Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Komunitas Koja Semarang - 5.jpeg
Kegiatan festival komunitas Koja di Semarang. (Dok. KHOJAS)

Intinya sih...

  • Sejak abad ke-13, pedagang Gujarat sudah akrab dengan jalur rempah Nusantara. Masjid Jami’ Pekojan menjadi bukti konkret keberadaan komunitas Koja.

  • Bubur India Koja rutin dibagikan setiap Ramadan di Masjid Jami’ Pekojan. Kuliner khas Koja lainnya juga tetap eksis di tengah arus modernisasi.

  • Komunitas Koja melestarikan tarian Sammer, tradisi Malam Pacar, hingga tradisi khitanan massal saat Maulid Nabi. Identitas sebagai saudagar tetap melekat pada mereka.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Semarang, IDN Times - Di antara riuh aktivitas Kota Semarang sebagai pelabuhan historis, terdapat satu komunitas kecil yang jejaknya sudah tertanam berabad-abad lalu. Mereka adalah komunitas Koja yang sebagian besar adalah keturunan pedagang Muslim dari Gujarat, India.

Meski jumlah mereka tidak sebanyak komunitas Arab atau Tionghoa, Koja mampu mempertahankan identitas budaya, agama, dan tradisi sambil tetap berbaur dengan masyarakat Jawa. Kehidupan komunitas Koja berpusat di Kampung Pekojan, sebuah kawasan yang namanya sendiri berasal dari kata Koja--merujuk pada tempat bermukimnya orang-orang Gujarat.

“Bukan Arab, Koja itu ya Koja, suku KoJa.,” kata Ketua Komunitas Budaya Koja Semarang (KHOJAS), Soleh Jailani saat ditemui IDN Times, Jumat (12/9/2025).

1. Mengenali jejak sejarah dan identitas

Seorang jemaah sedang khusyuk bermunajat di Masjid Jami Pekojan Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Untuk diketahui, sejak abad ke-13, pedagang Gujarat sudah akrab dengan jalur rempah Nusantara. Mereka tidak hanya berdagang, tetapi juga membawa Islam dan membangun permukiman.

Masjid Jami’ Pekojan yang berdiri sejak akhir abad ke-18 menjadi bukti konkret keberadaan komunitas Koja. Masjid tersebut menjadi pusat aktivitas sosial sekaligus spiritual mereka hingga saat ini.

Menurut teori Gujarat, pedagang dari wilayah India barat berperan besar dalam proses islamisasi di Indonesia. Hal itu tercermin jelas di Semarang.

“Masjid Jami’ Pekojan itu sudah abad ke-18. Berarti bubur koca itu sudah ada waktu itu juga,” aku Soleh menyinggung tradisi kuliner khas komunitasnya.

Linimasa Perjalanan Komunitas Koja di Indonesia

Jejak Langkah Komunitas Koja

Sebuah Perjalanan Lintas Abad di Nusantara

Abad ke-13: Awal Mula

Kedatangan Pedagang Gujarat

Perjalanan Komunitas Koja berawal dari kehadiran para pedagang Gujarat di Nusantara melalui jalur rempah. Momen ini menjadi titik awal interaksi budaya dan proses islamisasi yang membentuk fondasi awal komunitas.

Abad ke-17: Penanda Eksistensi

Pembangunan Masjid Jami' Pekojan

Didirikannya Masjid Jami' Pekojan Semarang menjadi bukti fisik dan spiritual yang monumental. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan sosial dan simbol keberadaan komunitas Koja yang semakin kokoh.

Abad ke-19: Harmoni Akulturasi

Renovasi Masjid dengan Ornamen Tionghoa

Proses renovasi masjid yang menyertakan ornamen khas Tionghoa adalah cerminan indah dari keterbukaan dan akulturasi budaya. Ini menunjukkan bagaimana komunitas Koja hidup berdampingan secara harmonis dengan etnis lain.

±100 Tahun Lalu: Identitas Kuliner

Lahirnya Tradisi Bubur India

Tradisi berbagi Bubur India saat bulan Ramadan dimulai, menjadi sebuah identitas kuliner yang khas. Lebih dari sekadar makanan, tradisi ini memperkuat rasa solidaritas dan kebersamaan di dalam komunitas.

1980-an: Peran di Ranah Publik

Aktor Anas Salim dan Tokoh Seni Lainnya

Komunitas Koja Semarang mulai melahirkan tokoh-tokoh yang berkiprah di ranah publik yang lebih luas, seperti di bidang seni. Kehadiran aktor Anas Salim menjadi contoh bagaimana peran komunitas berkembang melampaui batas sosial-keagamaan.

2019: Pelestarian di Era Modern

Pendirian Komunitas KHOJAS

Generasi muda mengambil inisiatif formal dengan mendirikan KHOJAS. Langkah ini merupakan upaya strategis untuk melestarikan warisan budaya, sejarah, dan identitas Koja agar tetap relevan dan dikenal oleh generasi mendatang.

Dibuat oleh IDN Times/Dhana Kencana

2. Tradisi kuliner menjadi simbol solidaritas

Ketua Komunitas Budaya Koja Semarang (KHOJAS), Soleh Jaelani. (IDN Times/Dhana Kencana)

Salah satu warisan paling populer adalah Bubur India Koja. Makanan itu rutin dibagikan setiap Ramadan di Masjid Jami’ Pekojan.

Bubur bercita rasa rempah tersebut bukan sekadar hidangan berbuka, tetapi juga sarana mempererat silaturahmi lintas etnis mereka.

Selain bubur, kuliner khas Koja lain seperti ketan srikaya, mentau, pistuban, hingga bolu lapis tetap eksis di tengah arus modernisasi.

“Kalau saya icip-icip makanan bikinan orang kita, lidah ini mengatakan lain. Karena sudah terbiasa dengan makanan khas ini,” ujar Soleh.

Untuk mempererat kembali khazanah kuliner Koja, rencana ke depan, KHOJAS menyiapkan festival kuliner khusus Koja yang berkonsep mirip Pecinan Semarang.

“Nanti kan bisa berbagi ya, mengapresiasi semua (makanan atau kuliner) khas Koja,” tambahnya.

3. Terus menjaga kesenian dan adat

Kegiatan festival komunitas Koja di Semarang. (Dok. KHOJAS)

Koja juga melestarikan tarian Sammer, tarian bergembira ala India yang diiringi akordeon dan mandolin. Dalam adat pernikahan anggota komunitas, mereka ikut mempertahankan tradisi Malam Pacar, menghias tangan mempelai wanita dengan henna, serta busana kurta khas Gujarat.

Yang tidak kalah penting adalah tradisi khitanan massal saat Maulid Nabi yang juga terus mereka lestarikan.

Sholeh menjelaskan, sejak dulu, Koja identik dengan pedagang. Aktivitas mereka banyak aktif untuk berdagang kain, rempah, optik, hingga jam tangan, dengan toko-toko yang masih dapat dijumpai di kawasan Pasar Johar dan Jalan M.T. Haryono Semarang. Etos dagang turun-temurun itu menjadi “darah Koja” yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Meski demikian, mereka juga terbuka. Sebab, kini generasi muda mereka juga merambah profesi modern seperti akademisi, birokrat, hingga wiraswasta digital.

Meski begitu, identitas sebagai saudagar tetap melekat pada mereka.

4. Warisan yang tidak lekang oleh zaman

Kegiatan festival komunitas Koja di Semarang. (Dok. KHOJAS)

Dengan populasi sekitar seribuan orang di Semarang, komunitas Koja kini tersebar ke berbagai daerah di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah. Mulai dari Pekojan hingga Banyumanik dan Klipang.

Perpindahan itu membuat interaksi harian mereka berkurang. Akan tetapi, identitas mereka tetap terjaga lewat organisasi modern seperti KHOJAS.

“Kita sudah lama ada, cuma terkotak-kotak. Sekarang kita lebur jadi satu, ini budaya Koja kita,” ucap Soleh.

Ia berharap budaya Koja bisa lebih eksis, bahkan menasional.

Komunitas Koja di Semarang adalah contoh bagaimana sebuah kelompok minoritas bisa beradaptasi tanpa kehilangan jati diri. Mereka membaur dengan masyarakat Jawa, dengan tetap bangga dengan bubur India, tarian Sammer, dan adat pernikahan henna.

“Alhamdulillah, kepenginnya ke depan Koja bisa lebih eksis, khususnya di Kota Semarang. Semoga bisa menasional, bahwa Koja ini ada, lho,” tutup Soleh.

Editorial Team