Melawan Gabut Dengan Gotong-Royong Membantu Para Penjahit

Siswa SMA bahu-membahu meringankan beban pelaku usaha mikro

Jarum jam menunjukan pukul 12 siang ketika Agus sibuk mengerjakan orderan pelanggannya. Suara mesin jahit terdengar gemeretak tatkala IDN Times menyambangi rumahnya di Kampung Tarupolo V, RT VII/RW X, Kelurahan Gisikdrono, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang pada Senin (26/7/2021).

Saban hari Agus seorang diri mengerjakan berbagai pesanan. Tinggal di rumah petak yang sederhana, bapak tiga anak dan seorang istri ini sudah belasan tahun telaten menggeluti pekerjaan sebagai seorang penjahit.

Keterampilannya menjahit didapatkan ketika tahun 2002 silam dirinya coba-coba ikut kursus bersama teman-temannya. Lambat laun Agus memutuskan membuka usaha sendiri di rumahnya dari tahun 2011 sampai sekarang.

"Saya mulai usaha sendiri tahun 2011. Seringnya saya dapat pesanan membuatkan tas souvenir untuk acara-acara seminar. Kalau kondisi normal, sebulan bisa menggarap tiga orderan seminar. Panitianya sekali pesan bisa 100 tas. Tapi pas pandemik kayak gini ya gak ada orderan sama sekali," ujar pria bernama lengkap Agus Supriyadi tersebut tatkala berbincang dengan IDN Times.

Situasi pandemik yang telah memukul segala sendi kehidupan membuat Agus harus memutar otak agar dapurnya tetap ngebul.

Berbagai cara ditempuh. Mulai door to door menyambangi pelanggan dan tetanggannya dengan harapan ada yang sudi menjahitkan pakaian kepada dirinya.

"Pandemik benar-benar sangat berpengaruh. Saya kan seringnya menggarap pesenan dari acara seminar. Nah, pas muncul COVID-19, susah sekali dapat orderan. Karena banyak pejabat yang mengadakan seminar lewat aplikasi zoom," akunya.

Namun, secercah harapan muncul selepas perayaan Idul Fitri 1442 Hijriyah kemarin. Sekonyong-konyong ada sejumlah sekolah yang meminta dibuatkan tas untuk anak TK dan SD yang masuk tahun ajaran baru.

"Sejak Lebaran kemarin itu gak ada sama sekali. Ya baru-baru ini aja dapat orderan menjahit 50 tas untuk TK dan SD," ujarnya.

Pesanan demi pesanan kembali berdatangan sampai akhirnya sekelompok siswa SMA Negeri 3 Semarang tiba-tiba datang ke rumahnya untuk mengajak kerjasama menggarap sebuah peluang bisnis.

Gayung pun bersambut. Bak durian runtuh, ajakan itu langsung disambar oleh Agus. Salsabilla Aulia bersama Putra Versa dan Meina Asti yang mewakili SMA Negeri 3 kemudian sepakat berkolaborasi dengan Agus untuk memproduksi tas dan dompet yang fashionable.

"Sejak April kemarin kita memang lagi ikutan kontes student company, dan dari SMA 3 Semarang terpilih ikut kompetisi yang diadakan setingkat regional Jawa Tengah. Setelah berembug, akhirnya kita pilih memproduksi tas dan dompet dari kain jeans bekas. Selain Pak Agus, ada satu penjahit lagi yang kita ajak kerjasama. Mikirnya ini akan jadi kesempatan buat membantu pelaku usaha mikro yang terdampak pandemik sekaligus mengisi waktu luang selama sekolah diliburkan," kata Salsa, sapaan akrab Salsabila saat berbincang dengan IDN Times.

 

Berkolaborasi dengan anak SMA bisa bangkitkan semangat berbisnis

Melawan Gabut Dengan Gotong-Royong Membantu Para PenjahitTas dan dompet yang diproduksi bersama siswa SMA 3 Semarang dibuat dari kain jeans bekas. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Bagi Agus, berkolaborasi dengan anak-anak SMA jadi tantangan tersendiri selama pandemik mengingat dirinya harus memupuk semangat agar bisnisnya kembali bangkit. 

Berkat keuletannya, Agus setiap minggu mampu mengerjakan belasan dompet dan tas dari bahan jeans bekas. "Sejak ada pesanan dari siswa SMA 3, orderan saya jadi tambah ramai. Minggu ini aja saya garap sembilan sampai sepuluh tas. Puji Tuhan, selama seminggu saya dapat tambahan penghasilan Rp200 ribu," akunya. 

Salsa berkata dirinya dan teman sepermainannya sengaja memakai bahan baku dari jeans bekas semata demi mengurai limbah kain yang ada di Semarang. Maka ia memutuskan untuk menggalang donasi kain jeans bekas dengan cara menyebar pamflet ke sekolahannya, blusukan ke rumah tetangganya hingga menyambangi rumah temannya. 

