Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi mahasiswa (pexels.com/ Alexander Suhorucov)
Ilustrasi mahasiswa (pexels.com/ Alexander Suhorucov)

Intinya sih...

  • Validasi fokus ke perasaan, pujian fokus ke hasil.

  • Validasi memberi ruang diterima, pujian memberi label.

  • Validasi menumbuhkan kepercayaan, pujian menumbuhkan motivasi.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Meski terdengar mirip, validasi dan pujian sebenarnya adalah dua hal yang berbeda. Keduanya sama-sama membuat seseorang merasa dihargai, tapi punya efek dan tujuan yang tidak sama. Pujian biasanya fokus pada hasil atau sesuatu yang terlihat dari luar, sementara validasi lebih dalam karena menyentuh perasaan, usaha, dan pengalaman seseorang.

Masalahnya, banyak orang sering salah kaprah dengan mencampuradukkan validasi dan pujian. Akibatnya, komunikasi jadi kurang tepat sasaran. Misalnya, ada orang yang sebenarnya butuh divalidasi emosinya, tapi malah hanya diberi pujian, sehingga tetap merasa gak dimengerti. Nah, biar gak bingung lagi, yuk kenali beberapa perbedaan validasi dan pujian berikut ini.

1. Validasi fokus ke perasaan, pujian fokus ke hasil

ilustrasi membicarakan perubahan dalam persahabatan (pexels.com/ Arina Krasnikova)

Perbedaan paling jelas ada pada apa yang jadi titik perhatian. Validasi berhubungan dengan perasaan dan pengalaman seseorang, seperti mengatakan “wajar kok kamu capek setelah kerja seharian” atau “aku ngerti kalau kamu lagi sedih.” Kata-kata ini membuat orang merasa dimengerti, bukan hanya dilihat dari luarnya saja. Sedangkan pujian lebih ke hasil yang terlihat, misalnya “kamu cantik banget hari ini” atau “wah, kamu jago banget ngerjain tugas ini.”

Kalau dilihat sekilas, keduanya sama-sama bikin orang senang. Tapi efeknya berbeda. Validasi bisa bikin seseorang merasa aman untuk terbuka karena emosinya diterima, sedangkan pujian lebih sering bikin senang sesaat karena sifatnya dangkal. Jadi, kalau temanmu lagi nangis karena gagal, validasi akan lebih tepat ketimbang cuma bilang “ah, kamu kan biasanya jago, sekali-kali gagal gak masalah dong.”

2. Validasi memberi ruang diterima, pujian memberi label

ilustrasi berdiskusi membicarakan konflik (pexels.com/ Anastasiya Gepp)

Saat kita memberi validasi, kita sebenarnya sedang memberikan ruang agar orang merasa diterima dengan apa adanya. Misalnya, “aku tahu ini berat buat kamu” atau “perasaanmu valid kok.” Gak ada tuntutan untuk jadi lebih baik, gak ada penilaian. Hanya ada penerimaan dan pengakuan bahwa apa yang dirasakan itu nyata. Itu yang bikin validasi terasa lebih menenangkan.

Sementara pujian cenderung memberi label tertentu, baik itu positif maupun negatif. Contohnya, “kamu anak yang paling pintar di kelas” atau “kamu paling rajin.” Kedengarannya bagus, tapi tanpa sadar bisa jadi beban juga. Orang yang terlalu sering diberi label lewat pujian kadang takut gagal karena gak mau kehilangan pengakuan itu. Jadi, kalau validasi bikin orang nyaman jadi diri sendiri, pujian lebih sering bikin orang merasa harus memenuhi ekspektasi tertentu.

3. Validasi menumbuhkan kepercayaan, pujian menumbuhkan motivasi

Ilustrasi cewek kesal (pexels.com/ Timur Weber)

Validasi punya kekuatan untuk membangun rasa percaya dalam sebuah hubungan. Ketika kita merasa divalidasi, otomatis ada rasa aman untuk bercerita dan terbuka. Misalnya, saat kita curhat lalu teman kita bilang, “aku bisa ngerti kenapa kamu marah,” itu bikin kita merasa gak sendirian. Dari situ, kepercayaan tumbuh, dan hubungan jadi lebih dekat.

Sedangkan pujian lebih kuat dampaknya dalam hal motivasi. Dikasih pujian bikin orang semangat untuk mengulangi hal yang sama. Misalnya, anak kecil dipuji karena berhasil merapikan mainannya, besoknya dia jadi lebih rajin melakukannya lagi. Tapi motivasi dari pujian ini sifatnya bisa naik-turun. Kalau gak dipuji, semangatnya bisa ikut hilang. Jadi, validasi lebih cocok untuk membangun hubungan jangka panjang, sementara pujian lebih pas untuk mendorong perilaku tertentu.

4. Validasi gak butuh kondisi khusus, pujian biasanya situasional

ilustrasi berbincang (pexels.com/pressmaster)

Validasi bisa diberikan kapan saja, tanpa perlu menunggu momen tertentu. Orang capek, sedih, marah, atau bahkan senang sekalipun tetap bisa divalidasi dengan kalimat sederhana seperti, “wajar kamu merasa gitu.” Itu sebabnya validasi sering dianggap lebih “dalam” karena berhubungan dengan kondisi batin seseorang.

Pujian, di sisi lain, biasanya muncul karena ada sesuatu yang menonjol atau spesial. Misalnya, ketika seseorang habis menang lomba, tampil cantik, atau melakukan hal bagus. Jadi lebih situasional dan gak bisa dipakai di semua keadaan. Coba bayangkan kalau ada teman cerita lagi stres, tapi kamu malah bilang “kamu pintar kok.” Rasanya gak nyambung, kan? Nah, dari sini jelas banget kalau validasi lebih fleksibel, sedangkan pujian lebih terikat pada kondisi tertentu.

Validasi dan pujian sama-sama penting, tapi punya fungsi yang berbeda. Kalau pujian bisa bikin seseorang termotivasi dan merasa diapresiasi dari sisi luar, validasi lebih dalam karena bikin orang merasa dimengerti sepenuhnya. Jadi, bukan soal mana yang lebih baik, tapi kapan waktu yang tepat untuk menggunakannya. Dengan memahami perbedaan ini, komunikasi kita bisa jadi lebih tulus dan gak salah sasaran. Karena kadang, yang dibutuhkan orang bukan sekadar “kamu hebat,” tapi “aku ngerti rasanya jadi kamu.”

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team