5 Fakta Emotional Eating: Pelarian Emosi yang Bisa Merusak Kesehatan

- Stres berhubungan dengan kebiasaan makan yang bisa berdampak negatif
- Kebiasaan makan saat tidak lapar atau setelah kenyang merupakan tanda-tanda emotional eating
- Emotional eating dapat menyebabkan penambahan berat badan, obesitas, dan masalah kesehatan mental dalam jangka panjang
Pernahkah kamu merasa lapar secara tiba-tiba padahal baru saja makan? Atau menghabiskan sebungkus keripik hanya karena sedang stres? Jika iya, bisa jadi kamu sedang mengalami emotional eating.
Emotional eating adalah kondisi ketika seseorang makan bukan karena lapar secara fisik, melainkan karena ingin meredakan emosi seperti stres, kesepian, bosan, marah, atau sedih. Makanan sering kali menjadi "pelarian" cepat untuk membuat diri merasa lebih baik,walau hanya sementara. Berikut beberapa fakta mengenai emotional eating yang diam-diam merusak Kesehatan dan perlu kamu waspadai.
1.Bagaimana makan dan stress bisa berkaitan?

Beberapa penelitian telah membuktikan kaitan respon stres dengan kebiasaan makan yang akan berdampak negative jika tidak dikontrol dengan baik. Respons stres manusia adalah jaringan sinyal yang kompleks di seluruh tubuh dan otak. Sistem saraf kamu kemudian merespons kejadian fisik dan psikologis untuk menjaga kesehatanmu.
Respons stres meningkatkan produksi hormon kortisol dan insulin serta pelepasan glukosa (gula darah) dan zat kimia otak untuk memenuhi kebutuhan. Makan saat kamu mengalami stres adalah perilaku normal untuk memenuhi lonjakan kebutuhan energi.
Terkadang kamu tidak nafsu makan sama sekali dan hanya makan sedikit sebagai respon stres yang penuh tekanan. Kamu mungkin malu atau merasa bersalah ketika makan berlebihan, hal itu merupakan salah satu gejala kecemasan dan rasa tidak aman.
2.Kebiasaan seseorang mengalami emotional eating yang disalahpahami sebagai lapar

Hal-hal sepele yang tidak kamu sadari ternyata menunjukkan tanda atau ciri emotional eating. Seperti makan saat tidak lapar atau setelah kenyang, makan secara otomatis atau tanpa sadar (mindless eating). Lapar pada umumnya menunjukkan tanda seperti perut yang berbunyi pada jam makan atau saat benar-benar ingin makan.
Perasaan ingin makan seperti mengidam makanan manis atau fast food, biasanya hanya sebagai bentuk hiburan atau pelarian dari masalah. Terkadang orang akan merasa bersalah atau menyesal setelah makan. Terutama bagi mereka yang benar-benar ingin menjalani diet sehat.
3.Penyebab emotional eating sering gak disadari menimbulkan kebiasaan buruk

Seiring berjalannya waktu, orang mulai mengaitkan emotional eating dengan emosi negative seperti marah, sedih, takut atau khawatir. Respon stres tersebut menghasilkan hormone kortisol yang meningkatkan nafsu makan. Nah, makanan yang kamu pilih akan mempengaruhi tingkat stres lho.
Selain stres, kebosanan dan kesepian bisa jadi penyebab lain seseorang mengalami emotional eating. Makan bisa menjadi pengisi waktu atau pengganti interaksi social. Kurang tidur juga dapat memicu rasa lapar palsu dan membuat otak menginginkan makanan tidak sehat.
Kurang tidur dapat menyebabkan rasa lapar palsu karena gangguan pada hormon yang mengatur nafsu makan, yaitu ghrelin dan leptin. Kurang tidur dapat meningkatkan kadar ghrelin (hormon yang memicu rasa lapar) dan menurunkan kadar leptin (hormon yang memberikan sinyal kenyang). Akibatnya, otak mungkin salah mengartikan sinyal lapar dan membuat seseorang merasa ingin makan padahal tubuh tidak benar-benar membutuhkan makanan.
4.Emotional eating terasa nyaman sesaat namun memberi dampak negative dalam jangka panjang

Ketika kamu memilih makanan tinggi karbo, gula, lemak trans dan lemak jenuh, kadar gula darah akan melonjak dan turun drastis. Hal itu akan meningkatkan kecemasan dan mood swing yang berubah-ubah.
Makan karena stres dalam jangka pendek, seperti selama masa liburan, dapat menimbulkan gejala seperti refluks asam dan kurang tidur. Dalam jangka panjang, makan karena stres dapat menyebabkan penambahan berat badan dan obesitas, sehingga meningkatkan risiko kanker, penyakit jantung, dan diabetes.
Meskipun makan karena stres dapat membantu mengurangi stres secara instant, makan karena stres dalam jangka panjang dikaitkan dengan peningkatan gejala depresi dan kesehatan mental yang buruk.
5. Untuk mengatasi emotional eating harus dimulai dari mengubah mindset terlebih dahulu

Pertama kamu perlu mengelola stres dengan baik, lakukan kegiatan positif dan menyenangkan untuk mengisi waktu luang dan mengalihkan diri dari makan berlebih. Jalani hidup sehat dengan konsisten pada jadwal tidur dan olahraga yang teratur. Tetap terhidrasi dengan banyak minum air mineral.
Ketika otak kamu menerima pesan bahwa ada sesuatu yang masuk ke perut (apa yang kamu minum), ini dapat mengurangi rasa lapar untuk sementara. Selain memenuhi cairan, pastikan kamu makan makanan sehat yang membantu meningkatkan keseimbangan neurotransmiter di otak.
Neurotransmiter ini bertugas mengatur stres dan suasana hati. Beberapa makanan seperti biji-bijian, ikan, telur, dan alpukat merupakan pilihan yang tepat untuk Kesehatan otak dan bisa menjadi cemilan sehat penunda lapar.
Emotional eating bukanlah hal memalukan, ini adalah respons alami terhadap emosi. Namun, dengan kesadaran dan strategi yang tepat, kamu bisa membangun hubungan yang lebih sehat dengan makanan dan dirimu sendiri. Ingat, makanlah untuk memberi energi pada tubuh, bukan untuk menutupi luka emosional.