Polemik Chattra Candi Borobudur, Antara Aspek Arkeologis dan Spiritual

Menjadi penanda kesempurnaan spiritualitas umat Buddha

Usulan pemasangan Chattra di atas stupa utama Candi Borobudur masih menjadi polemik terutama dari aspek arkeologi. Permintaan memasang chattra di puncak stupa utama Candi Borobudur mulai muncul sekitar tahun 2008-2009, setelah melalui diskusi panjang para arkeolog diputuskan pemasangan chattra tidak layak dipasang.

Lalu keinginan untuk memasang kembali chattra di Candi Borobudur muncul kembali pada tahun 2018 dan hasilnya masih sama yakni pemasangan chattra tidak layak dilakukan. Pada tahun 2023 ini Pemasangan Chattra di atas stupa induk Candi Borobudur kembali dibahas dan bahkan telah disepakati dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengembangan Lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) di Magelang, Juli 2023 lalu.

Rapat Koordinasi DPSP tersebut dipimpin Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan dan dihadiri Menag Yaqut Cholil Qoumas serta sejumlah menteri diantaranya Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, Menpan RB Abdullah Azwar Anas, dan Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto.

Pemerintah dan mayoritas umat Buddha berharap chattra atau susunan batu berbentuk payung yang dipercaya sebagai objek persembahan surgawi segera terpasang.

Sementara para arkeolog berpendapat saat ditemukan dan dipugar Candi Borobudur tidak ada chattra di atas stupa induknya. Mereka berpendapat dari data arkeologi tidak ada satupun candi Buddha dari abad ke-7 hingga ke-10 yang mempunyai elemen arsitektural berupa chattra.

Baca Juga: Apa Itu Chattra? Fakta Payung yang Akan Dipasang di Puncak Candi Borobudur

1. Chattra pernah terpasang di puncak stupa utama Candi Borobudur

Polemik Chattra Candi Borobudur, Antara Aspek Arkeologis dan SpiritualCandi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. (dok. Kemenparekraf)

Susunan batu setinggi 2-3 meter yang berada di halaman Museum Candi Borobudur tak begitu mencolok saja jika dibandingkan dengan batu-batu sejenis di museum yang berada di kompleks Candi Borobudur ini. Terpasang di sisi kiri halaman museum, tepatnya di depan Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur susunan batu ini berdiri tegak dikelilingi berbagai macam tanaman dan pohon cemara yang terawat rapi.

Ada dua bangunan berbentuk rumah adat jawa, yaitu Joglo di dekat bangunan tersebut, sekilas bagi orang yang tidak mengetahui susunan batu tersebut mirip dengan sebuah tugu biasa, namun siapa sangka susunan batu ini merupakan chattra, sebuah simbol spiritualitas yang sangat penting bagi umat Buddha, pemasangannya di atas Candi Borobudur dipercaya bakal menjadi salah satu penyempurna spiritualitas umat Buddha.

Chattra yang berada di halaman museum Candi Borobudur ini dulu tepatnya pada tahun 1910 pernah terpasang megah di puncak stupa utama Candi Borobudur. Pemasangannya diperintahkan oleh Theodore van Erp, seorang insinyur yang ditugaskan pemerintah kolonial Belanda melakukan pemugaran Candi Borobudur pada periode 1907-1911. Namun van Erp didesak untuk melepasnya kembali karena chattra yang dipasang dianggap tidak memenuhi kriteria-kriteria rekonstruksi arkeologi berupa persentase kombinasi antara batu asli dengan batu yang baru.

2. Arkeolog meragukan keaslian chattra Candi Borobudur

Polemik Chattra Candi Borobudur, Antara Aspek Arkeologis dan SpiritualChattra yang saat ini berdiri di halaman Museum Borobudur. (IDN Times/Bandot Arywono)

Ada beberapa alasan kenapa para arkeolog tak setuju dengan pemasangan chattra di atas Candi Borobudur, salah satu alasannya yakni mereka meragukan keaslian dari chattra ini. Staf MCB Unit Warisan Dunia Candi Borobudur Hari Setyawan mengatakan tidak ada bukti arkeologis candi Buddha dari abad ke-7 hingga ke-10 mempunyai elemen arsitektural berupa chattra. Dan susunan chattra Borobudur ini diduga merupakan hasil rekonstruksi dari Theodore van Erp.

Van Erp dipercaya para arkeolog menemukan kepingan-kepingan batu yang kemudian direkonstruksi menjadi sebuah chattra atau payung bertingkat tiga yang diduga dahulunya pernah terpasang di puncak stupa utama Borobudur sebelum akhirnya rusak tertimbun tanah.

Dari segi struktural, chattra yang saat ini dipasang di halaman Museum Candi Borobudur terdiri dari 13 lapis, sambungan antar batu dibuat menggunakan batu beton bertulang oleh van Erp, padahal mestinya jika asli sambungan antar batu tidak menggunakan beton bertulang melainkan menggunakan sistem kuncian antar batu yang juga digunakan pada struktur Candi Borobudur.

Hari menduga rekonstruksi chattra oleh van Erp terinspirasi dari Relief Gandawyuha di lorong 2 Candi Borobudur. Hasil penelitian para arkeolog ada beberapa batu hasil rekayasa van Erp yang digunakan untuk menyusun chattra Candi Borobudur. Pertama, batu van Erp yang membentuk batu andesit. Kedua, batu rekondisi yang merupakan balok batu asli Candi Borobudur kemudian batu Stutterheim. Bebatuan yang digunakan untuk merekonstruksi chattra ini kemungkinan diambil di antara batuan reruntuhan Candi Borobudur pada fase awal pemugaran.

3. Tak ditemukan dokumen yang menerangkan di Candi Borobudur terpasang chattra

Polemik Chattra Candi Borobudur, Antara Aspek Arkeologis dan SpiritualChattra yang saat ini berada di halaman Museum Candi Borobudur. (IDN Times/Bandot Arywono)

Salah satu tokoh yang terlibat langsung pada pemugaran kedua Candi Borobudur di era 1973-1983, Ismijono (72) mengatakan Candi Borobudur saat ditemukan kembali pada 1814 oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles dan Hermann Cornelius di stupa induk hanya ditemukan genta dan harmika menyusul kemudian yasti yang kemudian dipasang saat pemugaran oleh van Erp.

Berdasarkan dokumen saat Candi Borobudur ditemukan kembali chattra tidak terpasang di Candi Borobudur, Ia percaya Candi Borobudur tidak memiliki chattra sebagaimana beberapa candi Buddha lainnya di berbagai daerah seperti di Candi Pawon, Candi Sewu, Candi Plaosan, Candi Kalasan.

Ismijono mengatakan usulan pemasangan chattra di atas stupa Candi Borobudur dari sisi pelestarian maka pemasangannya tidak dimungkinkan. "Kalau dari sisi pelestarian yang berorientasi pada aspek perlindungan maka itu tidak bisa kita lakukan," katanya.

Diterangkannya, metode pemasangan chattra dalam perpespektif rekonstruksi candi dapat dilakukan dengan dua cara yakni pemasangan chattra dengan material asli dari bangunan yang sudah runtuh dengan cara restorasi anastilosis. dan juga pemasangan chattra dengan material baru untuk mengganti bagian yang hilang atau rusak dengan cara rekonstruksi analogi.

4. Pemasangan chattra dimungkinkan dilihat dari aspek pengembangan dan pemanfaatan candi

Polemik Chattra Candi Borobudur, Antara Aspek Arkeologis dan SpiritualSuasana Candi Borobudur yang berada di Kabupaten Magelang, Selasa (10/10/2023). (IDN Times/Bandot Arywono)

Sedangkan dari hasil pendataan yang dilakukan oleh para arkeolog pemasangan chattra dengan menggunakan material asli dengan cara restorasi anastilosis sudah tidak mungkin dilakukan karena tidak ada data pendukungnya.

Sementara Pemasangan chattra dengan material baru untuk mengganti bagian yang hilang atau rusak dengan cara rekonstruksi analogi tidak bisa dilakukan karena tidak ada pembandingnya.

"Dalam perspektif rekonstruksi candi tidak dapat dilakukan karena tidak mempunyai cukup bukti yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dari aspek pelestarian warisan budaya baik berskala nasional maupun internasional," katanya.

Meski begitu Ismijono mengatakan pemasangannya masih bisa dimungkinkan jika melihat dari aspek lain yakni jika dilihat dari sisi pengembangan dan pemanfaatan, apalagi dalam UU Cagar Budaya (UU No 11 Tahun 2010) ada pasal yang mengatur tentang pengembangan dan pemanfaatan candi. "Tapi kalau sudah masuk ke ranah pengembangan dan pemanfaatan itu sudah menjadi ranah yang melibatkan dari berbagai disiplin ilmu," katanya.

5. Chattra muncul di berbagai sutra terpahat di relief Candi Borobudur

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Polemik Chattra Candi Borobudur, Antara Aspek Arkeologis dan SpiritualSeorang petugas konservasi saat mengecek kondisi relief Candi Borobudur. (IDN Times/Dok Humas Pemprov Jateng)

Berdasarkan berbagai literatur Chattra memiliki catatan sejarah dan dasar filosofi yang sangat mendalam di dalam Buddhisme. Chattra atau payung memiliki catatan sejarah dan dasar filosofi yang sangat mendalam di dalam Buddhisme, di Candi Borobudur relief yang menggambarkan adanya payung atau chattra salah satunya yakni pada relief Gandawyuha. Dan pemasangan chattra oleh van Erp kemungkinan terinspirasi dari Relief Gandawyuha di lorong 2 Candi Borobudur.

Relief Gandawyuha pada Candi Borobudur merupakan teks keagamaan yang merepresentasikan puncak spiritual seorang peziarah dalam mempelajari pengetahuan tertinggi. Relief tersebut dipahatkan pada dinding dan pagar langkan Candi Borobudur. Sebanyak 460 panil yang dimulai pada dinding lorong II dan berakhir pada dinding lorong IV.

Penggunaan kata Payung di dalam Kitab Gandawyuha Sutra yang terpahat di Candi Borobudur mengisahkan Sudhana yang berkelana demi belajar kepada lebih dari 50 orang guru untuk mengejar pencapaian Pencerahan Sempurna. Dalam kisah tersebut, Sudhana digambarkan sebagai seorang pemuda yang selalu memiliki sebuah payung yang melindunginya. Gambaran payung tersebut terukir dalam 332 keping relief di Candi Borobudur.

Lebih jauh diterangkan oleh Dirjen Bimas Buddha Supriyadi penggunaan kata payung ditemukan berkali-kali di dalam Kitab Lalitawistara Sutra. Kitab Lalitawistara ini juga terukir dalam 120 keping relief di badan Candi Borobudur.

Sutra ini, menceritakan riwayat Buddha mulai dari sebelum lahir hingga mencapai Penerangan Sempurna dan memutar Roda Dharma untuk pertama kalinya. Pada sutra itu digambarkan kualitas-kualitas Buddha kepada Bodhisatwa Maitreya, Buddha memiliki kualitas layaknya seorang anggota keluarga kerajaan karena Buddha adalah sang pembawa payung permata.

Selain tertuang dalam Kitab Lalitawistara Sutra dan Gandawyuha Sutra, kata Chatra (payung) juga ditemukan dalam kisah-kisah Jataka, Awadana dan Karmawibhangga Sutra. Kisah-kisah Jataka dan Awadana terukir dalam 720 keping relief di Candi Borobudur.

Payung tersebut tergambar di mana para brahmin dilindungi oleh payung di atas kepalanya. Selanjutnya di dalam Karmawibhangga Sutra yang menghiasi 160 keping relief di kaki Candi Borobudur, diajarkan bahwa salah satu cara menghimpun kebajikan yang luar biasa adalah dengan mempersembahkan payung kepada objek-objek suci.

Melalui persembahan payung akan membawa hasil dapat terlahir sebagai orang yang berwibawa, berlimpah kekayaan, bisa terus bersama-sama dengan para Buddha dan Bodhisatwa, bahkan hingga bisa membawa pada pencapaian pembebasan.

Pemaknaan chattra dalam filosofi Buddhisme yakni sebuah objek persembahan surgawi, sebagai pelindung, dan sebagai penanda anggota keluarga kerajaan. “Sangat penting memaknai Chatra tidak hanya dari disiplin Arkeologi semata, namun juga dalam perspektif spiritualitas agama Buddha. Chatra atau payung memiliki makna filosofi sebagai objek persembahan surgawi dan sebagai sebagai pelindung,” kata Supriyadi.

6. Pemasangan chattra bakal menyempurnakan Candi Borobudur dan menambah aura spiritualitas bagi umat Buddha

Polemik Chattra Candi Borobudur, Antara Aspek Arkeologis dan SpiritualDirektur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama, Supriyadi. (dok Kemenag RI)

Meski keaslian chattra yang saat ini berada di Museum Borobudur diragukan namun pemasangan chattra ini bermakna sangat penting bagi umat Buddha. Pemasangan Chattra menurut Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Supriyadi bakal menyempurnakan keagungan Candi Borobudur, selain itu juga menambah aura spiritualitas umat Budha.

"Kami berharap suara umat Buddha didengar, Karena dari segi keagamaan pemasangan Chattra menjadi salah satu penyempurna stupa candi," kata Supriyadi, Selasa (10/10/2023). Pembahasan dan kajian terkait rencana pemasangan chattra Candi Borobudur ini menurut Supryadi terus berjalan. Kemenag sudah mengirimkan surat kepada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk merumuskan kebijakan pemasangan chattra.

"Pemasangan ini tidak serta-merta inisiatif dari Kemenag, tapi juga usulan dari umat Buddha. Pemasangan chattra di atas stupa Candi Borobudur ini juga bakal menambah aura spiritualitas bagi umat Buddha," katanya.

Meski harapan ini telah disetujui mayoritas umat Budha namun rencana tersebut perlu kajian mendalam dan melibatkan berbagai instansi sebab pengembangan Candi Borobudur yang merupakan benca cagar budaya dan warisan dunia ini tidak serta-merta menjadi kewenangan dari Kemenag.

7. Perbedaan perspektif diyakini bakal menemui titik temu

Polemik Chattra Candi Borobudur, Antara Aspek Arkeologis dan SpiritualStaf Khusus Menteri Agama Bidang Komunikasi dan Media, Wibowo Prasetyo menyampaikan materi media gathering Keagamaan Buddha Terkait Chattra Candi Borobudur di Kota Magelang. (10/10/2023). (Dok Kemenag RI)

Pemasangan chattra di atas stupa utama Candi Borobudur disebut bakal melengkapi kesempurnaan Candi Borobudur. Staf Khusus Menteri Agama Bidang Komunikasi Publik Wibowo Prasetyo mengatakan pemasangan chattra sangat dinantikan oleh umat Buddha.

"Mayoritas umat Buddha menginginkan pemasangan chattra, ini merupakan harapan dari kalangan umat Buddha agar chattra dipasang," kata Prasetyo, Selasa (10/10/2023). Chattra di bangunan Candi Borobudur diibaratkan kepala yang akan melengkapi tubuh. Dan pemasanganannya akan menjadi kesempurnaan dan keagungan Candi Borobudur.

Meski masih terjadi perdebatan terkait pemasangan chattra di Candi Borobudur, Prasetyo berharap bakal ditemukan titik temu agar bisa mengakomodir keinginan mayoritas umat Buddha tersebut.

"Perspektif umat Buddha juga harus diakomodir. tidak boleh juga hanya semata pertimbangan arkeologi, tapi ada juga pertimbangan teologis dan juga spiritualitas dari teman-teman umat Buddha," katanya.

Prasetyo mengatakan diperlukan langkah taktis agar segera ada kesepemahaman bersama. Perbedaan itu diyakini akan mendapatkan titik temu karena di level kementerian dan pemerintah daerah, semua telah menyetujui.

"Ini memang tidak mudah karena ada banyak perspektif. Namun banyaknya perspektif justru akan memperkaya proses pemasangan chattra. Yang penting ada diskusi yang terbuka dan produktif. Tak hanya dari aspek arkeologis tapi juga melibatkan spritualitas umat Buddha," ujarnya.

8. Sejarah Candi Borobudur yang sempat ditinggalkan umatnya

Polemik Chattra Candi Borobudur, Antara Aspek Arkeologis dan SpiritualCandi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. (dok. Kemenparekraf)

Candi Borobudur diperkirakan dibangun sekitar Abad ke-8 dan ke-9 Masehi di era Dinasti Syailendra yang merupakan penganut agama Buddha Mahayana. Dikutip dari kajian Balai Konservasi Borobudur, Candi Borobudur sempat ditinggalkan pada abad ke-10, penyebab ditinggalkannya Candi juga belum diketahui secara pasti, namun diduga terkait bencana besar erupsi Merapi yang kemudian mengubur candi.

Borobudur kemudian ditemukan kembali oleh Thomas Stamford Raffles pada 1814, yang saat itu menjabat sebagai gubernur jenderal di Jawa, pada masa kependudukan Inggris. Saat ditemukan masih berupa bukit yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar, Raffles kemudian memerintahkan penduduk sekitar untuk membersihkannya sebelum kemudian memerintahkan para ahli untuk melakukan pemugaran candi.   

Dalam buku 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur oleh Balai Konservasi Borobudur, Candi Borobudur merupakan sebuah stupa berbentuk teras bertingkat 10 yang melambangkan 10 jalan Bodhisattwa yang harus ditempuh oleh seseorang yang akan mencapai tingkat Ke-Buddha-an.

Candi Borobudur dibangun menggunakan dua juta batu andesit yang berasal dari sungai di sekitar wilayah candi. Susunan bangunan Candi Borobudur terdiri dari sembilan teras berundak dan sebuah stupa induk di puncaknya. Sembilan teras itu terdiri dari enam teras berdenah persegi dan tiga teras berdenah lingkaran.

Dilihat dari bentuk arsitekturnya Candi Borobudur disebut merupakan perpaduan antara filosofi Buddha dengan Budaya Nusantara. Candi Borobudur disebut juga mengacu pada kosmologi Nusantara yang berorientasi ke gunung dengan pola bangunan punden berundak.

Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Gede Mugi Raharja dalam makalahnya menuliskan, arsitektur Candi Borobudur yang setengah bola tersusun atas tiga tingkatan, yakni Kamadhatu yang dipenuhi relief manusia dipenuhi hawa-nafsu di tingkat pertama, lalu Rupadhatu penggambaran manusia memerangi hawa nafsunya namun masih terikat dengan unsur duniawi di tingkat kedua, sedangkan pada tingkat ketiga, Arupadhatu tidak lagi dihiasi dengan relief-relief sebagai wujud tidak terikat dengan unsur duniawi.

Baca Juga: Pemasangan Chattra Candi Borobudur Tambah Aura Spiritual Umat Buddha

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya