Diplomasi Indonesia Ukraina dalam Sorotan Akademik Unsoed

Banyumas, IDN Times – Ditengah ketegangan geopolitik global, diplomasi budaya menjadi jalan sunyi yang semakin relevan. Fisip Unsoed Purwokerto membuktikan peran vital perguruan tinggi dalam menjembatani perbedaan budaya dalam kuliah umum Cultural Diplomacy Between Indonesia Ukraine, Bridging Differences and Building Understanding.
Kepada IDN Times, Senin (19/5/2025) tim Humas Unsoed menyebutkan kuliah umum yang digelar di Auditorium FISIP Unsoed lantai 3 pada Jumat 16 Mei 2025 lalu menghadirkan dua narasumber lintas negara yakni Mr. Yurii Konseko dari Ukraina dan Dias Pabyantara Swandita Mahayasa, S.Hub.Int, M.Hub.Int, dosen Hubungan Internasional Unsoed.
"Lebih dari sekadar forum akademik, kuliah umum ini menjadi ruang dialog antarbudaya, mempertemukan pengalaman diplomasi kultural dengan wacana publik atas konflik internasional,"ujar Dias.
1. Chairil Anwar dan Bahasa Indonesia di Ukraina
Mr. Yurii Konseko, tokoh yang kagum dan berperan besar dalam memperkenalkan bahasa Indonesia di Ukraina, membuka sesi dengan kisah inspiratif tentang bagaimana karya sastra Indonesia mampu menembus batas geografis dan menyentuh hati masyarakat Ukraina.
Menurutnya, dari kekaguman tersebut lahirlah gelombang ketertarikan warga Ukraina untuk mempelajari bahasa Indonesia. “Saya pertama kali tertarik dengan Chairil Anwar. Puisinya menyuarakan semangat kebebasan yang begitu relevan dengan jiwa bangsa Ukraina,” ungkap Yurii.
Yurii juga menayangkan video ucapan ulang tahun kemerdekaan RI yang ia produksi pada 2021 dan 2022, sebagai simbol kedekatan emosional dan diplomasi rakyat yang melintasi institusi formal negara. Ia menegaskan bahwa hubungan diplomatik antara Indonesia dan Ukraina bukan sekadar soal politik luar negeri, tetapi juga tumbuh dari akar budaya yang saling menyapa.
2. Wacana publik Indonesia soal agresi Rusia
Sementara itu, Dias Pabyantara Swandita Mahayasa membedah sisi lain hubungan Indonesia Ukraina melalui analisis wacana publik Indonesia terhadap agresi militer Rusia sejak 2022. Ia mengidentifikasi dua narasi utama yang muncul dalam ruang digital Putin Hypermasculine Persona dan Feminizing the Indonesian Government.
Menurutnya, narasi ini memperlihatkan kecenderungan patriarki dalam melihat kekuatan militer sebagai lambang maskulinitas dominan. Paparan ini membuka ruang refleksi kritis terhadap persepsi masyarakat Indonesia dalam menyikapi konflik luar negeri.
“Simbol-simbol maskulin seperti Putin sering kali dielu-elukan, sementara sikap diplomatis pemerintah Indonesia dicitrakan ‘lembek’ karena tidak memenuhi ekspektasi publik yang ingin konfrontasi,” jelas Dias.
3. Menanam benih perdamaian lewat pendidikan
Kuliah umum tersebut bukan sekadar ajang akademik namun melalui pendekatan kultural, Unsoed turut serta dalam diplomasi damai, membangun jembatan pengertian di tengah dunia yang semakin terfragmentasi, selain itu
kontribusi nyata Unsoed terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya pada poin ke 16 Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh.
Di era ketika retorika konflik kerap mendominasi percakapan global, kuliah umum ini hadir sebagai pengingat bahwa bahasa, sastra, dan pendidikan memiliki kekuatan yang tak kalah penting dalam membangun perdamaian.
Unsoed, melalui FISIP dan dosen dosennya, membuktikan bahwa kampus bisa menjadi arena strategis dalam membuka kran diplomasi lintas budaya, tidak hanya untuk memahami dunia, tetapi juga untuk mengubahnya.