Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

6 Penyebab Krisis Kesehatan Mental Anak Muda, Pengaruh Media Sosial?

Wanita muda yang sedih dan kontemplatif. (istockphoto.com/dragana991)
Intinya sih...
  • Dampak Pandemi COVID-19 yang Berkepanjangan
  • Pengaruh Negatif Media Sosial dan Teknologi
  • Perubahan Gaya Pengasuhan yang Terlalu Protektif

Krisis kesehatan mental pada anak muda semakin mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir. Melansir dari The Health Foundation dan Youth-talks.org, rujukan untuk kesehatan mental di kalangan anak dan remaja melonjak lebih dari 50 persen hanya dalam waktu dua tahun, dengan tingkat bunuh diri menjadi penyebab kematian kedua terbesar pada kelompok usia 10--24 tahun.

Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan krisis kesehatan mental ini begitu masif? Ternyata, ada berbagai faktor kompleks yang saling terkait dan memengaruhi kondisi mental generasi muda. Berikut adalah 6 faktor utama penyebab krisis kesehatan mental pada anak muda yang perlu kita ketahui bersama.

1. Dampak Pandemi COVID-19 yang Berkepanjangan

Kerumunan manusia mengenakan masker bedah untuk mencegah wabah virus corona (COVID-19). (istockphoto.com/Tzido)

Pandemi COVID-19 menjadi katalisator utama dalam memperburuk kondisi kesehatan mental anak muda. Isolasi sosial akibat pembatasan aktivitas sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler membuat banyak remaja mengalami kesepian yang mendalam. Situasi ini menghilangkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya, yang sangat penting untuk membangun keterampilan sosial dan emosional.

Fokus kebijakan publik yang lebih menekankan pada kekhawatiran orang dewasa membuat anak muda merasa diabaikan selama krisis. Gangguan rutinitas harian dan pembelajaran jarak jauh juga menciptakan ketidakstabilan yang mempengaruhi kesehatan mental mereka secara negatif.

2. Pengaruh Negatif Media Sosial dan Teknologi

Seorang wanita yang jenuh akibat seringnya mengonsumsi media sosial. (istockphoto.com/Georgijevic)

Media sosial telah menjadi pisau bermata dua dalam kehidupan anak muda modern. Penggunaan yang berlebihan dapat memicu perasaan rendah diri dan kecemasan, terutama ketika mereka membandingkan diri dengan postingan orang lain yang tampak sempurna. Fenomena "doom scrolling" atau kebiasaan mengonsumsi konten negatif secara berlebihan juga memperburuk kondisi mental mereka.

Dari tahun 2001 hingga 2017, tingkat depresi pada remaja meningkat hingga 60 persen, dengan peningkatan terbesar terjadi pada remaja perempuan. Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk menatap layar, semakin besar risiko mengalami depresi dan gangguan mental lainnya.

3. Perubahan Gaya Pengasuhan yang Terlalu Protektif

Ibu yang ketat mengkritik anak perempuan karena kesalahan dalam pekerjaan rumah. (istockphoto.com/Motortion)

Budaya "helicopter parenting" atau pengasuhan yang terlalu protektif telah membatasi kesempatan anak-anak untuk mengembangkan kemandirian dan ketahanan mental. Orang tua yang terlalu khawatir dengan keselamatan anak cenderung mengurangi aktivitas bebas dan permainan yang tidak diawasi. Hal ini sebenarnya menghambat perkembangan kemampuan mengatasi masalah dan kepercayaan diri pada anak.

Penekanan berlebihan pada prestasi akademik juga mengorbankan waktu untuk eksplorasi bebas dan bermain. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang didominasi aktivitas terstruktur, sehingga mereka merasa tidak siap menghadapi tanggung jawab dan ketidakpastian kehidupan dewasa.

4. Perubahan Narasi Seputar Kesehatan Mental

Seorang psikolog muda melakukan sesi psikoterapi untuk seorang wanita yang memiliki masalah psikologis. (istockphoto.com/NazariyKarkhut)

Diskusi terbuka tentang kesehatan mental memang telah mengurangi stigma dan mendorong lebih banyak orang untuk mencari bantuan. Namun, hal ini juga menciptakan efek samping berupa "problematisasi kehidupan emosional" di mana kesulitan hidup yang normal kini lebih sering diklasifikasikan sebagai masalah kesehatan mental.

Perubahan persepsi ini menyebabkan peningkatan laporan masalah kesehatan mental secara mandiri dan meningkatkan permintaan layanan kesehatan mental. Generasi muda sekarang lebih mudah melabelkan stres dan tantangan emosional sebagai gangguan mental, padahal sebenarnya itu adalah bagian normal dari kehidupan.

5. Transisi Menuju Kedewasaan yang Semakin Sulit

Siswa remaja yang depresi tanpa daya menatap pantulannya di cermin kamar mandi. (istockphoto.com/Brian Niles)

Perjalanan dari masa kanak-kanak menuju dewasa kini menjadi lebih panjang dan tidak pasti. Generasi muda menghadapi periode "emerging adulthood" yang diperpanjang karena pendidikan yang lebih lama, penundaan pernikahan, dan ketidakstabilan ekonomi. Fase ini menciptakan tekanan tambahan pada perkembangan identitas dan perencanaan masa depan mereka.

Perubahan struktur otak yang drastis selama masa remaja juga mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengatur emosi dan beradaptasi dengan stres. Tanpa dukungan yang tepat, transisi ini dapat menjadi periode yang sangat rentan bagi kesehatan mental anak muda.

6. Faktor Struktural dan Ketimpangan Sosial

Seorang pengusaha dengan uang di sakunya dan seorang pekerja miskin dengan saku kosong. (istockphoto.com/Diy13)

Kondisi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan seperti kemiskinan, kekerasan, dan ketimpangan ekonomi meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental pada anak muda. Penelitian menunjukkan bahwa semakin tidak setara dan terpolarisasi populasi suatu negara, semakin tinggi prevalensi skizofrenia, depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat. Kelompok termiskin secara konsisten lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental dibandingkan kelompok yang lebih sejahtera.

Krisis kesehatan mental pada anak muda memerlukan pendekatan yang komprehensif dari berbagai pihak, mulai dari keluarga, sekolah, hingga kebijakan pemerintah. Dengan memahami akar masalah ini, kita dapat mulai merancang solusi yang tepat untuk mendukung generasi muda mengatasi tantangan mental yang mereka hadapi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us