Busana Adat Dodotan Jawa Alami Penyederhanaan

Mengenal filosofi busana adat Jawa pria

Solo, IDN Times - Busana adat Kampuhan Kakung atau biasa dikenal dengan istilah Dodotan menjadi busana yang yang mulai jarang digunakan. Untuk kembali melestarikan busana adat Jawa tersebut, Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo mengenalkan busana kapuhan kepada kelompok pecinta budaya di Solo.

Baca Juga: Mengintip Lokasi Rekreasi Keluarga Keraton Solo Yang Sedang Bersolek

1. Hanya dipakai oleh orang keraton

Busana Adat Dodotan Jawa Alami PenyederhanaanDok. LDA Keraton Solo

Ketua Yayasan Pawiyatan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, GKR Wandansari Koes Moertiyah (Gusti Moeng) mengatakan Busana Kampuhan Kakung atau dodotan dipakai untuk laki-laki. Busana ini dipakai mulai dari dari abdi dalem, sentono dalem, dan adipati anom (putera mahkota).

“Dari busana, corak, dan cara memakai, sesuai dengan kepangkatan di keraton,” kata Gusti Moeng usai seminar workshop busana adat Keraton Surakarta Hadiningrat, Minggu (9/8/2020).

Betuk busana kampuhan sendiri dari kain batik motif alas-alasan dan tumbuhan hutan. Celana panjang dari kain cinde dikenakan pada bagian dalam. Buntal udan mas juga disematkan di pinggang dan membentuk setengah lingkaran, searah dengan lekukan dodot di bagian bawah. Keris ladrang dengan ronce bunga melati terselip di punggung.

2. Dipakai sejak PB X

Busana Adat Dodotan Jawa Alami Penyederhanaantwitter.com
Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Busana tersebut dipakai di zaman Raja Pakoe Boewono (PB) X dan PB XI. Sedangkan saat era PB XII, dipakai hanya saat kenaikan tahta saja.

Kemudian pemakaian busana adat dodotan juga turunkan kepada PB XIII. Dimana, saat itu PB XIII pertama kali menduduki tahta Keraton Solo. Dalam acara tersebut, para bupati sepuh hingga Pangeran memakai dodotan semua.

"Tapi ketentuannya dari kepangkatan belum bisa diterapkan, kemudian diseragamkan dulu,” ungkapnya.

3. Terjadi penyederhanaan

Busana Adat Dodotan Jawa Alami Penyederhanaanmerdeka.com

Lebih lanjut, Gusti Moeng mengatakan seiring dengan perkembangan zaman, busana tersebut mengalami penyerderhanan, yakni tidak memakai dodot.

“Setelah itu banyak perubahan dan disederhanakan. Dalam arti di bawah hanya dengan jarik saja atau kain, tidak pakai dodot,” ungkapnya.

Kendati demikian keberadaan budana adat tersebut dinilai sangat indah dan anggun. Bahkan banyak kelompok pecinta budaya yang ingin kembali ke busana nasional, seperti kebaya dan sanggul. Busana adat ini, merupakan bagian dari budaya Jawa, apalagi sudah dijadikan sebagai busana resmi nasional yang berciri kepribadian Nusantara.

Busana ini juga kerap digunakan dalam acara resepsi pernikahan dengan konsep pernikahan Jawa.

Baca Juga: Dibanderol Rp25 Juta, Begini Prosesi Wedding Drive Thru di Kota Solo

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya