Melihat Dari Dekat Tempat Belajar Disabilitas Rumah Difabel Semarang
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Semarang, IDN Times - Saat wabah virus corona menyerang tanah air, terpaksa segala aktivitas masyarakat dihentikan seiring pemberlakuan aturan pembatasan jaga jarak sosial. Namun, di tengah kesunyian pandemik yang minim interaksi fisik ada satu nyala yang tak bisa dipadamkan, yakni aktivitas belajar di Roemah Difabel Semarang.
1. Menengok tempat belajar penyandang disabilitas di Roemah Difabel
Dari rumah sederhana di Jalan MT Haryono 266 Semarang itu ada ruang yang tetap hidup dan menghidupi bagi penghuni di dalamnya. Ruang itu bagaikan pelita bagi para penyandang disabilitas. Mereka berkumpul, berkegiatan, mengikuti pelatihan dan tetap belajar, meskipun penyebaran COVID-19 masih masif di luar sana.
Salah satu peserta didik yang masih rutin datang ke Roemah Difabel meski di masa pandemik adalah Anna Oktavia (51 tahun). Penyandang disabilitas cerebral palsy itu rutin mengikuti kelas pelatihan disana. Ada dua kelas yang diikuti oleh perempuan kelahiran Yogyakarta itu, yakni kelas penulisan kreatif dan public speaking.
Saat ditemui IDN Times, Jumat (26/3/2021), sambil duduk di kursi roda dan menggunakan alat pelindung wajah, Anna mengikuti kelas penulisan kreatif. Dia menyimak materi yang disampaikan oleh mentor di kelas tersebut. Sembari itu di depan komputer tablet miliknya, ia tengah mengetik sebuah artikel dengan tema olahraga. Saat melakukan aktivitas menulis itu ia hanya mengandalkan dua jari, yakni telunjuk dan ibu jari.
2. Cerita penyandang cerebral palsy yang membutuhkan ruang beraktivitas
Anna tidak sendiri, ada beberapa peserta didik lain di kelas penulisan kreatif yang turut menyimak dan mengetik di depan laptop. Mereka juga penyandang disabilitas dengan keterbatasan tidak bisa melihat atau tuna netra.
Sudah enam tahun terakhir ia bergabung dalam Komunitas Sahabat Difabel dan mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Roemah Difabel Semarang. Keterlibatannya dalam setiap kegiatan yang digelar di tempat tersebut, karena ia membutuhkan ruang untuk beraktivitas dan mengembangkan minatnya.
‘’Saya menderita kelumpuhan sejak usia 2 tahun. Berawal dari demam tinggi, beberapa hari kemudian saya mengalami kelumpuhan. Lalu saya baru tahu kalau penyakit yang saya derita ini adalah cerebral palsy ketika mau masuk sekolah di YPAC pada usia 5 tahun. Ada kelainan syaraf otak yang membuat tubuh sulit bergerak atau menjadi lumpuh,’’ ungkapnya.
Baca Juga: Transpuan di Semarang, Saat Pandemik Alih Profesi dan Tak Dapat Bansos
3. Penolakan dari lingkungan sering dialami para penyandang disabilitas
Selama menderita penyakit itu ruang gerak dan aktivitas Anna sangat terbatas. Sulung dari tiga bersaudara ini harus bergantung dengan orang lain seperti kakek, nenek, dan orang tuanya. Padahal ia sangat ingin melakukan berbagai kegiatan.
Editor’s picks
‘’Pengen sekolah saja saya ditolak di sekolah umum, karena dianggap bakal menyusahkan. Pada waktu itu juga belum ada sekolah inklusi. Akhirnya, saya cuma ikut Kejar Paket B dan C, belajar secara otodidak di rumah,’’ tuturnya.
Keinginan Anna untuk terus belajar sangat tinggi, namun harapan itu tidak sejalan dengan kondisi masyarakat dan lingkungan yang belum bisa menerima keadaannya. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Komunitas Sahabat Difabel dan bergabung di Roemah Difabel.
‘’Saya bertemu dengan Bunda Noviana pendiri Roemah Difabel, lalu saya tanya boleh nggak saya gabung. Kemudian, beliau izinkan dan saya izin orang tua, akhirnya direstui. Di tempat ini saya menemukan passion saya, ternyata saya tertarik dengan dunia menulis,’’ ujarnya.
4. Anna belajar menulis dan berkarya di Roemah Difabel meski ada pandemik
Menurut Anna, aktivitas menulis ini sangat cocok dengan kondisinya, sekaligus meningkatkan kemandirian. Sebab, menulis tidak butuh banyak bantuan orang lain. Berbeda dengan aktivitas lain seperti menjahit atau menyulam yang juga ada di Roemah Difabel, karena untuk memasukkan benang ke jarum ia pasti membutuhkan bantuan orang lain.
‘’Maka meskipun pandemik saya tetap ndableg datang ke tempat ini untuk belajar. Untuk datang kesini pun kadang saya naik taksi online sendiri, jika dari Roemah Difabel tidak ada yang menjemput,’’ imbuhnya.
Dari ketekunan itu Anna sudah membukukan empat antologi kisah inspirasi dari para penyandang disabilitas. Selain itu, ia juga dipercaya sebagai admin media sosial dari sejumlah akun seperti Roemah Difabel, Komunitas Sahabat Difabel, dan RD Shop. Ia juga berkontribusi di laman RD News. Sedangkan di kelas public speaking, ia juga mencoba membuat podcast.
5. Kaum difabel belajar keterampilan untuk bertahan hidup
‘’Dengan menulis satu persatu mimpi saya terwujud. Sehingga, selama saya masih mampu saya ingin terus menulis dan memberikan manfaat kepada lingkungan, terutama yang senasib dengan saya,’’ katanya.
Sementara, tidak hanya Anna yang ingin terus belajar. Masih banyak penyandang disabilitas yang bernaung di Roemah Difabel. Mereka antara lain para penyandang disabilitas intelektual, down syndrome, autis, dan tuna netra. Ada sekitar 50 peserta didik yang belajar di Roemah Difabel. Setiap hari Senin sampai Sabtu mereka mendapatkan pelatihan keterampilan hidup disana. Seperti menjahit, menyulam, memasak, hingga membuat produk seperti telur asin.
‘’Meskipun ada pandemik mereka tetap datang kesini untuk belajar dan tentunya tetap dengan menerapkan protokol kesehatan COVID-19. Dan semua itu karena kemauan mereka sendiri yang ingin tetap belajar. Anak-anak beralasan jenuh jika harus terus di rumah, apalagi bagi para penyandang disabilitas intelektual. Mereka akan lupa dengan ilmu yang diperoleh jika libur belajar,’’ kata salah satu relawan Roemah Difabel, Menik.
Selama mengenyam pendidikan dan pelatihan di Roemah Difabel para penyandang disabilitas ini tidak hanya semakin terampil, tapi juga semakin mandiri. Sehingga, meskipun memiliki kekurangan mereka tetap bisa bertahan hidup apabila tidak ada bantuan dari orang lain.
Baca Juga: Open Slot, Cara Fotografer Cewek di Semarang Survive saat Pandemik