Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kaget (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi kaget (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Intinya sih...

  • Diagnosis yang salah bisa memperburuk kondisi, seperti menganggap kesedihan wajar sebagai depresi

  • Self-diagnose hanya fokus pada gejala permukaan, tanpa memahami faktor penyebab sebenarnya

  • Bisa menimbulkan ketakutan dan kecemasan berlebihan, menghambat proses penyembuhan yang seharusnya tepat

Di era media sosial saat ini, semakin banyak orang yang mulai menyadari pentingnya kesehatan mental. Namun, tidak jarang juga yang akhirnya melakukan self-diagnose hanya berdasarkan video atau artikel psikologi yang sedang trending. Memang, informasi yang ada di internet sangat membantu untuk mengenali diri. Tapi, jika kamu langsung mendiagnosis dirimu sendiri tanpa ahli, hal ini justru bisa berbahaya.

Self-diagnose memang terasa praktis dan cepat. Kamu hanya perlu membaca gejala, lalu merasa cocok dengan kondisi dirimu. Akan tetapi, kesehatan mental bukan sekadar cocok atau tidak cocok dengan deskripsi yang kamu baca. Berikut lima alasan penting mengapa kamu sebaiknya tidak melakukan self-diagnose terkait kesehatan mental.

1. Diagnosis yang salah bisa memperburuk kondisi

ilustrasi depresi (pexels.com/David Garrison)

Ketika kamu melakukan self-diagnose, ada risiko besar kamu salah memahami kondisi diri. Kamu mungkin mengira mengalami depresi, padahal sebenarnya sedang berada dalam fase kesedihan yang wajar. Sebaliknya, kamu bisa menganggap kecemasanmu adalah hal biasa, padahal sebenarnya sudah masuk kategori gangguan kecemasan yang butuh penanganan.

Kesalahan diagnosis seperti ini bisa membuatmu salah mengambil langkah. Bukannya membaik, kamu malah berisiko menambah beban pikiran dan menunda penanganan yang tepat. Kondisi mental yang seharusnya dapat ditangani sejak awal justru akan semakin parah bila tidak diobati sesuai kebutuhan.

2. Tidak memahami faktor penyebab sebenarnya

ilustrasi stres (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Self-diagnose hanya berfokus pada gejala yang terlihat di permukaan. Kamu mungkin merasa mudah marah dan langsung mengira itu adalah tanda bipolar. Padahal, ada banyak kemungkinan lain seperti stres kerja, pola tidur yang buruk, atau trauma masa lalu yang belum selesai.

Hanya profesional seperti psikolog atau psikiater yang mampu menggali penyebab sebenarnya dari kondisimu. Mereka akan melakukan penilaian mendalam, melihat riwayat hidupmu, hingga mempertimbangkan berbagai aspek untuk menegakkan diagnosis. Tanpa memahami penyebabnya, kamu tidak akan bisa mendapatkan penanganan yang sesuai.

3. Bisa menimbulkan ketakutan dan kecemasan berlebihan

ilustrasi depresi (pexels.com/MART PRODUCTION)

Saat kamu membaca informasi tentang gangguan mental, kamu cenderung menempelkan label itu ke dirimu. Hal ini bisa memunculkan ketakutan berlebihan. Kamu jadi merasa ada yang salah dengan dirimu, padahal belum tentu kondisimu separah itu.

Kecemasan yang muncul dari self-diagnose akan menambah tekanan dalam pikiranmu. Alih-alih menenangkan diri dan mencari bantuan, kamu justru makin terpuruk dalam rasa takutmu sendiri. Pada akhirnya, kamu akan merasa kewalahan dengan pikiran negatif yang kamu ciptakan sendiri.

4. Menghambat proses penyembuhan yang seharusnya tepat

ilustrasi depresi (pexels.com/cottonbro studio)

Ketika kamu sudah merasa diagnosis dari dirimu benar, kamu mungkin enggan pergi ke profesional karena merasa sudah tahu jawabannya. Kamu juga bisa memilih penanganan yang salah, seperti membeli obat tanpa resep atau mengikuti tips dari orang yang bukan ahlinya.

Padahal, kesehatan mental membutuhkan penanganan yang sesuai. Misalnya, gangguan cemas tidak cukup hanya dengan meditasi, melainkan juga bisa memerlukan terapi perilaku kognitif. Jika kamu hanya mengandalkan self-diagnose, kamu berisiko melewatkan penanganan yang paling efektif untuk kondisimu.

5. Mengabaikan kondisi lain yang mungkin terkait

ilustrasi bekerja saat sakit (pexels.com/Edward Jenner)

Self-diagnose membuatmu hanya fokus pada satu gangguan tertentu. Padahal, gejala yang muncul bisa jadi merupakan tanda dari kondisi medis lain. Misalnya, kelelahan dan sulit fokus tidak selalu tanda depresi. Bisa saja itu akibat gangguan tiroid atau anemia.

Jika kamu langsung mendiagnosis dirimu mengalami gangguan mental tanpa pemeriksaan menyeluruh, kondisi medis lain yang sebenarnya menjadi penyebab utama justru terabaikan. Inilah mengapa profesional akan melakukan pemeriksaan komprehensif, termasuk kesehatan fisikmu, sebelum menegakkan diagnosis mental tertentu.

Self-diagnose memang terlihat praktis, tapi risikonya sangat besar. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, dan keduanya memerlukan penanganan profesional. Jika kamu merasa ada yang salah dengan kondisi emosimu, langkah terbaik adalah berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Dengan begitu, kamu akan mendapat penanganan yang tepat, aman, dan sesuai kebutuhanmu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team