Ferry Santoro ( kedua dari kanan) bersama sandera yang lain saat bertugas liputan di Aceh.(IDN Times/Dok. Saladin Ayubi)
Di tempat lain, Panglima Perang GAM, Teuku Ishak Daud meminta bawahannya untuk merawat dan menjaga keselamatan kami. Mendengar itu, Ersa dan saya mengaku lega. Tapi, hidup dalam penyanderaan baru saja dimulai.
"Kami selalu pindah-pindah demi hindari kejaran TNI. Kalau dirasa tidak aman, kami harus lewati semak, seberangi sungai dan hutan belantara,"
Tidur beralaskan tikar, berbaring di samping macan kumbang harus kami lalui. Beruntung, tidak ada hewan buas yang menyerang kami. "Bahkan orang GAM menawarkan kami tidur di alas ular itu. Sempat bergidik sih, tapi dia bilang jangan takut. Ternyata tidak apa-apa,"ungkapnya.
Di luar sana, sejumlah LSM, organisasi pers hingga palang merah internasional meminta agar saya dan Ersa Siregar dibebaskan. Hampir setahun lamanya, negosiasi pembebasan antara pemerintah Indonesia dan GAM selalu mengalami deadlock.
Hingga ada suatu kesepakatan yang kami dengar melalui siaran radio local. Saya senang karena akan segera mendapatkan kebebasan. Sebuah impian selama berbulan-bulan untuk kembali berkumpul bersama istri dan anak pun mengalir deras dalam pikiran.
Malam hari menjelang tewasnya Ersa, beberapa anggota GAM memutuskan turun gunung. Tak lupa, mereka meninggalkan empat pucuk senjata. Bahkan, menawari kami berdua memegang senapan tersebut, tapi ditolak sama saya. "Kalau bisa gunakan senjata, pasti kami sudah tembak kalian," canda saya saat itu.
Sepeninggal mereka, saya hanya dijaga seorang anggota GAM. Saya, bang Ersa dan seorang pria berusia lebih tua dari kami itu memilih beristirahat di dalam gubuk. "Tiba-tiba ada tembakan. Dar-der-dor, rentetan tembakan dari semak-semak. Orang GAM yang sedang memasak diluar tewas kena tembakan,"
Tanpa pikir panjang, saya mencari cara untuk menyelamatkan diri dari desingan peluru. Sebuah lompatan kecil berhasil menyelamatkan nyawa saya dari tembakan yang mengarah ke kaki. Di tengah ketakutan, saya masih berupaya menyelamatkan rekannya, namun gagal
"Ada tembakan di atas saya. Saya lompat, masuk ke semak, mana banyak duri, hingga badan saya penuh darah, saya berhasil selamat dari serangan itu dan memilih bermalam di sebuah tempat dan disana, saya bertemu seorang pria yang sebelumnya bersama di gubuk, sedangkan Ersa, rekan saya tak kunjung datang,"jelasnya.