Tercatat sejak April hingga saat ini jeans bekas yang terkumpul sudah mencapai puluhan kilogram. Jeans bekas juga diperoleh Putra dan Meina dari tetangganya yang punya setumpuk pakaian bekas di dalam almari. 

"Selain jeans bekas, kita juga berburu kain batik bekas. Allhamdullilah, produk yang kita bikin sama Pak Agus tampilannya jadi tambah menarik karena ada unsur kombinasi batik. Corak batiknya juga macam-macam. Ada parangkusumo, lurik sampai tenun juga," timpal Meina Asti yang diamini rekan-rekannya. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Meina mengatakan sudah ada tiga jenis tas dan dompet yang rutin diproduksi bersama dua tukang jahit. Merek tas dan dompetnya dinamai Tatilo. 

Tas maupun dompet merek Tatilo inilah yang dijadikan senjata andalan siswa SMA 3 Semarang untuk menembus persaingan ketat dalam kontes student company. 

Saat meracik ide, mereka dibina oleh seorang guru SMA Negeri 3 dan juga pihak Prestasi Junior Indonesia (PJI), Junior Achievement (JA) Worldwide serta didukung oleh CITI Foundation. 

Menularkan semangat sociopreneur selama pandemik

Melawan Gabut Dengan Gotong-Royong Membantu Para PenjahitSiswa SMA 3 Semarang giat mengumpulkan jeans bekas untuk didaur ulang jadi tas dan dompet yang Fashionable. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Selama mengikuti kontes student company mereka kompak menyusun struktur organisasi layaknya sebuah perusahaan profesional. Total ada 15 siswa yang masuk dalam struktur organisasi. 

Salsabilla didampuk sebagai Vice President of Public Relation, Putra Versa sebagai Vice President of Human Resources atau HRD dan Meina Asti sebagai Manager of Production. Organisasi yang mereka bentuk tersebut dinamai Wignesa atau singkatan dari Wigunaning Negara Satria Ganesha. 

"Kita kepengin menularkan semangat ecopreneur dan sociopreneur dengan teliti melihat dampak kondisi lingkungan sekitar. Kita berharap nantinya dengan limbah jeans bekas yang dipakai sebagai bahan baku tas dan dompet, jadinya ke depan bisa mengurangi pencemaran lingkungan," kata Putra Versa. 

Lebih lanjut, menurutnya produknya kini telah diproduksi secara massal. Harganya ia banderol mulai dari Rp80 ribu sampai Rp90 ribu per buah. 

Putra menyebut produknya sejak tiga bulan terakhir sudah dipasarkan melalui online. Peminatnya berasal dari para guru, ibu-ibu rumah tangga, kalangan anak muda yang tinggal di sekitar Kota Semarang. 

Ia kerap menerima pesanan lewat WhatsApp Grup (WAG) sekolahannya, ada yang mengorder lewat Instagram. "Untuk pengirimannya melalui ojek online. Kita bersyukur jerih payah kita bisa membuahkan hasil. Tas dan dompetnya bisa digemari masyarakat luas," urainya. 

Putra bilang hasil dari penjualan produknya juga dibagi rata dengan rekan-rekannya serta dua penjahit yang jadi patnernya. Dalam sebulan mereka bisa menggantongi penghasilan sekitar Rp500 ribu. 

Meringankan beban para penjahit yang terdampak pandemik COVID-19

Melawan Gabut Dengan Gotong-Royong Membantu Para PenjahitSalsa dan dua temannya menunjukan tas dan dompet yang dibuat dari kain jeans bekas yang dikombinasikan dengan motif batik. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Baik Salsa, Meina maupun Putra, apa yang sudah dilakukannya selama ini diharapkan bisa meringankan beban para penjahit yang terdampak pandemik sekaligus membawa berkah bagi lingkungan sekitarnya.

Salsa menargetkan bisa menjuarai kontes student company sehingga mampu mengukir prestasi yang cermelang. "Tahun ini ada puluhan sekolah di Jawa dan Bali yang ikut lomba. Kita sih kepengin mengikuti jejaknya Mas Alam yang dapat juara se-Asia Pasifik saat ikut student company tiga tahun lalu," katanya mantap. 

Mas Alam yang dimaksud Salsa tak lain adalah putra Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang bernama lengkap Muhammad Zinedine Alam Ganjar.

Alam pada 2018 lalu mampu menyabet juara tatkala masuk finalis student company tingkat Asia Pasifik. Produk andalannya berupa sepatu casual yang terbuat dari daun eceng gondok. 

Sementara, Yuanita Safitri, seorang guru pembina program kompetisi student company di SMA 3 Semarang selalu mendoakan anak didiknya agar bisa menjuarai kontes setingkat regional dan mampu menembus babak final di tingkat Asia Pasifik. 

"Produk yang mereka buat ternyata disukai sama guru-guru SMA 3. Kebanyakan suka pada model dompetnya yang simpel tapi tampilannya elegan. Sehingga cooked buat nyimpen handphone dan alat tulis," ujar Fitri. 

Baca Juga: Merawat Kenangan Manis Pensiunan KAI Semarang, Hidup di Bekas Stasiun

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya