare-nya mencapai 8,693 ton.
"Bedanya (metode SRI) pertumbuhannya lebih banyak. Bisa dipanen lebih cepat," jelas Danuri, salah satu petani yang telah menggunakan metode SRI.
4. Jumlah bibit dan biaya produksi lebih hemat
Dari hasil perhitungan, bibit yang digunakan untuk menanam padi menggunakan metode SRI hanya membutuhkan sekitar tujuh kilogram untuk setiap satu hektare sawah. Dibandingkan metode konvensional, harus membutuhkan 25 kilogram bibit per satu hektare sawah.
Sementara untuk biaya produksi, metode SRI diyakini lebih murah. Penggunaan biaya produksi pada SRI untuk sekali tanam per satu hektare sawah sekitar Rp20,198 juta. Sedangkan metode konvensional biaya produksinya tembus Rp20,580 juta.
5. Harga jualnya lebih menjanjikan
Terkait hasil panen, beras yang dihasilkan melalui metode SRI rata-rata tembus di angka 9 ton per hektare. Kalau memakai metode tanam konvensional, rata-rata hanya 6,95 ton per hektare.
Adapun untuk harga jualnya, beras dari metode SRI per hektare-nya mencapai Rp46,800 juta. Untuk konvensional hanya Rp35,880 juta per hektare.
"Ini merupakan usaha pemerintah, bagaimana caranya untuk meningkatkan taraf hidup petani, agar berkembang dan mandiri. Hanya mengubah pola kebiasaan petani, untuk meningkatkan produksi pertanian," terang Ruhban.
5. Tantangannya adalah kebiasaan dari para petani
Dengan adanya sosialisasi ini, imbuh Ruhban, bisa mendidik dan mengubah kebiasaan para petani, agar mereka menjadi petani yang cerdik, bisa memanfaatkan air seminimal mungkin dan meningkatkan produksi panennya, dengan metode tanam SRI.
"Cuma memang mengubah kebiasaan petani tidak mudah. Tapi kita tidak lelah memberikan pembelajaran (metode SRI) itu. Termasuk juga akan memberikan info pangsa pasar (jualan beras) untuk mereka," ujar Ruhban.
Baca Juga: Padi Hibrida Bisa Jadi Alternatif Peningkatan Produksi Beras