Pelaku IKM Keluhkan HAKI Indonesia, Tidak Diakui di Luar Negeri

Banyak yang masuk ke luar negeri dengan off label

Semarang, IDN Times - Pengusaha asal Semarang, Jawa Tengah mengeluhkan atas kegunaan dari penerbitan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Indonesia. HAKI Indonesia ternyata tidak diakui dan tidak bisa digunakan di luar negeri.

Hal itu disampaikan oleh pemilik Indutri Kecil Menengah (IKM) Rorokenes, Syanaz Nadya Winanto Putri kepada IDN Times. Syanaz sendiri kerap melawat ke sejumlah negara, untuk mengenalkan produk tas miliknya. Namun ia juga telah rutin mengekspor tas ke sejumlah negara, salah satunya ke negara Jepang.

Baca Juga: 7 Cara Mendaftarkan Hak Cipta di Indonesia, Yuk Patenkan Karyamu! 

1. Terkendala peraturan WTO

Pelaku IKM Keluhkan HAKI Indonesia, Tidak Diakui di Luar Negeriwto.org

Menurut Syanaz, HAKI Indonesia tidak bisa masuk ke luar negeri lantaran terdapat kendala peraturan di World Trade Organization (WTO). Secara otomatis HAKI Indonesia hanya berlaku untuk domestik dan tidak bisa digunakan di luar negeri.

"Kendalanya untuk bisa masuk ke luar negeri itu bukan sekadar pameran atau mencari market, tapi hak cipta atau rights," kata Syanaz ketika ditemui di toko Rorokenes, di Jalan Bukit Putri No. 17 Bukitsari Semarang, Jawa Tengah.

2. Biayanya tidak murah

Pelaku IKM Keluhkan HAKI Indonesia, Tidak Diakui di Luar Negeritwitter.com/WIPO

Ia terpaksa harus mengurus Protokol Madrid menggunakan World Intellectual Property Organization (WIPO), agar merek tas miliknya bisa masuk ke negara yang dituju, khususnya untuk negara-negara yang berada di Eropa.

"Saya masuk ke Prancis atau  Inggris, saya harus urus Protokol Madrid pakai WIPO. Kita harus daftar, harganya lumayan mahal. Sekitar US$300, US$400 sampai US$1000," imbuhnya.

3. Berharap ada pengawalan dari pemerintah

Pelaku IKM Keluhkan HAKI Indonesia, Tidak Diakui di Luar Negeritwitter.com/WIPO

Syanaz menambahkan tidak sedikit pelaku IKM dan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang merasa keberatan, dalam pengurusan Protokol Madrid WIPO tersebut. Sebagian besar keberatan menginat biaya yang mahal dan lamanya waktu pengurusan.

Ibu dua anak itu tidak menampik bahwa saat mengurus Protokol Madrid menggunakan WIPO, ia menggunakan jasa konsultan. Dirinya berharap pemerintah pusat bisa memberikan pengawalan saat pengurusan tersebut.

"Apabila terdapat dispute (perselisihan), maka harus sewa konsultan di negara tujuan. Saya berharap ada yang mengawal, dalam artian, saya tidak minta dibayari, tapi ada pengawalan kepastian merek saya di luar negeri bisa keluar," terang Syanaz.

4. Imbasnya banyak dari Indonesia dijual murah

Pelaku IKM Keluhkan HAKI Indonesia, Tidak Diakui di Luar NegeriIDN Times/Dhana Kencana

Ketika terjadi perselisihan di negara tujuan, banyak pelaku IKM/UKM  harus mengurus sendiri karena tidak tahu mengetahui harus meminta bantuan kepada siapa. Mereka, tambah Syanaz, cukup meresahkan bila hal tersebut terjadi.

Kondisi tersebut berdampak pada pelaku IKM/UKM. Tidak sedikit dari mereka yang terpaksa membuat off label atau tanpa diberikan label merek produknya.

"Dengan begitu, kasarnya kita mengerjakan merek mereka. Maka isinya banyak barang murah dan kita (pelaku IKM/UKM) hanya jadi tukang jahit saja," jelas Syanaz.

5. Hak cipta menjadi sebuah kewajiban di luar negeri

Pelaku IKM Keluhkan HAKI Indonesia, Tidak Diakui di Luar NegeriIDN Times/Dhana Kencana

Saat di luar negeri, produk tersebut dilabeli oleh merek lain oleh buyers agent  atau invesment company.

"Semisal sudah mengurus HAKI atau rights, maka akan terus melekat mereknya. Di luar negeri mereka bayar royalti. Ke depannya bukan masalah perang dagang dengan siapa, tapi siapa yang pegang rights paling banyak, dialah pemenangnya," tutup Syanaz.

Baca Juga: [FOTO] Hebat, Tas Anyaman Mewah Asli Semarang Ini Sukses Mendunia

Topik:

  • Dhana Kencana
  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya