5 Alasan Tren Media Sosial Bikin Kamu Auto-Ngikut dan Kecanduan

Intinya sih...
- Psikologi mengikuti tren media sosial membantu memahami identitas, rasa memiliki, dan keinginan untuk terhubung
- Herd Mentality mendorong orang untuk ikut tren yang dianggap "benar" secara sosial
- Tren media sosial memberikan penghargaan dopamin dan memicu FOMO serta kebutuhan psikologis akan memiliki rasa memiliki
Di era media sosial Instagram dan TikTok, kamu mungkin melihat bagaimana tren bisa berputar dengan sangat cepat. Orang-orang seakan dapat dengan mudah terpengaruh terhadap suatu tren yang muncul, mulai dari tren joget velocity hingga tren mengubah foto menjadi ala animasi Studi Ghibli. Lalu, apa sebenarnya memotivasi seseorang untuk berpartisipasi, menduplikasi, dan mengunggah tren tersebut?
Ada pandangan psikologi yang dapat menjelaskan bagaimana manusia bisa dengan mudah terjerat tren yang tersebar di media sosial. Dengan memahami psikologi mengikuti tren media sosial, dapat membantu seseorang untuk lebih memahami identitas, rasa memiliki, dan keinginan manusia untuk terhubung. Tak hanya itu, dengan memahami alasan psikologi ini kamu juga bisa lebih bijak dalam memilah tren media sosial yang ada untuk diikuti.
1. Herd Mentality dan Social Proof
Pernah mendengar Herd Mentality? Kondisi ini merupakan fenomena psikologis di mana orang menerima perilaku atau suatu ide, hanya karena banyak orang lain melakukan hal yang sama. Menurut sebuah penelitian, fenomena mengikuti tren media sosial saat ini menggambarkan bagaimana seseorang menjadikan cara untuk mengikuti perilaku orang lain, sebagai upaya menunjukkan perilaku yang dianggap "benar".
Mungkin kamu lebih cenderung percaya bahwa suatu tren itu sah, menarik, atau bermanfaat, saat secara sosial kita melihat teman atau influencer di media sosial melakukannya. Misalnya, kamu sering kali terpicu untuk ikut membagikan kolase berisi empat foto di suatu bulan tertentu. Foto-foto ini mudah dibagikan, relevan, dan menarik. Dengan ikut berpartisipasi, pengguna menunjukkan kesadaran mereka terhadap wacana budaya yang sedang terjadi, di mana merupakan jenis mata uang sosial penting dalam ranah digital.
2. Tren sebagai tempat berbagi identitas
Kamu dapat menyusun berbagai visi diri melalui media sosial. Setiap tren, dapat berubah menjadi peluang untuk menyelidiki atau memperkuat identitas seseorang. Misalnya, saat kamu tergiur untuk mengubah foto keluarga lebaran menggunakan animasi tren Studio Ghibli. Tren ini bisa sangat menarik, penuh kehangatan, ketenangan, bahkan sekaligus bernostalgia. Dalam hal ini psikolog berpendapat bahwa seseorang membangun konsep diri tidak hanya melalui intropeksi, tetapi juga melalui interaksi sosial dan reputasi media.
Berpartisipasi dengan tren Ghibli melibatkan lebih dari sekadar bereksperimen dengan filter. Tren ini juga melibatkan penyajian diri yang diidealkan, berkaitan dengan keindahan, kedalaman, dan ketenangan. Terdapat identifikasi aspirasional melalui "Inilah jenis kehidupan yang saya inginkan". Kamu mungkin berusaha untuk memvalidasikan kehidupan impian sebagaimana yang digambarkan oleh tren.
3. Lingkaran dopamin
Saat sebuah tren menerima like, share, atau komentar penyemangat, mekanisme penghargaan dopamin di otak dapat mendorong perilaku tersebut. Media sosial terbukti dapat menjadi tempat untuk memperoleh penghargaan, serupa rasa yang didapat dari obat-obatan atau makanan. Dengan mengikuti tren, seseorang mungkin memperoleh lebih banyak pengakuan, persetujuan, dan dalam situasi tertentu, viralitas, yang dapat menjadi kompulsif.
Situasi ini dapat menjadi lebih parah, saat para individu memiliki kecenderungan untuk berlomba-lomba menerima banyak perhatian. Ada lebih banyak motivasi, saat perusahaan media sosial seperti TikTok memberikan prioritas konten yang sedang tren dalam algoritme mereka. Pengguna lebih termotivasi oleh penghargaan ekstrisik daripada motivasi instrinsik untuk dapat terlibat dalam sebuah tantangan atau tren, saat peluang visibilitas dari konten tersebut semakin tinggi.
4. FOMO dan keterikatan sosial
Rasa takuk ketinggalan atau dikenal sebagai FOMO, juga ada karena dipicu tren. Dikucilkan dari lelucon budaya internal bisa jadi sama saja dengan tidak ikut serta. Sebagaimana yang diungkapkan dalam penelitian Baumeister dan Leary (1995), menerima klaim merupakan dorongan dasar manusia, yakni kebutuhan psikologi untuk memiliki rasa memiliki. Bayangkan saat kamu terpapar dengan tren velocity di beranda secara berulang.
Pada akhirnya, kamu pun dapat merasa punya keharusan untuk mencoba melakukan tren yang sama. Sementara saat kamu tidak berpartisipasi dalam tren, justru bisa tampak seperti kekeliruan sosial. Kamu mungkin jadi berpartisipasi dengan tren tersebut karena merasa takut ditinggalkan, bukan karena benar-benar tertarik. Tidak dapat dipungkiri, dunia di era media sosial serba cepat melahirkan budaya-budaya yang belum sepenuhnya disadari.
5. Tren sebagai collective coping
Jika dilihat dari sudut pandang yang positif, tren juga dapat berfungsi sebagai sarana collective coping. Misalnya, saat orang-orang menggunakan tren membuat dalgona coffee, gerakan viral, hingga challenge mengundang tawa sebagai coping mechanism selama berada dalam masa pandemi COVID-19. Orang-orang mungkin merasa lebih terhubung lintas batas geografis, sebagai akibatnya adanya perilaku kelompok bersama ini. Jadi, kamu juga bisa melihat mengikuti tren tidak hanya sekadar meniru, tetapi juga menciptakan makna.
Tren menawarkan lebih dari sekadar hiburan digital, seperti filter yang menarik secara visual dan kolase viral. Tren ini dapat berfungsi sebagai cermin mental, menerangi cara-cara individu menegosiasikan ekspresi diri, identitas, dan rasa memiliki. Terlepas dari mengikuti tren bisa menjadi hasil dari konformitas, mengikuti tren juga dapat menjadi tindakan kreativitas, coping strategy, atau sarana untuk menunjukkan rasa memiliki dari seseorang.
Mengikuti tren media sosial seperti dua sisi mata uang. Pada suatu sisi, kamu bisa memanfaatkannya sebagai cara bijak untuk menunjukkan suatu makna penting. Namun, pada sisi lainnya, saat kamu hanya sekadar mengikuti karena merasa "harus", tren media sosial dapat menjadi pusaran yang kurang bermanfaat dan diartikan lebih negatif. Dengan memahami alasan psikolgi mengapa seseorang mengikuti tren media sosial, kamu bisa belajar untuk lebih mengontrol diri. Apalagi, tidak semua tren sesuai dengan prinsip yang kamu pegang.