Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Alasan Kenapa Mimpi Orangtua Gak Seharusnya Dititipkan ke Anak

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Anastasia Shuraeva)
Intinya sih...
  • Mengejar mimpi orangtua bisa membuat kehilangan diri sendiri
  • Mimpi harus datang dari dalam diri, bukan sekadar titipan
  • Orangtua perlu memberi ruang untuk anak menentukan jalan hidupnya sendiri

Pernah gak sih kamu merasa jalan hidup yang kamu tempuh bukan sepenuhnya milikmu? Bukan karena kamu gak punya mimpi, tapi karena ada ekspektasi yang berat banget dari orangtua. Kadang, bentuknya gak kelihatan: bisa dari pilihan jurusan kuliah, pekerjaan impian versi mereka, atau bahkan pasangan yang “pantas” menurut standar mereka. Niatnya mungkin baik, karena mereka sayang. Tapi sayang doang gak cukup kalau itu bikin kamu kehilangan diri sendiri.

Kamu hidup di generasi yang mulai sadar pentingnya self-awareness, healing, dan hidup autentik. Tapi gak jarang, kamu tetap terjebak buat “membalas jasa” lewat cara yang sebenarnya bukan jalanmu. Padahal, mimpi itu personal banget. Harusnya datang dari dalam diri, bukan sekadar titipan. Berikut ini lima alasan kenapa mimpi orangtua gak seharusnya dibebankan ke pundak anak, karena setiap anak berhak punya hidup yang dia bentuk sendiri.

1. Mimpi itu harusnya datang dari rasa ingin, bukan rasa bersalah

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Banyak anak yang mengejar sesuatu bukan karena suka, tapi karena takut kecewain orangtua. Ujung-ujungnya, yang dijalanin cuma sekadar "yang penting mereka bangga", bukan karena kamu beneran pengen. Ini bahaya, karena rasa bersalah bukan fondasi yang kuat buat jangka panjang. Kamu bisa jadi sukses secara materi, tapi merasa kosong secara emosional karena dari awal kamu gak pernah jadi diri sendiri.

Mimpi yang tulus datang dari rasa penasaran, gairah, dan panggilan hati. Bukan dari beban moral yang gak pernah kamu pilih sendiri. Kalau kamu terus-terusan menjalankan hidup buat nyenengin orang lain, terutama demi mengejar validasi orangtua, kamu bakal kehilangan arah ketika mereka gak lagi jadi alasanmu berjuang. Saat itulah kamu baru sadar, kamu gak pernah nanya ke diri sendiri: sebenernya, aku maunya apa?

2. Zaman sudah berubah, jalan sukses juga bervariasi

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Orangtua tumbuh di masa ketika sukses itu punya definisi sempit: kerja kantoran, gaji tetap, pensiun aman. Tapi sekarang, jalan sukses bisa lewat mana aja—jadi content creator, freelancer, digital nomad, atau bahkan entrepreneur di usia muda. Dunia udah berubah, tapi kalau mimpi yang dititipin masih dari era 80-an, ya gak nyambung. Yang ada, kamu malah stuck di zona nyaman yang bukan milikmu.

Kamu hidup di dunia yang serba cepat dan fleksibel. Tantangannya beda, peluangnya juga beda. Yang dibutuhin sekarang bukan nurutin template sukses lama, tapi adaptasi dan kepekaan terhadap jati diri. Kalau kamu dipaksa mengejar mimpi yang bukan dari kamu sendiri, kamu bakal kalah di tengah jalan karena gak punya alasan kuat buat terus maju. Jalanmu harus kamu pilih sendiri, karena kamu juga yang akan jalanin.

3. Anak itu bukan tabungan emosional maupun finansial

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/MART PRODUCTION)

Realita pahitnya, kadang orangtua nitipin mimpi karena mereka merasa belum sempat hidup ideal. Lalu anak dijadikan ‘perpanjangan tangan’ untuk nyampein ambisi yang belum kesampaian. Ini bisa berubah jadi tekanan tersembunyi—kamu harus jadi dokter karena dulu orangtua gagal masuk fakultas kedokteran, atau kamu harus kaya biar bisa balikin semua “investasi” mereka. Padahal, anak bukan alat pemenuhan mimpi yang gagal.

Kamu berhak punya tujuan sendiri tanpa harus merasa bersalah. Rasa sayang dan balas budi itu penting, tapi gak seharusnya jadi kontrak tak tertulis yang bikin kamu kehilangan kebebasan. Kalau kamu jalanin hidup buat membayar utang yang bahkan gak pernah kamu minta, kapan kamu bisa mulai hidup untuk dirimu sendiri?

4. Mimpi yang dipaksakan justru bikin hubungan renggang

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/William Choquette)

Ironisnya, niat orangtua yang awalnya buat “membahagiakan” anak malah bisa berujung konflik karena ekspektasi yang gak realistis. Kamu mungkin jadi sering bohong, pura-pura nyaman, atau ngumpet dari obrolan soal masa depan. Hubungan yang awalnya hangat bisa berubah jadi tegang karena kamu merasa dikekang, dan mereka merasa gak dihargai. Padahal yang kamu butuhin cuma satu: ruang untuk memilih.

Hubungan orantua dan anak harusnya tumbuh dari saling percaya, bukan kendali. Ketika kamu diberi ruang untuk explore, gagal, dan belajar, kamu justru tumbuh jadi pribadi yang lebih bertanggung jawab. Kalau mereka bisa percaya bahwa kamu mampu membentuk jalanmu sendiri, justru itu bentuk cinta yang sesungguhnya.

5. Setiap anak punya bakat dan misi uniknya sendiri

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Ron Lach)

Gak semua orang cocok jadi apa yang orangtuanya bayangkan. Mungkin kamu gak jago di matematika kayak ayahmu, tapi kamu peka banget di bidang seni. Mungkin kamu gak minat bisnis kayak ibumu, tapi kamu passionate bantu orang lewat terapi atau pendidikan. Dan itu sah-sah aja. Dunia butuh keberagaman talenta, bukan kloning mimpi yang sama terus-menerus.

Tugas kamu bukan jadi versi upgrade dari orangtua, tapi jadi versi terbaik dari dirimu sendiri. Justru dengan menjalankan misi hidupmu yang otentik, kamu bisa memberi dampak yang lebih nyata. Bahkan, orangtuamu pun pada akhirnya akan bangga—karena kamu berhasil, dengan cara kamu sendiri.

Orangtua adalah fondasi, tapi bukan blueprint yang mutlak. Kamu tumbuh, berubah, dan belajar dari pengalaman sendiri. Yang bisa orangtua berikan adalah bekal: nilai hidup, semangat, dan dukungan. Tapi untuk arah dan tujuan, itu hak anak untuk menentukannya. Kalau kamu adalah anak, ingat: kamu gak egois karena memilih jalanmu sendiri. Kamu cuma sedang berani jadi diri sendiri, dan itu hal yang paling penting.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us