Keunikan Jam Istiwak Keraton Solo, Penanda Salat Manfaatkan Matahari

Digunakan untuk penanda salat dzuhur dan ashar

Solo, IDN Times - Jam menjadi penanda waktu salat bagi umat Islam di dunia, lantas bagaimana menentukan waktu salat pada zaman dulu. Di Kota Solo, Jawa Tengah terdapat jam manual yang biasa digunakan oleh Raja Keraton Kasunanan Solo sabagai penanda waktu salat zaman dulu. Jam yang ditempatkan di Masjid Agung Solo tersebut sudah berusia lebih dari 100 tahun.

Baca Juga: 5 Spot Wisata Asyik di Solo Lokasinya Tak Jauh dari Keraton Surakarta

1. Tergantung sinar matahari

Keunikan Jam Istiwak Keraton Solo, Penanda Salat Manfaatkan MatahariJam Istiwak di Masjid Agung Solo. IDNTimes/Larasati Rey

Jam Istiwak merupakan nama jam yang digunakan sebagai waktu salah pada zaman Raja Kasunanan Surakarta dahulu. Jam yang dibangun pada masa Raja Paku Buwono VIII tersebut hingga kini masih terawat dengan baik.

Tidak ada mesin atau alat pemutar jam, namun jam istiwak yang berlokasi di sisi selatan Masjid Agung Solo ini bekerja saat ada terik matahari. Sekretaris Takmir Masjid Agung Surakarta, Abdul Basid, mengatakan jam istiwak ini hanya bisa digunakan untuk penanda waktu salat dzuhur dan ashar.

"Cara kerja jam ini tergantung sinar matahari, dari sinar itu nanti akan mengarahkan bayangan akan jatuh dan menunjukkan angka di cekungan jam istiwak, dari situ kita bisa menghitung kapan waktunya salat dzuhur dan ashar," jelasnya Jumat (16/4/21).

2. Dibangun sejak PB VIII

Keunikan Jam Istiwak Keraton Solo, Penanda Salat Manfaatkan MatahariJam Istiwak di Masjid Agung Solo. IDNTimes/Larasati Rey

Jam istiwak ditelakkan di sebuah tugu setinggi 150 cm dengan diameter 100 cm. Jam tersebut terdiri dari dua bagian, yakni sebuah busur cekung dan sebuah besi berwarna perak yang berdiri tegak.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Pada busur cekung, terdapat angka-angka. Di atasnya terdapat besi panjang dengan sebuah paku yang melintang di tengahnya. Dari paku tersebut nantinya akan memantulkan bayangan sebagai penanda waktu salat.

"Kalau yang besi tegak itu juga sebagai penanda. Jika matahari tepat di atas kepala, maka bayangan besi itu tidak akan terlihat," ungkapnya.

Abdul Basid mengatakan jika jam istiwak dibangun pada masa Pakubuwono (PB) VIII pada tahun 1784 Jawa atau 1855 Masehi. Menurut Abdul Basid, dahulu ada tiga jam istiwak yang dipasang di Masjid Agung Solo, namun seiiring dengan perkembang dua jam yang dipasang dilepas karena tempat tidak memungkinkan.

"Dulu ada tiga, di sisi selatan ini satu, dan yang dua di dekat kolam masuk masjid, namun yang masih berfungsi hanya satu ini. Jam ini dulu digunakan para ulama ulama untuk penanda waktu dzuhur," jelasnya.

3. Tak lagi digunakan untuk waktu salat

Keunikan Jam Istiwak Keraton Solo, Penanda Salat Manfaatkan MatahariJam Istiwak di Masjid Agung Solo. IDNTimes/Larasati Rey

Seiring berkembanganya zaman, jam istiwak di Masjid Agung Solo ini tidak lagi digunakan sebagai penanda waktu salat. Takmir masjid lebih memilih untuk menggunakan waktu salat sesuai dengan petunjuk Kementerian Agama.

Kendati tak lagi digunakan, namun Abdul Basid mengaku jika jam istiwak masih berfungsi dengan baik, bahkan waktu dhuzur antara pentunjuk Kementrian Agama dengan jam istiwak hampir sama.

"Kalau dilihat disini jam ini masih berfungsi dengan baik, waktu salat dzuhur juga hampir sama hanya beda beberapa menit saja," pungkasnya.

Baca Juga: 10 Amalan Sunah saat Ramadan untuk Tambah Pahala, Jangan Kelewatan!

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya