LTHE dan SKEM, Esensi Kunci Transisi dengan Efisiensi Energi

Efisiensi punya peran vital dalam ketahanan energi

Masyarakat lanjut usia (lansia) masuk ke dalam kelompok rentan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

Oleh karenanya, Kementerian PPN/Bappenas mengategorikan mereka sebagai kelompok difabel karena menurunnya fungsi fisik dan mental akibat proses penuaan.

Kenyamanan menjadi prioritas hidup para lansia. Termasuk pilihan mereka untuk tetap tinggal di rumah, tidak di panti jompo. Hal itu dilakukan semata agar senantiasa dekat dengan keluarga, bisa berkegiatan, dan bersosialisasi dengan sesama.

Meski demikian, tidak jarang dari mereka yang terganggu kualitas tidurnya karena pengaruh suhu Bumi sebagai dampak dari krisis iklim. Pasalnya, peningkatan suhu tersebut mengakibatkan kondisi saat Malam hari menjadi lebih panas.

Peningkatan suhu memengaruhi kualitas tidur

LTHE dan SKEM, Esensi Kunci Transisi dengan Efisiensi EnergiIlustrasi kamar tidur lansia (Pexels.com/Ron Lach)

Ilmuwan dan peneliti dari University of Copenhagen Denmark, Kelton Minor menjelaskan, efek suhu tinggi mengakibatkan jam tidur setiap manusia di seluruh Dunia berkurang rata-rata 44 jam per tahun.

Kondisi itu banyak dialami oleh para perempuan dan yang paling terdampak adalah kalangan lansia karena metabolisme mereka sudah melambat.

"Secara natural, tubuh manusia harus lebih dahulu menurunkan suhu untuk menghadirkan hawa sejuk yang membuat nyaman. Dengan kondisi yang tidak mendukung kenyamanan (karena panas), akan sulit mendapatkan tidur yang berkualitas," tulisnya dalam jurnal berjudul Rising Temperatures Erode Human Sleep Globally yang dipublikasikan penerbit Belanda, Elseviser pada 20 Mei 2022.

Emi ikut merasakan situasi tersebut. Perempuan berusia 61 tahun itu mengaku jika suhu di Demak, Jawa Tengah--tempat tinggalnya--yang tidak menentu ikut memengaruhi kebugaran, termasuk kualitas tidurnya.

Ia memutuskan menggunakan teknologi alat pengondisi udara (air conditioner/ AC) untuk mengatasi hal tersebut.

Dengan memakai AC, ruangan menjadi lebih dingin dan nyaman untuk tidur, sebagaimana fungsinya sebagai alat pengondisi udara bisa menambah dan mengurangi kelembapan, mengubah suhu, filtrasi, dan memurnikan udara.

"Belinya (sama anak) tahun 2018. Waktu itu pertimbangan karena hawa, gimana caranya bisa nyaman di rumah. Akhirnya beli AC kecil-kecilan yang 0,5 PK (Paard Kracht). Milihnya yang ada label hemat energi karena ternyata berpengaruh sama daya listrik di rumah," katanya yang bernama lengkap Emi Irianti itu saat ditemui IDN Times, Jumat (28/7/2023).

LTHE dan SKEM, Esensi Kunci Transisi dengan Efisiensi EnergiEmi (kanan) menyalakan AC berlabel hemat energi di rumahnya. (IDN Times/Dhana Kencana)

AC milik Emi bermerek Daikin model FTC15NV14 dengan tipe noninverter berdaya 373,10 watt. Kapasitas pendinginnya mencapai 4.848,11 British Thermal Unit per hour (BTU/h).

Yang tampak berbeda pada AC tersebut dengan AC pada umumnya adalah terdapat label hemat energi. Stiker itu merupakan Label Tanda Hemat Energi (LTHE) dan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) dari Kementerian ESDM yang menunjukkan tingkat efisiensi energi pada peralatan elektronik seperti AC.

Dari label tersebut, diketahui AC milik Emi berbintang 4 dengan nilai efisiensi (Energy Eficiency Ratio/ EER atau Cooling Seasonal Performance Factor/ CSPF) sebesar 12,99. Dengan asumsi penggunaan selama 8 jam per hari, biaya listrik per tahunnya mencapai Rp1.598.226 dengan konsumsi energi tahunan sebesar 1089 Kilowatt jam (KwH).

"Untuk penggunaan hemat banget (konsumsi energinya), ya. Pakai AC (hemat energi) ini biaya listrik per bulan gak naik tinggi, masih normal Rp400 ribu, bahkan bisa di bawah itu. Soalnya saya di rumah juga ada 2 kulkas, (pakai) yang juga hemat energi. Kata yang jual kalau tanda bintang di stiker (LTHE dan SKEM) banyak, artinya peralatan elektronik yang dipakai lebih hemat (energi)," ujar Emi.

Baca Juga: [FOTO] Energi Bersih Pertamina Mewujudkan Perempuan Bondan Bercahaya

Yang murah belum tentu ramah

LTHE dan SKEM, Esensi Kunci Transisi dengan Efisiensi EnergiIlustrasi pekerja mengecek kondisi AC. (Freepik/Pressfoto)

Label LTHE dan SKEM menjadi acuan dan solusi khususnya bagi kalangan rumah tangga dalam menggunakan peralatan elektronik yang hemat energi dan ramah lingkungan.

Kecenderungannya, alih-alih menghemat biaya dengan membeli produk elektronik yang murah, justru sering mengeluarkan biaya operasional lebih tinggi, sehingga rentan meningkatkan timbulan sampah elektronik.

Salah satu penjual AC di Semarang, Tiyok mengatakan, tren pembelian dan penggunaan AC hemat energi makin meluas di kalangan rumah tangga. Keawetan penggunaan dalam jangka waktu yang lama dengan daya listrik (Watt) lebih rendah menjadi faktor utama AC hemat energi laku keras di pasaran.

Ia ikut mengedukasi pelanggannya yang kerap kebingungan membeli AC biasa dengan AC yang hemat energi berlabelkan LTHE dan SKEM.

"Kalau harga dengan (AC) biasa (tidak hemat energi), selisih jauh. Investasinya di teknologinya (hemat energi). Kalau beli (AC) murah, seringnya pelanggan gak awet, gak sampai setahun sudah ganti. Kayak sering trouble, gak dingin, dan kendala kelistrikan. Malah seringnya menyesal pakai AC kok malah tagihan listrik naik tinggi. Akhirnya ganti lagi, kan eman-eman." tuturnya, Sabtu (29/7/2023).

Kreditabel sebuah label

LTHE dan SKEM, Esensi Kunci Transisi dengan Efisiensi EnergiIlustrasi menyalakan AC (freepik.com/Shayne_ch13)

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, kecenderungan masyarakat yang lebih memilih menggunakan produk elektronik murah menjadi tantangan dalam menerapkan dan mengejar target efisiensi energi sebanyak 17 persen di tahun 2025 yang telah ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN).

"Harga masih menjadi penentu utama masyarakat ketika membeli barang elektronik, dibandingkan dengan memperhatikan fungsi, kualitas, apalagi efisiensi energi dari peralatan elektronik tersebut," katanya.

Di sisi lain, kebutuhan AC di Indonesia--mengacu data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tahun 2022--mencapai 2 juta unit per tahun. Adapun, tingkat pertumbuhannya berdasarkan riset Lawrence Berkeley National Laboratory tahun 2013 mencapai 10--15 persen.

Analisis Badan Energi Internasional (International Energy Agency/ IEA) menyebutkan, kondisi tersebut memicu peningkatan konsumsi listrik di Asia Tenggara--termasuk di Indonesia--pada tahun 2050.

Melalui penerapan LTHE dan SKEM, target efisiensi energi berdasarkan permintaan (demand) tersebut bisa mencapai 2.208 Gigawatt jam (GWh) atau setara dengan Rp3,2 triliun per tahun.

Dengan begitu, LTHE dan SKEM mampu menjadi tools dalam mengatur tingkat pemakaian energi, spesifiknya pada peralatan elektronik AC. Sebab, sejumlah negara seperti Singapura, Denmark, dan India telah menerapkan hal serupa.

Insentif agar agresif

LTHE dan SKEM, Esensi Kunci Transisi dengan Efisiensi EnergiIlustrasi mengatur suhu AC atau air conditioner (freepik.com/freepik)

LTHE dan SKEM menjadi instrumen kebijakan untuk mendorong pemanfaatan efisiensi energi pada peralatan elektronik AC, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 57 tahun 2017.

Labelisasi keduanya sudah berjalan sejak 1 Agustus 2020. Sejak saat itu, syarat minimum AC yang boleh dijual di pasaran hanya yang berbintang tiga, dengan rentang angka EER 9,94—10,41.

Penerapan teknologi hemat energi tersebut dapat membangun kesadaran masyarakat--sebagai pengguna energi--dalam mengonsumsi energi.

Secara tidak langsung, efisiensi energi memainkan peranan penting dalam mengurangi tingginya konsumsi listrik. Hal itu berkorelasi dengan penurunan penggunaan bahan bakar fosil sehingga berpengaruh terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan, namun tidak menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi menurun.

Efisiensi energi menjadi salah satu unsur penting dalam upaya bertransisi energi, sebagaimana telah disepakati pada ajang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali tahun 2022.

Oleh karenanya, efisiensi energi ikut menjadi tolok ukur dalam mencapai target emisi nol bersih (Net Zero Emissions/ NZE) tahun 2060 atau lebih cepat, sebagaimana tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Pakar efisiensi energi yang juga pendiri Usaha Jasa Konservasi Energi (Energy Service Company/ ESCo) PT Enertec Mitra Solusi, Mada Ayu Habsari mengatakan, efisiensi energi menjadi first fuel (bahan bakar pertama) karena upayanya yang cepat, mudah, murah, dan andal dalam dekarbonisasi dan transisi energi sehingga ikut meningkatkan ketahanan energi secara nasional.

"Banyak yang masih tidak sadar dan merasakan dampak positif dari kebermanfaatan efisiensi energi. Efisiensi energi itu dilakukan dengan tetap menerima manfaat yang sama tapi dengan konsumsi energi yang lebih sedikit sehingga tidak mengurangi kenyamanan. Sama-sama merasakan AC yang dingin, tapi dayanya lebih rendah," ucapnya kepada IDN Times, Sabtu (29/7/2023).

Mada berharap, masyarakat yang berinisiatif mau melakukan efisiensi energi--seperti Emi--mendapatkan insentif dari pemerintah. Hal itu dapat memicu masyarakat lain menggunakan produk elektronik yang hemat energi.

Menurutnya, pangsa pasar efisiensi energi untuk kalangan rumah tangga di Indonesia lebih potensial.

"Coba bayangkan pelanggan PLN kelompok rumah tangga sebanyak 82,5 juta (tahun 2021). Kalau mereka bisa efisiensi energi dengan menggunakan produk elektronik hemat energi (tidak hanya AC)? Maka gerakan transisi energi bisa lebih mengena. Saya berharap ada insentif bagi mereka yang membeli barang (elektronik) hemat energi. Diberikan keringanan, apakah mendapatkan diskon atau skema potongan harga sehingga bisa memicu pasar dan masyarakat tersosialisasikan soal efisiensi energi," tandasnya.

Baca Juga: Transisi Energi, Pintu Masuk Green Jobs 40 Kali Penonton Bola San Siro

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya