Mengarifi Hidrogen Hijau, Manifestasi untuk Emisi Bersih Dalam Negeri

Bagian dari coal phase down PLN untuk transisi energi

Sebanyak 196 negara telah berkomitmen untuk menekan laju kenaikan suhu rata-rata Bumi di bawah 2 derajat Celcius. Komitmen tersebut mereka sepakati dan teken bersama dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement), saat pertemuan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) COP 21 di Paris Prancis, 30 November--12 Desember 2015.

Paris Agreement 2015 yang berlaku efektif pada 4 November 2016 itu merupakan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum bagi seluruh anggota PBB untuk bersama-sama berupaya mencegah perubahan iklim.

Tidak terkecuali Indonesia, yang juga berkewajiban menurunkan emisi karbon, melalui gerakan transisi energi. Goal besarnya adalah mencapai target emisi nol bersih (Net Zero Emissions/ NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat, sebagaimana tertulis dalam dokumen Peningkatan Target Kontribusi Nasional (Enhanced Nationally Determined Contribution/ E-NDC) yang dirilis pada Jumat (23/9/2022).

Mengarifi Hidrogen Hijau, Manifestasi untuk Emisi Bersih Dalam NegeriPekerja mengecek tabung yang berisikan hidrogen di Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (20/11/2023). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Hidrogen menjadi sumber energi (energy carrier) yang mampu mempercepat akselerasi transisi energi di Indonesia. Sifatnya yang rendah karbon, berpotensi digunakan untuk dekarbonisasi di bidang industri--termasuk pembangkit--dan transportasi, yang telah lama menggunakan dan sulit untuk lepas dari pemakaian bahan bakar dari fosil.

Adapun, produk sampingan dari pembakaran hidrogen hanya berupa uap air, sehingga tidak berkontribusi menambah emisi karbon dan merusak lingkungan.

Dari berbagai jenis, hidrogen hijau (green hydrogen) menjadi yang ramah lingkungan. Proses elektrolisis atau produksinya bersumber dari energi terbarukan seperti matahari (surya) atau angin.

Metode tersebut menjadi yang paling ideal untuk digunakan dan diterapkan untuk mendukung transisi energi. Pasalnya, seluruh proses produksinya berjalan secara berkelanjutan, bertanggung jawab penuh pada lingkungan, dan konsisten memenuhi target emisi nol bersih.

Managing Director Verne Global, penyedia layanan pusat data bersertifikat netral iklim, Kim Gunnelius menganalisis, penggunaan hidrogen hijau di Eropa dan Amerika meningkat pesat dalam dua tahun terakhir.

Faktornya tidak lain adalah tuntutan untuk menghilangkan bahan bakar fosil dan emisi karbon yang berbahaya demi masa depan yang lebih baik. Selain itu, harga hidrogen hijau menjadi lebih kompetitif di masa depan.

“Faktor-faktor tersebut mampu meningkatkan target dan permintaan (demand) akan energi bersih, menumbuhkan ketersediaan energi yang ramah lingkungan di sebuah negara sehingga EBT untuk pembangkit listrik dapat bertumbuh,” katanya dilansir laman resmi Verne Global, Rabu (20/12/2023).

Pionir Hidrogen Hijau di Tanah Air

Finlandia menjadi negara pertama di Eropa yang memproduksi hidrogen hijau karena keagresifannya mengejar netralitas karbon tahun 2035.

Negeri Seribu Danau itu mengumumkan secara resmi pendirian pabrik hidrogen hijau pertama pada awal tahun 2023 dengan dukungan investasi dari swasta sebesar $76 juta. Kapasitas produksinya mencapai 850 ton hidrogen hijau per tahun.

Selain Finlandia, sejumlah negara telah mengembangkan dan berinvestasi pada hidrogen hijau. Sebut saja Norwegia. Perusahaan dalam negeri bernama Blastr Green Steel mengumumkan investasi pabrik baja senilai $4,3 miliar pada Januari 2023. Pabrik tersebut dilengkapi dengan fasilitas hidrogen hijau yang saling terintegrasi.

Spanyol tidak mau ketinggalan. Perusahaan energi, Cepsa yang berbasis di Madrid kini mengembangkan rantai pasokan hidrogen hijau pertama untuk pasar Eropa bagian selatan dan utara. Mereka menargetkan bisa memasok 6 juta ton hidrogen hijau ke Eropa Barat Laut pada tahun 2030.

Negara-negara bagian di Amerika Serikat (AS) ikut ambil bagian dalam pengembangan hidrogen hijau. Contohnya New York, yang sudah menandatangani perjanjian dengan negara-negara bagian terdekat dan 40 mitra ekosistem hidrogen hijau. Mereka bersama-sama mengembangkan pusat hidrogen regional, untuk mempercepat inovasi dan investasinya di wilayah tersebut.

Mengarifi Hidrogen Hijau, Manifestasi untuk Emisi Bersih Dalam NegeriPetugas keamanan berjaga di samping truk yang mengangkut tabung berisikan hidrogen di Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (20/11/2023). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Bagaimana dengan Indonesia? Rendahnya bauran energi baru terbarukan (EBT) di Tanah Air menjadi pertimbangan utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) memilih menjadi pionir hidrogen hijau. PLN menangkap peluang dan potensi hidrogen hijau yang mampu berkontribusi positif terhadap percepatan transisi energi dalam negeri.

Seperti diketahui, realisasi bauran EBT berdasarkan data Kementerian ESDM pada tahun 2022 baru mencapai 14,11 persen atau hanya naik 0,46 persen dibandingkan tahun 2021 sebesar 13,65 persen.

Adapun, target bauran EBT tahun 2022 sebesar 15,7 persen dan tahun 2025 diharapkan bisa menyentuh angka 23 persen.

PLN menggebrak dengan mengoperasikan 21 pembangkit listrik berjenis PLTU dan PLTGU menjadi Kilang Hidrogen Hijau (Green Hydrogen Plant/ GHP). Inisiasi tersebut secara resmi disampaikan langsung oleh Direktur Utama (Dirut) PLN, Darmawan Prasodjo di PLTGU Tanjung Priok, Senin (20/11/2023).

Produksi hidrogen hijau PLN dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang sudah terpasang di area kedua puluh satu pembangkit tersebut. Kapasitas seluruhnya mencapai 6.780 megawatt per jam (MWh) per tahun.

Tidak hanya internal, produksi hidrogen hijau ikut memanfaatkan sumber lain. Yakni dari sejumlah pembangkit energi terbarukan yang telah mendapatkan sertifikat energi terbarukan (Renewable Energy Certificate/ REC) dari PLN. Jumlah kapasitasnya diperkirakan sebesar 9.535 MWh per tahun.

Target produksi hidrogen hijau dari dua sumber tersebut mencapai 199 ton hidrogen hijau per tahun, untuk mendukung pembentukan ekosistem hidrogen hijau yang dilakukan PLN melalui Green Enabling Transmission.

Rinciannya, sebanyak 75 ton per tahun digunakan untuk kebutuhan operasional pembangkit untuk sistem pendingin generator (cooling generator). Sisanya atau excess capacity sebanyak 124 ton per tahun digunakan untuk mendukung dekarbonisasi di sektor industri dan transportasi.

Keputusan produksi energi hijau menggunakan sumber dari PLTS dan pembangkitan yang sudah tersertifikasi REC menjadi langkah yang realistis PLN. Situasi tersebut tidak lepas dari sisi penawaran dan permintaan pasar di masa mendatang, yang sejalan dengan kebutuhan terhadap produk energi yang ramah lingkungan.

Peneliti Ketahanan Energi Universitas Pertahanan, Nyimas Aljaniah Zahra dalam risetnya berjudul Green Hydrogen Energy Technology for Zero Carbon Emission Realization in Indonesia menyatakan, jika produksi hidrogen seyogianya tidak menggunakan sumber energi terbarukan panas bumi. Hal itu bertujuan untuk lebih meminimalkan biaya produksi, yang berdampak pada harga jual hidrogen hijau ke depannya.

“Karena energi panas bumi lebih mahal dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya. Jika memanfaatkan sumber energi terbarukan selain panas bumi, energi hidrogen hijau segera dapat digunakan (dan terimplementasikan) lebih cepat, dan (target) nol emisi karbon dapat terealisasi lebih cepat,” katanya.

Seperti diketahui, target penurunan emisi karbon dalam negeri di sektor energi sebagaimana termaktub dalam E-NDC pada tahun 2030 sebesar 12,5 persen atau mencapai 358 metrik ton (MTon) CO2eq dengan usaha sendiri dan 15,5 persen atau sekitar 446 MTon CO2eq dengan bantuan internasional, baik dari sisi teknologi, pendanaan, atau peningkatan kapasitas.

Berdikari untuk Transisi Energi Dalam Negeri

Pemanfaatan produk hidrogen hijau dalam jangka pendek diperuntukkan untuk pendinginan generator pada pembangkit listrik milik PLN. Hal itu menjadi bagian dari skenario PLN, Percepatan Energi Terbarukan dengan Penurunan Fase Batubara (Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down) untuk mendukung program transisi energi pemerintah dan merealisasikan target emisi nol bersih tahun 2060 atau lebih cepat.

Strategi tersebut bukan tanpa alasan. BUMN yang berdiri pada 1 Januari 1965 itu sadar jika operasional pembangkit listrik menyumbang hampir setengah dari konsumsi energi. Apalagi, kinerja generator pembangkit yang tidak memiliki sistem pendingin yang efektif, berandil menambah emisi karbon dan merusak lingkungan.

Dari catatan PLN per November 2023, emisi karbon di sektor ketenagalistrikan di Indonesia sebanyak 260 juta metrik ton. Jumlah tersebut dapat meningkat mencapai 1 miliar metrik ton di tahun 2060 jika tidak mendapatkan penanganan dan mitigasi.

Mengarifi Hidrogen Hijau, Manifestasi untuk Emisi Bersih Dalam NegeriWarga melintas dengan latar belakang PLTU Suralaya di Kota Cilegon, Banten, Rabu (6/12/2023). (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

Dirut PLN, Darmawan Prasodjo, saat Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII, Rabu (15/11/2023) mengakui bahwa skenario Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down menjadi yang paling feasible (yang bisa dilakukan) karena sejalan dengan sistem modelling yang dilakukan pihaknya bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Energi Internasional (International Energy Agency/ IEA).

Skenario tersebut berlaku sampai perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/ PPA) PLN dengan pengembang listrik swasta di PLTU-PLTU berakhir. Setelah perjanjian beres, PLN melakukan retrofit. Yaitu, memodifikasi pembangkit yang telah beroperasi menjadi pembangkit baseload (beban listrik dasar) dengan teknologi terkini, sehingga meningkatkan efisiensi, kinerja, dan kapasitas tanpa harus menambah pembangkit baru.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman Hutajulu menjelaskan, pemerintah dan PLN telah sepakat memilih skenario tersebut. Meski demikian, pihaknya tidak menutup kemungkinan apabila dalam perjalannya ke depan terdapat alokasi pendanaan untuk merealisasikan program pensiun dini PLTU.

"Kita masih memerlukan yang disebut (pembangkit) baseload. Walaupun dari (bahan bakar) fosil, tapi ujung-ujungnya tahun 2060 harus nol emisinya. Jadi bukan perang terhadap pembangkit, kita perang terhadap emisi," katanya.

Mengarifi Hidrogen Hijau, Manifestasi untuk Emisi Bersih Dalam NegeriPekerja melakukan pengecekan kestabilan pasokan listrik di ruang kontrol pembangkit listrik di area Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (8/11/2023). (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)

Langkah Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down PLN seirama dengan kerangka kerja transisi energi yang diusulkan oleh Bank Dunia (World Bank), Scaling Up to Phase Down (Meningkatkan hingga Menurunkan Fase).

Kerangka kerja yang dirilis pada April 2023 itu menjadi peta jalan bagi negara-negara berkembang--contohnya Indonesia–yang memerlukan transformasi di sektor ketenagalistrikan untuk transisi energi. Mulai dari peningkatan efisiensi energi, pemanfaatan energi terbarukan, dan penghentian pembangkit listrik berbahan baku fosil (batu bara dan gas) secara bertahap.

Bank Dunia mengakui jika transisi energi yang berkeadilan di sektor ketenagalistrikan membutuhkan pembiayaan yang lebih besar dibandingkan dengan modal atau investasi untuk memproduksi listrik yang rendah karbon dan ramah lingkungan, seperti hidrogen hijau. Oleh sebab itu, dalam Scaling Up to Phase Down ikut diuraikan tantangan-tantangan dihadapi negara-negara berkembang untuk bertransisi energi di sektor ketenagalistrikan mereka, sehingga masalah dan solusinya dapat teridentifikasi.

Presiden Grup Bank Dunia, David Malpass mengatakan, negara-negara berkembang sering terjebak pada kebutuhan untuk proyek berbahan bakar fosil yang berbiaya tinggi dan tidak berkelanjutan lantaran tidak adanya sarana untuk mendanai transisi energi dan infrastruktur pendukungnya. Kondisi itu membuat mereka tidak dapat mengakses dan mengembangkan sektor energi terbarukan dan efisiensi energi.

David menyebutkan, pendekatan Scaling Up to Phase Down menjadi acuan solusi terhadap tantangan yang rumit secara politik dan finansial untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap di negara berkembang, seperti Indonesia.

"Mereka (negara-negara berkembang) menghadapi hukuman tiga kali lipat atas (langkah) transisi energi mereka, yang (justru kerap) menjadi jebakan (karena dapat meningkatkan angka) kemiskinan," kata David dalam keterangan resminya.

Baca Juga: [FOTO] Elektrifikasi PLN untuk Pertanian Strawberry Lereng Merbabu

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya