Ibu-ibu kader PKK dan Rumah Anak SIGAP Sokawera Banyumas foto bareng. (IDN Times/Dok Tanoto Foundation)
Tak jarang mereka justru mendapat fakta yang unik. Bila awalnya kerap ditolak warga, namun berkat keuletan menyambangi rumah warga, perlahan mereka ikut mendukung mengatasi stunting.
"Banyak simbah simbah yang awalnya melarang cucunya ikut kegiatan (pemberantasan stunting) karena dianggap terlalu kecil, kini justru menjadi pendukung setia. Mereka melihat sendiri perubahan positif buat cucunya," akunya.
Adapun Rumah Anak SIGAP Sokawera yang berubah jadi BKB Kartini sejak awal 2025 mengandalkan patungan dari ortu balita sebesar Rp 15.000 per bulan. Jumlah patungannya memang sedikit. Tapi bermakna besar. Karena digunakan untuk membiayai listrik, air, dan pembelian bahan ajar seperti biji-bijian untuk permainan sensorik.
Ke depan, BKB Kartini berharap dapat mendapatkan pengakuan formal dari pembiayaan dana desa. Sebab, permintaan masyarakat begitu besar hingga harus membuka dua kelas paralel tambahan.
"Swadaya bukan sekadar urunan uang, tetapi tentang kesadaran bersama bahwa masa depan anak-anak adalah tanggung jawab kita semua," ungkapnya.
Dukungan ini menunjukkan kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya pendidikan anak usia dini, meski harus ditopang oleh kemampuan sendiri.
Yang lebih membanggakan, swadaya masyarakat ini tidak hanya berupa materi. Para orang tua, terutama ibu-ibu, secara sukarela terlibat dalam berbagai kegiatan. Mulai dari membantu persiapan alat peraga edukasi hingga berbagi pengalaman dalam mengasuh anak.