Kesulitan Mengekspresikan dan Mengenali Emosi? Ini 6 Fakta Alexithymia

Intinya sih...
- Alexithymia adalah kondisi yang memengaruhi 10% populasi dunia, menyebabkan kesulitan mengidentifikasi dan mengekspresikan emosi.
- Individu dengan alexithymia berisiko kelelahan di tempat kerja dan kesulitan dalam menafsirkan isyarat sosial, menghambat empati dan interaksi sosial.
- Anak-anak korban pelecehan seksual dan remaja Tiongkok rentan terhadap alexithymia, memerlukan dukungan dini dan pengembangan keterampilan emosional.
Pernahkah kamu merasa sulit memahami perasaanmu sendiri atau menjelaskan apa yang sedang kamu rasakan? Itulah gambaran dari alexithymia, kondisi yang sering disebut sebagai buta emosi. Melansir laman Healthline dan MedicalNewsToday, kondisi ini bukanlah gangguan mental, melainkan ciri kepribadian yang memengaruhi sekitar 10 persen populasi dunia. Dengan dampaknya yang meluas pada hubungan, pekerjaan, dan kesehatan mental, penting untuk mengenali fakta-fakta di balik fenomena ini.
Berikut enam fakta terkait individu alexithymia dari beberapa jurnal ilmiah.
1. Alexithymia dapat mempengaruhi kehidupan kerja
Orang dengan alexithymia sering kali mengalami kesulitan mengidentifikasi dan mengekspresikan emosi, yang dapat menyebabkan tantangan dalam mengelola stres di tempat kerja. Penelitian menunjukkan bahwa kesulitan emosional ini meningkatkan risiko kelelahan, terutama dalam profesi yang menuntut emosi seperti perawatan kesehatan. Hal ini melansir hasil tinjauan Franco ddk. (2020) yang diterbitkan di jurnal Technical Innovations & Patient Support in Radiation Oncology.
2. Alexithymia dapat mempengaruhi keterampilan sosial
Tinjauan Tella dkk. (2020) yang diterbitkan di Journal of Affective Disorders, menemukan bahwa alexithymia tidak hanya memengaruhi kesadaran emosional pribadi tetapi juga kemampuan untuk menafsirkan isyarat sosial seperti ekspresi wajah dan keadaan emosional orang lain. Tantangan ini dapat menghambat empati dan interaksi sosial, bahkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Alexithymia cenderung mengartikan tindakan orang lain sebagai permusuhan
Penelitian Li ddk. (2020) yang diterbitkan di jurnal Personality and Individual Differences, menemukan bahwa individu alexithymia cenderung mengartikan tindakan orang lain sebagai permusuhan, terutama jika mereka sudah memiliki bias kognitif terhadap persepsi ancaman. Kombinasi tantangan emosional dan kognitif ini meningkatkan kemungkinan mereka untuk bereaksi secara agresif. Mengatasi defisit pengenalan emosional dan persepsi bias dapat membantu mengurangi kecenderungan agresif.
4. Anak-anak yang mengalami pelecehan seksual sering kali mengalami alexithymia
Anak-anak yang mengalami pelecehan seksual sering kali mengalami alexithymia sebagai cara untuk mengatasi perasaan yang meluap-luap. Namun, mekanisme penanganan ini dapat menyebabkan tantangan emosional dan perilaku, termasuk kecemasan, depresi, dan agresi. Dukungan dini dan pengembangan keterampilan emosional dapat meningkatkan hasil pemulihan secara signifikan. Hal ini dilansir hasil penelitian Boisjoli dan Hebert (2020) yang diterbitkan di jurnal Psychiatry Research.
5. Ibu dengan Alexithymia menyebabkan pengasuhan yang tidak konsisten
Melansir hasil penelitian Porreca dkk. (2020) yang diterbitkan di jurnal Child Abuse & Neglect, ibu dengan gangguan penggunaan zat dan alexithymia kesulitan memberikan bimbingan yang terstruktur dan selaras dengan emosi kepada anak-anak mereka. Kesulitan dalam mengenali dan mengekspresikan emosi ini menyebabkan pengasuhan yang tidak konsisten, yang dapat mengakibatkan pengabaian atau perancah yang tidak memadai daripada kekerasan fisik. Mendukung kesadaran emosional pada orang tua seperti itu dapat meningkatkan praktik pengasuhan dan hasil perkembangan anak.
6. Alexithymia pada remaja terkait dengan stres akademis yang tinggi
Penelitian Ng dan Chan (2020) yang diterbitkan di jurnal Psychiatry Research, menemukan bahwa lebih dari sepertiga remaja Tiongkok mengalami alexithymia, yang dipengaruhi oleh tantangan perkembangan, norma budaya tentang pengendalian emosi, dan stres akademis yang tinggi. Keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah juga berkontribusi terhadap rendahnya kesadaran emosi. Alexithymia sangat terkait dengan depresi, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas hubungan kausalnya. Temuan ini menyoroti perlunya mendukung perkembangan emosi dan kesehatan mental selama masa remaja.
Wah, ternyata alexithymia memang bikin hidup terasa lebih rumit, tapi bukan berarti tidak bisa diatasi, ya. Dengan dukungan yang tepat, siapa pun bisa belajar memahami dan mengekspresikan emosinya lebih baik!